5 NIAR: Malam Pertama (Part 2)

NIAR: Malam Pertama (Part 2)

"Saya terima nikah dan kawinnya Daniar Binar Nataya binti Nanta Adiguna dengan maskawin berupa uang senilai lima belas juta di bayar tunai"

SAH!

Sungguh tak bisa ku percaya bahwa hari ini benar-benar terjadi. Satu hal yang dimata ku amat tidak mungkin terjadi. Namun faktanya...

Ya Tuhan!

Selesai sudah janji suci itu dokter Vian ucapkan di hadapan ayah ku dan Tuhan. Tepat setelah semua saksi berkata sah. Saat itu lah aku telah resmi menjadi istri Vianto Arka Abima.

Berhasil sudah aku menyelamatkan orang tua ku dari rasa malu berkepanjangan. Selesai pula serangkaian acara panjangnya pernikahan ku dan dokter Vian.

Lalu ini lah kami saat ini.

Baru saja suami ku ini memasuki kamar ku. Duduk ia ujung ranjang ku sebelah sana. Sementara aku di ujung lainnya. Seperti berjarak dan seperti hendak membuat sebuah pembatas.

Canggung! Canggung sekali.

"Belum tidur?" Tanya dokter Vian.

"Belum, Dokter" Jawab ku.

"Kenapa? Sudah malam" Tambahnya.

"Eeee... Sa, saya... Saya tidak terbiasa tidur dengan seseorang. Sudah biasa tidur sendiri"

"Emp... Tapi kita sudah suami istri sekarang. Mau tidak mau, ya harus tidur seranjang" Katanya sembari melihat ke arah ku.

"I, iya..."

Sementara belum aku berani memandang dokter Vian. Sungguh canggung sekali yang ku rasakan. Juga bertumpuk dengan rasa malu. Ketika aku menyadari bahwa ini adalah malam pertama kami.

"Eeee... Dokter Vian... Tidak... Ingin tidur?" Tanyaku yang berusaha memecah kecanggungan diri ku sendiri.

"Tidak... Aku tidak akan bisa tidur jika seperti ini" Jawabnya.

Hemp? Waduh!

"Ke, kenapa, Dokter?"

"Aku tidak biasa tidur di tempat baru. Akan sulit bagiku untuk beristirahat. Paling juga nanti mendekati waktu subuh aku baru bisa tidur. Saat aku sudah benar-benar lelah" Jawabnya berusaha menjelaskan.

Hanya aku mengangguk. Lalu, tak lama, kedua bola mata ku ini mulai berani mencuri pandang pada dokter Vian. Namun tentu saja dengan segera aku berpaling agar tidak ia ketahui.

"Hemp... Kamar mu bagus. Wangi juga" Tambah dokter Vian tiba-tiba.

"Hem? I, iya.. Ibu yang meminta pihak wedding organizer untuk merias kamar ini. Bi, biasanya juga tidak serapi ini, Dokter. Berantakan" Jawabku.

Lantas dokter Vian mengangkat kedua kakinya. Hingga ia seperti setengah berbaring dengan meluruskan kedua kakinya. Dan tentu saja, ia bersandar pada sebuah bantal.

Sementara aku masih tetap pada posisiku. Walau ku sadari dokter Vian berusaha untuk tenang dan bersikap biasa. Namun jujur saja, sikap tenangnya justru membuat ku semakin mematung.

"Lalu... Sekarang... Apa yang harus kita lakukan?" Tanya dokter Vian sembari melihat ku.

Makin aku mematung. Bahkan aku berhenti untuk bernapas oleh karena pertanyaan itu. Seolah malu sekali diriku ini.

"Kenapa diam? Aku bertanya ini... Di luar sudah sepi. Ayah dan ibu mu pasti sudah tidur. Sedang tadi kamu sendiri yang mengatakan tidak terbiasa tidur dengan seseorang. Lalu aku sendiri juga belum terbiasa tidur di kamar mu. Apa yang harus kita lakukan? Diam saja seperti ini sepanjang malam?"

Oh iya, iya... Bagaimana ya? Tidak mungkin juga kami hanya duduk diam kan.

"Kamu kenapa sih, Niar? Malu ya? Hah? Kamu takut aku menyentuhmu malam ini? Hah?" Tanya dokter Vian sembari menyingkat helaian rambut ku.

"I, iya, Dokter... Ju, jujur saja saya malu" Jawab ku sembari menepis tangan dokter Vian.

"Hahaha.... Ya wajar sih jika kamu malu. Ini malam pertama kita ya. Hahaha. Harusnya di habiskan di rumah sakit, egh sekarang di kamar mu. Hahahaha"

Ha... Ha... Ha...

Bisa-bisanya dokter ini tertawa sekeras itu dalam keadaan seperti ini. Namun harus ku akui, aku juga ingin ikut tertawa terbahak dengannya. Tapi tentu saja karena aku masih malu. Jadilah aku hanya menahan tawa ku hingga membuat perutku sakit.

"Sudahlah... Tenang saja... Aku tidak akan menyentuh mu malam ini. Walau aku mau menikah dengan mu. Tapi seperti yang aku katakan kemarin, aku belum bisa jatuh cinta padamu. Aku yakin kamu pun juga sama dengan ku. Jadi... Nanti saja. Jika aku telah berhasil jatuh cinta padamu. Demikian pula dirimu jika telah benar-benar jatuh cinta padaku"

Jujur aku menjadi tenang mendengar dokter Vian berkata seperti itu. Mulai aku berani melihatnya. Perlahan lahan aku menaikkan pandangan ku. Lalu ku lihat wajah dokter umum yang kini telah menjadi suami ku ini.

"Besok malam kedua kan?" Lagi dokter Vian bertanya.

"Maksud, dokter Vian?"

"Ya besok malam kedua berjaga di rumah sakit maksud ku?"

"Oh... I, iya" Jawab ku sembari sekali mengangguk.

"Kalau begitu... Kita pindah lusa ya, setelah berjaga malam kedua. Tidak apa kan?"

Lagi aku mengangguk. Menuruti semua perkataan dan permintaan laki-laki yang sudah tidak bisa ku langgar. Juga harus ku patuhi seumur hidup ku.

Sejenak kami terdiam. Lalu tiba-tiba dokter Vian. Lagi-lagi ia membuka pembicaraan. Dan berusaha memecah kecanggungan di antara kami.

"Menurut mu... Kapan kita harus memberitahu teman-teman di IGD juga seluruh teman-teman di rumah sakit?" Katanya.

Hem!

Jujur saja, aku tidak berpikir sampai sejauh itu. Bagaimana ya? Tidak mungkin kami tidak memberitahu semua rekan kerja kami di rumah sakit. Tapi, kenapa aku berpikir dan memilih untuk lebih baik di rahasiakan dulu ya?

"Menurut mu... Jika mereka tahu bagaimana?" Tambah dokter Vian.

Nah! Itu dia. Terlebih diriku yang banyak tidak di sukai oleh beberapa perawat senior di IGD.

"Eeee... Sepertinya dan tentu saja semua akan sangat terkejut" Jawab ku. "Kalau kita rahasia kan dulu bagaimana, Dokter? Karena saya pikir, jika tiba-tiba memberitahu mereka, mereka pasti akan berpikir yang tidak-tidak... Terlebih banyak teman-teman yang mengetahui drama yang saya buat minggu lalu" Tambah ku.

"Iya juga sih... Tapi... Sampai kapan? Kita tidak mungkin selamanya merahasiakan status pernikahan kita. Selain itu, jika terlalu lama, aku takut pihak HRD akan berpikir kita sengaja tidak memberitahu karena ingin menghindari konsekuensi dari pasangan suami istri yang berada di satu instansi"

"Emp... Jika memang konsekuensi nya nanti adalah salah satu di antara kita harus meninggalkan rumah sakit. Biar saja saya yang pergi. Lagi pula tidak mungkin dokter Vian yang berhenti bekerja. Dokter Vian kan kepala keluarga saya sekarang. Harus menafkahi saya dan anak-anak kita nanti" Jawab ku malu.

"Uuuuu... Gemasnya. Hahaha" Ucap dokter Vian sembari menaikkan satu alisnya. Tersenyum menggoda ku dengan jawabannya itu. Lalu dihembuskannya napas panjang.

Lagi kami terdiam. Lantas dokter Vian merubah posisinya dengan menghadap ke arah ku.

"Jika sedang tidur, kamu suka lampunya tetap terang atau gelap?"

"Eee gelap" Jawab ku perlahan.

"Oh! Sama donk... Aku juga lebih suka saat gelap! Mau gelap-gelapan sekarang?"

avataravatar
Next chapter