1 NIAR: Kita Putus!

NIAR: Kita Putus!

Benar-benar aku ingin mengumpat di hadapan mereka. Setelah ku tahu seorang pasien yang baru datang itu adalah wanita jalang yang selalu saja menjadi ular dalam hubungan ku dan Tomi. Kini berlagak terkulai lemas dalam dekapan tunangan ku itu.

"Sudah berapa hari sakit, Anda?" Tanya dokter Vian pada wanita jalang ini.

"Sudah dua hari, Dokter. Biasanya tidak sesakit saat ini. Tapi kali ini benar-benar sakit bahkan hingga berhari-hari. Sstt... Haduh... Sakit sekali" Jawabnya beralasan.

Sembari ia tersenyum licik ke arah ku. Di rangkulnya tangan Tomi seolah hendak membuat ku semakin geram. Sementara Tomi. Agh, laki-laki bodoh ini! Tentu saja dia hanya diam dan seolah berusaha menyembunyikan wajah bersalahnya.

"Berikan pereda nyeri. Dosisnya satu koma lima saja" Perintah dokter Vian padaku.

"Rj, Dokter?" Tanya ku (Rj=rawat jalan).

"Iya... Rj" Jawab dokter Vian.

"'Baik, Dokter" Jawab ku seraya mengikuti dokter Vian.

Tepat saat itu. Saat aku hendak mengambil jarum suntik juga cairan obat yang dokter Vian katakan. Tiba-tiba saja Tomi meraih lengan kiri ku dan membuat keonaran.

"Aku bisa jelaskan pada mu, Niar! Tolong! Tolong! Tolong! Tolong percaya padaku, Niar! Tolong! Dengarkan aku dulu! Aku bisa jelaskan padamu! Sungguh! Ini tidak seperti yang kamu pikirkan! Tolong, Niar!" Katanya.

Jadilah kami pusat perhatian semua orang di IGD ini. Tak terkecuali pasien, keluarga pasien, perawat senior ku. Juga dokter Vian.

"Aku tidak peduli! Lepaskan tangan ku!" Jawab ku sembari menghempas Tomi agar menjauh dari ku.

Lalu, tepat ketika aku memasuki ruang penyimpanan obat. Sejenak ku lewati dokter Vian yang nampaknya cukup geram dengan drama yang aku dan Tomi buat. Saat itu lah dokter Vian menghentikan ku. Kemudian berkata dengan lirih sembari meraih jarum suntik dan botol obat ini.

"Berikan pada ku! Selesaikan urusan mu!"

Cih! Sial! Hingga dokter Vian berkata seperti itu. Sungguh malu sekali rasanya.

Haduh!

Ikutlah Tomi mengikuti langkah ku meninggalkan IGD ini. Lalu tepat di halaman depan IGD, aku berdebat hebat dengan Tomi. Ku luapkan semua marah dan kecewaku padanya. Ku tutup telinga ku dan tak lagi aku mau percaya.

"Sudah cukup! Kamu sudah tidak perlu menjelaskan apapun lagi pada ku. Aku sudah MUAK! Dengan semua pembelaan mu! Juga alasan mu! Cukup! Kita Putus! Pernikahan kita batal! Kamu tidak perlu datang ku rumah ku bersama keluarga mu minggu depan! KITA PUTUS!" Pungkas ku tepat di hadapan wajah Tomi.

Sembari ku lepas cincin pertunangan kami. Ku letakkan di telapak tangan kananya. Lalu mendorongnya agar lagi menjauh dari ku!

"Pergi dari hidup ku!"

"Niar! Niar! Niar! Tunggu, Niar!" Panggilnya berusaha meraih lengan kiri ku.

Namun tentu saja dengan segera aku menghempaskan lagi dirinya.

"LEPASKAN TANGAN KU!"

Hingga aku membuatnya terjatuh dan terserungkuk di tanah. Lalu juga membuat semua orang memperhatikan kami. Namun sayangnya, aku tidak peduli. Kini dimata ku, tak ada lagi rasa belas kasih padanya. Bahkan untuk percaya lagi pada Tomi, agh! Tidak! Aku sudah tidak bisa lagi untuk percaya pada laki-laki ini.

Cukup sudah dia memperlakukan aku seperti ini selama bertahun-tahun. Dan aku tak mau hidupku selamanya harus menerima banyak kebohongannya. Cukup! Aku sudah muak!

Berlalu aku meninggalkannya yang nampaknya masih berusaha mengejar ku. Namun perhatian ku kini tak lagi tertuju pada Tomi. Oleh karena saat ini ku sadari dokter Vian sedang memperhatikan ku tepat di pintu IGD.

Sembari ia melipat kedua kaki dan tangannya yang saling bersilang. Perlahan aku mendekati dokter Vian yang menyandarkan sebagian dirinya di pintu IGD. Hingga akhirnya aku berdiri tepat di hadapan Dokter Vian. Dikatakannya.

"Ini IGD. Jaga sikap mu!" Katanya sembari berbalik arah usai menegur ku.

Sial! Sungguh sial sekali aku hari ini! Hingga aku mendapat teguran dari dokter Vian! Benar hanya dua kalimat saja. Namun dua kalimatnya itu. Haduh! Bisa membuat ku malu seumur hidup.

Astaga! HAISH!

Tiba saatnya jam jaga pagi ku berakhir. Pulang aku rumah dan siaplah aku untuk lagi menguras emosi. Oleh karena aku yakin. Sangat yakin bahwa Tomi pasti telah mengatakan pada ayah dan ibu bahwa aku telah membatalkan pernikahan kami minggu depan.

Dan benar saja. Baru aku membuka pintu rumah ini. Kedua orang tua telah berada di ruang tamu dengan gaya mereka yang seolah telah siap untuk menerkam ku.

Hagh!

Benar-benar si bodoh itu ya!

"Kamu sudah tahu kesalahan mu, kan?" Kata ayah ku mengawali emosinya.

"Wa hahaha... Bisa ayah berkata seperti itu? Hah?" Jawab ku hendak melawan.

"NIAR!" Tegur ibu ku.

Masih aku dengan ego ku yang tak mau mengerti posisi orang tua. Jadilah kini aku berdebat hebat dengan mereka berdua yang memaksa ku untuk tetap menikah dengan Tomi.

"Aku tidak mau! Ayah dan ibu mau aku selamanya bermakan hati berulam jantung? Malu hanya sebentar! Setelah tiga bulan berlalu semua orang akan lupa! Penting sekali ucapan orang-orang di luar sana ketimbang kebahagian putri ayah dan ibu sendiri" Jawab ku yang mulai sangat kurang ajar.

"Niar! Kamu tidak mengerti perasaan kami sebagai orang tua mu!" Ujar ibu mencoba menyadarkan aku.

"Lalu ibu mengerti tidak perasaan ku?"

"Ibu mengerti! Ibu sangat mengerti! Lalu sekarang apa kamu mengerti perasaan ayah dan ibu?" Pungkas ibu menyadarkan ku.

Tepat di situ aku benar-benar tercekat. Seketika aku terdiam dan tak lagi mampu menjawab. barulah sadar betapa egois dan mementingkan diri ku sendiri. Sedang keputusan ku tadi juga pasti sangat sulit bagi ayah dan ibu ku.

"Kamu harus tetap menikah minggu depan, Niar!" Sela ayah ku tiba-tiba.

"AYAH! Aku tidak mau!" Jawab ku ternyata masih saja bersikeras.

"Kamu harus tetap menikah! Paham!"

Hah! Astaga Tuhan! Hah!

"Baiklah! Baiklah jika memang itu masih menjadi keinginan ayah dan ibu. Baiklah! Aku tetap akan menikah minggu depan. Tapi aku tidak akan pernah menikah dengan Tomi!" Pungkas ku.

"Niar! Apa maksud mu? Jangan kamu semakin mempersulit ayah dan ibu!" Jawab ibu ku seolah menegurku.

Oleh karena jawaban ku tadi yang tiada bedanya dengan penolakan. Namun, tiba-tiba saja. Terlintas dalam pikiran ku. Suatu pemikiran gila yang ku yakin takkan mungkin bisa ayah dan ibu lakukan. Dengan harapan agar minggu depan aku tidak perlu menikah.

"Ayah dan ibu ingin aku tetap menikah minggu depan kan? Kalian tidak ingin malu kan? Baiklah! Jika memang itu yang kalian inginkan"

Ku ambil napas panjang. Tepat di hadapan keduanya. Ku katakan dengan tegas.

"JODOHKAN SAJA AKU! DENGAN SIAPAPUN!!"

avataravatar
Next chapter