1 Konteks

Farhah Ayunisa R. adalah siswi yang ceria. Jika dewa itu ada, maka Farhah Ayunisa R. adalah perempuan yang dikaruniai hawa keceriaan oleh dewa kebahagiaan ataupun mungkin dewa senyuman atau mungkin iblis atau mungkin iblis yang sedang tersenyum. Manusia adalah makhluk yang inkonsisten. Mereka akan merasakan kebahagiaan, amarah serta kesedihan secara seimbang. Namun, pada titik tertentu, konsistensi manusia sungguh mengerikan.

Sore itu, aku sedang berada di dewan guru. Lalu wali kelas XII IPA unggulan memintaku untuk mengambil absen yang ia lupa, ambil di kelasnya. Maka akupun pergi. Harusnya kelas itu telah kosong sejak daritadi. Tetapi bulu kudukku berdiri ketika kudengar sebuah suara kekehan yang berasal dari sudut belakang, ruangan kelas. Aku menuju ke sumber suara.

Di belakang bangku itu, seorang perempuan dengan senyuman yang lebar hingga menampakkan barisan giginya yang tertata rapi. Aku mendengar bunyi gemertak darinya. Bibir tipisnya yang berwarna memudar dan kering. Lalu mata dengan kantung mata panda, terbelalak menatap acak objek di depannya.

Seorang perempuan tengah duduk menyandarkan dirinya ke tembok. Ia sedang memeluk udara dengan jari jemari yang kurus. Lalu lututnya yang tersembunyi dibalik rok seragam sekolah, tengah terlipat kacau. Kiri di atas, kanan di bawah. Wajahnya pucat. Lalu ia mengigil hebat.

"hei, kau tidak apa – apa?" kataku dengan panik.

Namun bukannya menjawab pertanyaan, ia malah menambah lebar senyumannya hingga aku bisa melihat urat – urat gusi yang pucat. "Hi... Hi… Hi…" sebuah suara yang lirih terdengar darinya. Jadi, apakah itu adalah tangisan dari seorang perempuan yang telah dikarunai aura ceria oleh dewa kebahagiaan?

Dilihat dari gejalanya, Far (singkatan nama Farhah) sedang mengalami hipotermia. Aku tahu penyakit itu, maka itulah aku hendak mendekat dan memberikan kehangatanku kepadanya. Tetapi pada akhirnya, iapun bersuara.

"jangan kemari!"

"!"

Biasanya, kalimat seperti itu digunakan untuk melarang seseorang agar tidak mendekat. Tetapi ada apa dengan nada suaranya itu? Nada suaranya itu mengingatkanku kepada seseorang yang berteriak dengan gembira, "aku sedang bahagia!" lalu setelahnya, ia tertawa namun raut wajahnya histeris. Dia seperti seorang perempuan yang putus asa menodongi pisau dengan gemetar kepada seorang psikopat yang datang ke arahnya, hendak membunuhnya.

"tidak usah! Aku baik – baik saja! lihat tidak, kau bisa melihatnya sendiri betapa bahagianya aku yang sekarang!" dan dia tertawa dengan putus asa. Suara tawa itu bergetar ke seluruh penjuru ruangan.

Dan aku bahkan tidak tahu kepada siapa ia berkata. Far tidak pernah menoleh ke arahku. ia sibuk dengan arah yang ada di depan matanya. Seolah – olah pembunuh itu ada di depannya. Namun nyatanya tidak. Aku tidak melihat apapun disana. Hanya ada tembok dan kain gorden yang menghalau cahaya sore dari luar.

Aku dengan cepat melompat dan mengahalangi pandangannya dengan wajahku. ���hei, apa yang kau lihat?" aku yang panik.

Ia seperti tersedak sesuatu, wajahnya kini memandang ke arahku. bahunya terangkat. Lalu matanya agak kelabu, berbinar seolah menemukan titik harapan.

"anak kecil…"

Namun itu tak berlangsung lama. Seperti rusa buruan yang terancam oleh predatornya, ia dengan penasaran mengintip dibalik bahuku. Lalu pandangannya berhenti disana. Dari dekat, kulihat dahinya mengkilap dibasahi oleh keringat. Jadi apa ini hipotermia? Atau semacam goyunan dari dewa kematian?

"hei, apa yang kau lihat?" tanyaku memaksa. Dan saat kucoba mencengkram bahunya, Ia kembali berteriak,

"berikan aku minyak kayu putih!"

"apa?"

"berikan aku minyak kayu putih maka aku akan sembuh!"

Minyak kayu putih? Maksudmu yang ada gambar badaknya? Atau yang berkaki tiga?

"kau bercanda yah? tidak, akan kupanggilkan guru kemari!"

"tidak usah!" iapun kembali menoleh ke arahku. "Kumohon, hanya minyak kayu putihlah yang dapat menyembuhkanku." Lalu ia tersenyum kecut dengan lembut.

Aku seperti tersedak kata – kata. Pikiranku yang penuh dengan tanda tanya dan kepanikan terhadap seseorang yang mungkin saja mati pada sore itu, menghilang begitu saja. berganti dengan kalimat yang terngiang – ngiang di kepalaku. "minyak kayu putih… minyak kayu putih… minyak kayu putih…"

Segera kulepaskan ransel dari punggungku, lalu menggeledahnya dan mengeluarkan sebuah botol berisi minyak kayu putih kapasitas 250 ml, cap tawon. Untung saja aku telah menyiapkannya dari rumah karena pada pagi harinya, aku sendiri sudah memiliki firasat bahwa sore nanti akan ada seorang siswi yang tengah menggigil di kelasnya dan satu – satunya cara menyembuhkannya adalah dengan minyak kayu putih. Atau mungkin tidak, kebetulan saja minyak itu, ada di tasku.

Lalu kusodorkan botol minyak itu, kepadanya. tangannya seperti seekor anjing yang menerkam mangsa di depannya, kedua tangan Far mencengkram tanganku dengan buas.

Refleks aku menarik tanganku, membuat botol minyak itu jatuh, lalu menggelinding di lantai. Tak sempat diambil oleh Far.

"Ma—maafkan aku!"

"tidak masalah kok," ia tersenyum, lalu mengambil botol itu dengan kedua tangannya.

Ia seperti bocah Afrika yang baru pertama kali melihat makanan sejak sekian lama. Dioleskannya minyak kayu putih itu ke tangan. Sambil bernafas, seperti seseorang yang tengah sakau, terengah – engah dan panik. Seperti bodo amat aku ada disana, ia sibuk mengolesi seluruh tubuhnya dengan minyak kayu putih. Wajah, dada, perut, kaki hingga ia mengangkat rok seragam miliknya, lalu mengolesi betis hingga pangkal pahanya. Aku hanya bisa canggung memerhatikan.

"Ha…" sebuah nafas lega darinya. Wajahnya seperti seorang dokter yang berhasil menyelamatkan ibu dan anak dalam proses persalinan. Pundakku terangkat, terkejut. Sejak dari tadi konsistensi keceriaannya telah ada pada tahap yang mengerikan. Namun nafas yang lega itu sedetik, memperlihatkan wajah yang sebenarnya dibalik topeng keceriaan.

Sedetik berlalu, ia kembali tersenyum. Mungkin ceria, mungkin tidak. Aku tidak pandai menebak.

"terima kasih." Katanya yang lirih, lalu dengan mata yang terbenam oleh senyuman.

Namun aku hanya bisa terdiam. Tanganku yang tadi dipegangnya, masih bergemetar, kedinginan. Seperti sebuah bongkahan es yang telah membeku jutaan tahun yang lalu, menggenggam tanganku. Perempuan ini sejak daritadi, mengalami hipotermia atau penyakit yang membuat seluruh tubuhnya seperti es yang mampu membekukan hingga ke tulang – tulangmu.

avataravatar
Next chapter