webnovel

Perjalanan Cinta KIRA

Shakira Chairunisa yang ingin menyelamatkan ayahnya dari kesalahan masa lalu, akhirnya setuju untuk menikah dengan seorang pemuda kaya usia 30 tahun bernama Ryan Adiantara, pemilik kerajaan bisnis Rich Tech Company. Pernikahan tanpa cinta yang dilandasi oleh dendam Ryan kepada ayah istrinya membuat kehidupan wanita berusia sembilan belas tahun itu hidup bagaikan dalam neraka. Ditambah dengan penyakit mental yang di derita Ryan, membuat semua menjadi semakin berat dari hari ke hari untuk Kira. Akankah keberuntungan berpihak pada Kira? Bisakah Kira bertahan dengan semua kesulitan yang dialaminya? Akankah Kira mampu memperjuangkan masa depan dan kebebasannya dari belenggu kekejaman Ryan? Mimpi untuk menjadi seorang scientist.. Akankah itu terwujud? Ikuti kelanjutan kisahnya dalam novel bergenre romantic - Perjalanan Cinta KIRA

Ri_Chi_Rich · Urban
Not enough ratings
102 Chs

Mereka Kembali

"Oh, iya Lina.. Maaf, ya.. Tadi aku ketiduran, yuk.. yuk!" Kira berbicara, sambil tangannya mengambil kunci kamar kost, dan wajahnya menatap ke Lina dengan tersenyum.

"Ini teh sendalnya, ga usah pakai sepatu. Hehe" Jawab Lina sambil meletakkan sandal jepit.

"Ih, makasih banget.. Kamu tahu aja, aku ga ada sendal, hehe.. Maaf Aku jadi ngerepotin gini, sih sekarang!" Kira jadi agak kikuk dan ga enak hati.

"Aduuuh.. Keluarga ini baik banget, sih.. Aku jadi ga enak gini ngerepotin mereka, hufff.. Keluarga.. Hahah.. Aku juga kan sudah berkeluarga, dan sekarang aku merindukan suamiku.. Haduuuh.. Lupakan.. Lupakan.. Move on, Kira!" gumam Kira dalam hati, sambil kakinya memakai sandal jepit yang tadi di kasih oleh Lina.

"Gapapa, atuh teh.. Lagian umi, aku, sama aa Ajat juga suka kok sama teteh.. teh Icha lucu, baik, sopan, ramah, cantik banget lagi! hihi.."

"Aa Ajat kayaknya beneran naruh hati ke si teteh.. Hihi.. Gimana ga menaruh hati, bodynya aduhai, cantik, putih, matanya juga cantik banget! Kok ada ya wanita secantik ini.. Ih, bikin iri aja.. Hihi.. Aku mah pokoknya mau dukung banget, apalagi ini pertama kali Aa Ajat suka sama cewek. teh Icha juga ga sombong dan ramah pisan" gumam Lina.

"Lin, kamu umur berapa sih?" tanya Kira di jalan mau ke rumah Lina.

"Aku delapan belas tahun."

"Oh, kita cuma beda satu tahun dong.. Aku masih sembilan belas tahun juga. Tahun ini, kamu kuliah tingkat pertama dong?"

Lina mengangguk. "Muhun, teh.. Aku kuliah tingkat pertama tahun ini. Tapi, boong.. Hihi.. kayaknya ditunda tahun depan kuliahnya." jawab Lina sambil tersipu malu.

"Ih, kenapa gitu di tunda?"

"Hmm.. Aku masih mau tetapin hati aku, jurusan apa yang aku pilih. Supaya ga salah sama ga nyesel juga, hehe.."

"Oh iya, bener juga tuh.. Satu tahun bisa dipakai untuk berpikir dulu. Tapi kamu ada minat di mana, apa udah ada bayangan?"

Klek

"Udah, teh.. Aku mau kuliah di ekonomi atau hukum." jawab Lina sambil membuka pintu rumahnya.

Klek

"Assalamu'alaikum!" Lina melanjutkan dengan memberi salam, setelah menutup pintu.

"Wa'alaikumsalam warohmatulloh!" suara jawaban dari arah dapur.

"Hayu, teh.. Langsung ke ruang makan!" Lina menggandeng tangan Kira.

"Gimana, udah segeran, habis mandi dan bersih-bersih?" sapa umi yang tersenyum ke Kira, tapi kali ini ga pakai cadar, karena mereka di dalam rumah.

"Alhamdulillah, umi.. Segeran. Hehe!" Kira menjawab. Sambil mendekat ke umi dan mencium tangannya.

"Hayu, duduk, makan dulu.." umi mempersilahkan duduk, sambil umi juga duduk di samping kanan Kira dan Lina duduk di samping kiri Kira.

"Ehmm kita cuma bertiga, umi?" tanya Kira heran.

"Iyah, ini kan malam jumat, biasa di masjid ada pengajian bapak-bapak. Ajat sama Buya (ayah) hadir ke pengajian." umi tersenyum, sambil memberikan piring berisi nasi ke Kira.

"Teh, cobain ini.. Pepes buatan umi mantep banget, pasti bikin nagih! Raos pisan.." Lina sudah menaruh pepes ikan di piring Kira.

"Haduuuh.. Makasih banget.. Umi sama Lina baik banget ke aku.. Gimana aku bisa bales kalian semua.." kira mengutarakan isi hatinya.

"Sudah, jangan dipikir, teh Icha.. Umi sama semuanya ga ngarepin balesan apapun, hayu di makan.. Oh iya.. Coba ini.. Nah, ini tumis mereka kembali!" Umi memberikan sesendok sayur ke piring Kira.

"Hah? Apa tadi namanya, umi?" Kira mengernyitkan kening.

"Tumis mereka kembali. Kalau bahasa indonesianya mah, ini daun genjer." umi tersenyum dan menjelaskan.

"Bismillah.." Kira yang penasaran tak lagi bicara, langsung segera mencoba tumisan dan pepes buatan umi. "Hmmm.. Subhanalloh.. Enak banget umi! Pepesnya enaaak banget, tumisan sayurnya juga enak.. Hihi.."

"Alhamdulillah, kalau suka.. Mangga dihabiskan.." Umi menambahkan lagi sayur tumisannya, karena tadi baru kasih ke piring Kira sedikit.

"Eh iya, tapi kenapa disebutnya mereka kembali?" Kira kembali bertanya, setelah menelan makanannya.

"Karena, dia nanti keluarnya sama kaya gini juga teh, pas pup! Hahahah" Lina tertawa sambil memakan sayur mereka kembali yang ada ditangannya.

"Husssh.. Lina, lagi makan, jangan tertawa begitu.. Ga nyunah!' Umi memprotes.

"Hihi.. Maaf umi.. Kebablasan"

"Hah? Maksud kamu, dia ga berubah bentuk gitu, pas kita keluarin besok?"

Lina mengangguk.

Kira dan Lina sama-sama menahan tawa, karena khawatir kena semprot umi.

"Haduuuh.. Aku jadi penasaran, pengen liat besok kalau pup, bener enggak dia ga akan berubah bentuk. Hahahah!" imajinasi eror di otak Kira. Akhirnya, setelah dari tadi pikirannya berkutat hanya pada Ryan, si mereka kembali bisa mengisi otaknya.

Makan malam kali ini, berlangsung sangat hangat. Ada canda tawa, obrolan ringan, dan rasa kasih sayang antara orangtua dan anak-anaknya. Sesuatu yang ga pernah dimiliki Kira setelah ibunya meninggal dunia.

"Nambah lagi, teh.."

"Hmm.. Udah umi.. Aku udah kenyang banget, alhamdulillah.. Enak banget masakan umi.. Aku makasiiiih banget udah di ajak makan di sini.. Makasih ya, umi.."

"Alhamdulillah.. Walaupun hatiku sedang terluka, Kau mengirimkan orang-orang baik yang menghibur dan menjagaku, Ya Rob. Terima kasiih.. Untukmu.. Suamiku.. Kamu jaga kesehatan dan jangan lupa makan di sana, ya!" Kira membaca do'a setelah makan, dan bergumam seperti itu setelahnya.

"Udah, enggak usah makasih terus.. Inget kata umi.. Teh Icha udah umi anggap anak umi sendiri.. Jadi jangan sungkan lagi, yah.. Kalau butuh apa-apa, dateng aja ke rumah umi.. Pintu rumah umi, selalu terbuka buat Teh Icha." tangan umi, menggenggam erat tangan kiri Kira untuk meyakinkan Kira.

"Assalamu'alaikum!"

Belum sempat Kira menjawab, seseorang sudah membuka pintu dan memberikan salam.

"Wa'alaikumsalam warohmatulloh!" Umi menjawab, termasuk Kira dan Lina juga menjawab, tapi dengan suara lebih pelan.

"Buya, kenalin. Ini Teh Icha, yang tadi umi ceritakan!" Umi memperkenalkan Kira.

"Assalamu'alaikum Buya.." Kira menoleh dan tersenyum ke buya.

"Wa'alaikumsalam.. Ini temannya Ajat?"

Kira mengangguk dan tersenyum.

"Buya, Aa, mau makan sekarang?"

"Sudah, tadi sudah makan di masjid. Silahkan dilanjutkan makannya.. Buya mau ke kamar dulu." Buya tersenyum dan meninggalkan ruang makan.

"Ehmm.. Sini umi, aku aja yang bawa.. Biar aku cuci piring sekalian!"

"Eh, jangan, Teh Icha.. Sudah, kembali ke kamarmu, istirahat sana.. Biar Lina antar kamu ke kamar kost!"

"Tapi gapapa, umi.. Aku ga enaklah."

"Gapapa, sekarang kamu masih lelah, habis perjalanan jauh. Istirahat dulu saja, ya.." umi menatap Lina. " Lin, antar teh Icha ke kamarnya.."

"Iyah, umi. Hayu, teh.. Aku anaterin balik."

"Duh.. Enak banget aku ni.. Numpang makan terus pulang.." Kira bicara dan menunjukkan wajah sedihnya, saat salim ke umi

"Gapapa, teteh.. Lain kali, bisa bantu-bantu umi di sini buat masak atau cuci piring. Tapi kalau sekarang, teteh harus istirahat dulu.."

"Terima kasih umi!" Kira berdiri. Lalu menengok ke Ajat yang ada di samping belakang umi. "Hmm.. Keluarga kamu baik banget, makasih ya, udah kenalin aku ke umi, Lina sama buya. Kamu juga baik banget.. Maafin kalau aku banyak ngerepotin."

"Santai aja, atuh teh.. Besok kita lanjut ngobrol lagi, sekarang selamat istirahat! Assalamu'alaikum!"

"Wa'alaikumsalam!" Kira tersenyum ke Ajat, lalu pergi bersama Lina kembali ke kostnya.

***

"Hmmm.. Aa, kamu yakin, dengan Chairunisa?" tanya Umi, setelah Kira keluar dari rumahnya.

"Aku cuma mau bantu dia aja, umi. Kalau ditanya suka mah, siapa yang nolak wanita secantik itu. Huuuh.. Ngeliatnya aja aku merinding, udah kaya bidadari surga, hehe.. Astaghfirullohaladzim.." Ajat mengusap wajahnya dengan kedua tanganya.

"Hmm.. Hmm.. Kayanya benar anak umi lagi jatuh cinta. Apa mau umi lamarkan ke teh Icha besok?"

"Eh, jangan umi.. Biarin aja dulu. Dia pergi meninggalkan rumahnya, karena ada masalah sama hubungan asmara, sepertinya. Aku ga mau bikin dia pusing. Biarin dulu aja, umi.. Kalau nanti dia cinta sama aku.. Aku langsung lamar dia!" jawab Ajat mantap sambil merangkul uminya.

"Ya sudah, tapi hati-hati, umi ga mau kalau kalian berdua-duaan naik motor seperti tadi.. Haram! Kalau mau pergi, pakai mobil, ajak Lina.. Kalau dua anak manusia bukan muhrim bersama, belum halal, yang ketiganya itu syaitan!"

"Siap, umi.. Insya Alloh aku selalu inget kata-kata umi. Kalau tadi, aku kan terpaksa umi.. Cuma motor yang ada, terus aku ga ada persiapan juga buat ketemu teh icha tadi pagi."

"Iya, umi ngerti.." Umi tersenyum, sambil memegang kedua tangan anaknya, Ajat yang memeluknya dari belakang.

***

"Teh, selamat istirahat, yah.. Aku pamit dulu." Lina berpamitan, setelah sampai di pintu kamar Kira.

"Terima kasih, ya Lin.. Kamu dan keluargamu, udah bantuin aku banyak." Kira memeluk Lina.

"Hihi.. Biasa aja lagi, teh.. Udah, anggep aja aku kaya adenya teh Icha.. Assalamu'alaikum!"

"Wa'alaikumsalam!"

Klek

Kira menutup dan mengunci pintu kamarnya, duduk di lantai bersandar di balik pintu. Menatap semua isi ruang kamar kostnya.

"Apa kau merasa hangat malam ini? Berada dipelukan wanita yang kau cintai, bahkan kau memiliki kenangan pesta pernikahan yang sangat indah.. Kau pasti sangat mencintainya, kan? Apa lagi yang kurang? Kau pasti sudah bahagia, dengan istri secantik itu dan memiliki anak seganteng itu.. Hufff... Apa aku harus sekaya dia supaya bisa mendapatkan cintamu? Aku tak ingin hanya mendapatkan izin mencintaimu.. Aku juga ingin mendapatkan cintamu.. Apa itu sulit? Apa aku terlalu banyak meminta?" Kira memeluk kedua lututnya semakin erat. "Ryan, apa mencintaimu harus sesakit ini? Apa aku harus selalu terluka? Aku merindukanmu, suamiku.. Aku sangat ingin memelukmu saat ini... Hufff.. Kenapa aku sangat merindukanmu? Apa kau juga merindukanku? Atau kini kau sedang memeluk wanita itu dengan mesra seperti di video yang aku lihat tadi pagi?" Air mata Kira menetes, tapi Kira langsung menghapusnya. Tak ingin lagi dia menangisi Ryan.

"Aku yakin kau sudah bahagia.. Aku tak boleh menangis lagi.. Move on.. Move on Kira!" kini Kira mencoba menyemangati dirinya sendiri