1 Iblis Wanita

Waktu itu akhirnya tiba juga. Itu adalah Sabtu petang dan sebentar lagi menunjukkan pukul enam sore. Cahyo meminum whiskey di tengah kegugupannya sedangkan Clara duduk di ujung ranjang. Ia bangkit, berjalan bolak-balik sekitar ruangan, dan duduk lagi di ranjang sebelum kemudian berjalan lagi.

“Ya ampun, kamu tuh bolak-balik gitu bikin aku gugup,” keluhnya pada Clara. “Udah deh, kamu duduk aja di situ. Tenang, tenang.”

“Sorry,” cetus Clara. Ia yang sempat mau bangun kini terduduk lagi.

Ia meraba liontin di kalungnya. Benda yang memiliki nilai mistis itu sebetulnya bentuknya tidak menarik, murahan, dan terkesan jorok. Tapi saat dipakai seperti ini benda itu akan terlihat sebagai neck strap sehingga takkan ada orang yang cukup kepo alias penasaran untuk menanyai-nanyai benda itu. Hari ini adalah bagian dari perjanjian itu. Hari dimana ruh Clara akan diambil dan bertukar tempat dengan sang demon, Iphy. Kejadian ini akan membuat diri Clara terhubung dengan sang demon, membiarkan kekuatan magis-nya mengalir di antara mereka berdua. Membuat Clara tetap cantik dan – tanpa ia dan suaminya ketahui - di saat yang sama akan mengikat jiwanya pada hutang tak terbayarkan.

Kedua pasangan suami isteri itu jelas senang dengan tampilan Clara yang baru. Tak ada lagi selulit, lemak berlebih, kerut, atau bagian tubuh – khususnya payudara – yang mulai kendor. Tubuh itu sempurna, bahkan jauh lebih indah daripada sebelumnya. Sebelum, ya, sebelum ritual itu. Beberapa hari lalu. Dan hasilnya memang luar biasa. Unbelieable. Sudah tak terhitung lagi hubungan seks yang mereka lakukan selama sekian hari terakhir. Sebagai isteri, Clara akhirnya mendapatkan Cahyo, suaminya. Ia mendapatkan suaminya secara sepenuhnya tanpa perlu lagi khawatir ada pencoleng yang menikung di tengah jalan. Dan selama waktu itu lenyap pula para wanita dan gadis yang dulu menggilai atau menggoda Cahyo, sang Procurement Director sebuah perusahaan properti raksasa. Kecantikan mereka kini akhirnya menjadi tak lagi berarti. Kecantikan dan kemolekan mereka kini jauh di bawah kakinya. Kecil, sekecil ujung jari Clara.

Bagi Cahyo sendiri, ia juga mulai melepaskan diri dari mereka. Tak lagi tertarik. Termasuk pada Vicky tentunya, selingkuhan terbarunya. Tapi sekarang, hari ini, adalah waktu dimana Clara untuk pertamakalinya harus membayar harganya. Clara merasa itu tak apa-apa karena ini hanya pertukaran tubuh. Baginya, bagaimana pun juga toh nantinya Cahyo juga yang akan menikmati tubuhnya walau nanti tubuh itu akan ‘diisi’ oleh pribadi lain yang bukan dirinya.

Alarm di ponsel Cahyo berbunyi. Begitu mendengarnya, Clara mencengkeram erat-erat ujung ranjang. Takut pada apa yang sebentar lagi terjadi. Cahyo menyadari lebih dulu ketika sebuah asap hitam keluar dari liontin coklat kehitaman. Mulanya kecil saja sampai kemudian membubung tebal seperti asap knalpot truk tua. Asap menggumpal makin besar sampai membentuk awan kecil yang menggantung sedikit di bawah langit-langit. Tak lama asap mengecil sampai kemudian ia turun dan dengan seketika menyergap wajah Clara sampai wanita itu jatuh dan tersandar di dinding. Dengan kecepatan dan suara geram mengerikan asap hitam itu menyelusup masuk ke bola mata, lubang hidung, dan mulut. Mengisi wanita itu dengan kegelapan pekat dan kelam sampai akhirnya Clara menghirup hingga habis lenyap dan kemudian ia terjatuh di kasur ranjang dalam posisi telentang dan mata terpejam. Asap putih kemudian keluar dari mulutnya untuk kemudian menyelusup ke dalam liontin. Melihatnya, Cahyo tahu bahwa ruh Clara sekarang tersimpan, terkungkung dalam batu liontin.

“Clara?” Cahyo melompat dari kursi yang ia duduki dan berlari ke ranjang serta membangunkan isterinya.

Kelopak matanya bergetar dan kemudian terbuka. Cahyo melihat kilat merah di mata sebelum kemudian berpendar dan menghilang. Melihat mata hitam isterinya, Cahyo merasa bahwa mata itu berbeda. Dan seiring dengan itu sebuah senyuman iblis terbentuk di bibir wanita itu.

“Halo sayang.”

Cahyo melepaskan diri dan kembali berdiri di atas ranjang, tak tahu hendak apa atau berkata apa. Wanita itu membalikkan tubuh, berbaring dengan menyamping dan menatapinya. Menurut Cahyo, ini sangat aneh. Ia melihat wanita yang seperti Clara tapi bukan Clara itu memiliki cara berbeda dalam gerak tubuh, dalam menunjukan ekspresi wajah, dan bahkan intonasi suaranya. Orang lain mungkin takkan mengenali, tapi tidak dengan Cahyo. Gerak-geriknya sangat dan bahkan terlalu sensual. Dia tahu bahwa sosok itu bukan Clara.

“J-jadi kamulah sang... demon, ruh iblis.”

“Kamu boleh panggil aku begitu,” katanya. Lagi-lagi itu bukan suara Clara.

Suara Clara tidak begitu. Sedangkan yang ia baru dengar adalah suara feminin manja, nakal, terkesan merayu. Suara yang saat terlontar seolah diatur setiap kata agar sinkron dengan bahasa tubuh yang semata menunjukkan sensualitas. Dengan mata melirik genit, lustful, bibir setengah terbuka dan jilatan di ujung bibir, semua mengesankan dirinya sebagai gadis nakal namun memiliki kecantikan aristokrat.

Cahyo tidak mau bohong. Penampilan wanita di depannya sangat jauh lebih menggairahkan dibanding isterinya. Dan wanita itu kini datang. Menghampiri dan mulai melepas pakaian pertama yang dikenakan.

*

Setahun sebelumnya.

Clara memasuki sebuah gym yang sudah berbulan-bulan ia kunjungi. Sabtu akhir pekan begini ia memang rutin mengunjungi tempat itu. Ada perubahan job desc pada pekerjaannya di Rumah Sakit yang memungkinkan ia untuk memilih di hari dan jam itu. Sebelumnya ia dan beberapa rekannya pergi ke sana. Tak hanya gym namun juga Zumba. Tapi ketika ia pindah ke hari Sabtu sekitar jam 10, suasana memang cenderung sepi dan hari itu nampaknya lebih sepi lagi. Selama itu ia hampir tidak pernah melihat orang seusia dirinya yang berenang atau berolahraga ringan di jam tersebut. Sebagian besar tampaknya lebih suka di sore atau malam hari.

Hari itu, setelah menyelesaikan putaran treadmill dan menyelesaikan kegiatan di kolam renang sebanyak 6 kali bolak-balik, seorang pria bergabung dengan dirinya. Clara tentu mendiamkan. Namun setelah keheningan yang canggung saat mereka berdua mengarungi rute yang terpisah, ia mulai bertanya-tanya:

"Duh, apakah selalu sesepi ini?"

Clara menjawab seperlunya dengan mengatakan bahwa memang biasa seperti itu, dan setelah itu mereka melanjutkan berenang mereka.

Clara menghindari percakapan lagi dengannya dan kemudian memutuskan sudah waktunya ia keluar dari kolam. Di usianya yang sudah kepala 4, Clara sadar bahwa tubuhnya tidaklah sebagus saat ia menikah dengan Cahyo. Tapi meskipun begitu diet dan rajinnya melakukan gym membuat tubuhnya sedikit terjaga. Dan Clara sadar bahwa mungkin saja orang itu akan melihat ketika ia keluar dari kolam dengan hanya pakaian renang. Clara bertanya-tanya kira-kira apa yang mungkin dia pikirkan.

Setelah memutuskan untuk tidak terlalu sadar diri, ia bergerak dan bergegas ke ruang ganti. Lokasi gym berada di atas sebuah hotel dan pria itu jelas seorang tamu di hotel karena saat Clara berjalan menyusuri koridor ia melihat bahwa orang itu berada di konter resepsionis hotel.

Telinganya menangkap ketika ia mendengar pria itu bertanya.

“Jadi apakah hari Sabtu dan jam segini adalah waktu terbaiknya kamu untuk berenang di sini?"

Pria itu memberikan senyum terbaiknya yang kemudian membuat Clara juga ikut tersenyum dan menjawab: “ya. Sabtu pagi, jam 10an.”

Mereka berpisah saat dia berkata, "OK. Sampai ketemu lagi ya.”

avataravatar
Next chapter