webnovel

Tak Ada Yang Lebih Penasaran Daripada Penjelasan

Dia memiliki sekitar lima belas pepero sisa setelah ia membagikannya pada sekumpulan anak kecil. Semua ini bisa ia jadikan sebagai camilan di kost-nya. Lena berjalan sembari mengayunkan kantung plastik di tangannya. Melewati jalanan yang terdapat banyak pedagang di sisi kanan dan kiri. Keadaan di sana cukup ramai, karena hari ini adalah hari libur, banyak orang yang berbelanja.

Daerah ini hampir dekat dengan kost-nya, namun masih harus melewati dua gang yang panjang untuk sampai ke sana. Awal pindah ke daerah ini, Lena hampir setiap hari mengeluh lantaran kakinya merasa sangat pegal ketika harus berjalan jauh. Sekarang, dia tidak peduli akan hal itu. Dia juga akan berjalan sejauh itu hanya untuk membeli makanan.

Suara anak-anak yang tengah berlarian dan interaksi antara penjual dan pembeli melengkapi keramaian tempat ini. Bahkan, membuat Lena juga kelimpungan untuk menemui jalan keluar dari pasar kecil ini. Dirinya sampai beberapa kali tertabrak beberapa kuli panggul. Barulah Lena berhasil terbebas dari sana setelah melewati banyak halangan. Namun, beberapa meter dari keramaian, Lena sedikit terkejut mendengar seseorang berbicara. Bukan apa-apa, Lena mengenali suara itu.

"Kau menikmati waktumu, bukan?"

Itu adalah suara Doni yang berjarak dua meter dari tempat Lena berdiri saat ini. Kedua tangannya berada di dalam saku celana, perlahan memotong jaraknya dengan Lena. Dan yang diajak bicara Doni pun sama sekali tidak memutar tubuhnya, justru laki-laki itu mendapatkan satu kotak pepero saat ia berdiri tepat di samping Lena. Doni sampai kebingungan saat menerima jajanan manis itu.

"Untukmu," kata Lena.

Keduanya melanjutkan langkahnya, namun tidak mengarah pada kost Lena, melainkan menuju lapangan yang kosong. Mereka terduduk di bangku yang berada tepat di bawah pohon rindang. Lena membuka kembali salah satu pepero yang ia bawa, memakannya sembari menatap lapangan kosong yang mendapatkan pancaran sinar matahari. Tidak ada apa-apa di sana, hanya rumput liar yang mulai tumbuh. Disebelahnya, Doni juga membuka pemberian Lena, serta turut menatap apa yang ditatap Lena.

Cukup lama mereka memandang lapangan penuh keheningan, sampai akhirnya terdengar suara helaan nafas panjang setelah mengigit makanannya.

"Bukankah indah?" tanya Lena.

"Kau gila," Doni memangku kaki kanannya. "Lihat, rumput itu sudah panjang. Mereka hanya sedang menunggu untuk dipotong untuk membuat lapangan ini kembali indah," lanjutnya.

Hanya anggukan kepala Lena yang Doni lihat, gadis itu menyandarkan tubuhnya masih dengan mulut yang mengunyah. "Kau benar. Aku hanya perlu menemukan solusi untuk menyelesaikannya," timpal Lena.

Kepala Doni tergerak perlahan menatap Lena, dapat ia lihat tatapan Lena yang jatuh, namun bibirnya masih bisa menorehkan senyuman.

"Apa yang kau bicarakan?"

-

-

-

Saat ini mereka berada di jarak beberapa meter dari minimarket milik tantenya Lena. Gadis itu sengaja berjalan ke arah sini, lantaran ia ingin melihat kondisi tempat kerja lamanya. Walaupun jaraknya tidak jauh dengan kost-nya, dia tetap belum pernah datang ke sini lagi setelah bekerja di kafe milik Jay. Jika Lena lihat, pegawai yang bekerja di sana adalah penghuni kost yang sama dengannya. Sayangnya Lena sama sekali tidak pernah mengetahui hal itu. Mungkin karena ia juga tidak punya waktu untuk mengetahuinya.

Baru akan berjalan menuju pintu minimarket, dari luar kaca ia melihat sang kakak yang tengah berbelanja di sana. Dengan gerak cepat ia membuka pintu itu dan menghampiri sang kakak. Jantungnya berpacu cepat, dan deru nafas yang memburu, serta perasaan yang tercampur aduk. Berdiri di hadapan sang kakak menjadi suatu hal yang membuatnya lemah, kakinya terasa panas dan lemas. Sudah bertahun-tahun lamanya dia tidak berdiri di hadapannya begini. Ada banyak pertanyaan yang berkumpul di kepala Lena.

'Apa aku bisa memeluk kakakku?'

'Bagaimana kabarmu?'

'Kau kakakku, kenapa tidak mencariku?'

Di sebelah sang kakak, ada makhluk kecil setinggi lutut berdiri tepat di samping kakaknya. Lena mencoba mengulurkan tangannya dan mendekati bocah kecil itu, sayangnya bocah yang ia duga sebagai keponakannya itu menghindar dan bersembunyi di belakang kaki ibunya.

"Kenapa kau mendatangiku?" tanya Sena dengan suara tegas.

Lena kembali menegakkan tubuhnya, "Aku tinggal di dekat sini," jawabnya. Dirinya mengamati tubuh sang kakak yang tidak berisi seperti dulu lagi. Dulu, kakaknya ini paling tidak suka jika bentuk tubuhnya tidak sesuai dengan bentuk tubuh ideal. Pasti dia akan melakukan banyak cara untuk membuat berat badannya stabil. "Kau terlihat lebih kurus," kata Lena.

Mengabaikan kalimat sang adik, Sena memilih bergegas menyelesaikan membeli barang yang ia butuhkan. Menghindari sang adik setelah menggendong anaknya. Hal ini membuat Lena menaruh kecurigaan pada kakaknya. Bertahun-tahun tidak pernah bertemu, dan setelah berhasil menemukannya, sang kakak justru menghindarinya. Tak gentar, Lena mengejar kakaknya, ia rasa mereka berdua harus berbicara. Setidaknya sampai Lena mengetahui alasan kakaknya tidak datang di hari pemakaman kedua orang tua mereka.

Berdiri di depan kasir sembari menggendong anak dan juga menahan diri dari sang adik, menjadi suatu kesulitan untuk Sena. Ia berusaha untuk mengabaikan kalimat adiknya. Dalam batinnya terus meracau agar ia segera keluar dari minimarket ini dan pergi menjauh dari Lena. Sangat tidak menyukai keadaan seperti ini, yang mana rasanya seperti memupuk kebencian terhadap sang adik.

"Kak, datanglah ke kostku, kita perlu berbicara," ucap Lena.

Tepat ketika uang kembalian Sena terima, wanita itu bergegas keluar dari minimarket hingga tidak sengaja menabrak Doni di sana. Pun laki-laki itu segera menghalangi langkah Lena untuk mengejarnya, lantaran akan menjadi usaha yang sia-sia.

"Tidak usah dikejar," ucap Doni, tangannya menahan pundak Lena. "Percuma jika kau berhasil menangkapnya, tapi kakakmu tetap tidak ingin bicara," pungkasnya.

Tanpa mengeluarkan kalimat apapun, Doni menggenggam pergelangan tangan Lena, ia menarik gadis itu keluar dari minimarket dan membawanya pergi ke tempat yang menenangkan. Kedua tangannya menurunkan pundak Lena agar gadis itu bisa duduk pada sebatang kayu besar yang berada daerah belakang minimarket milik tantenya Lena.

Sengaja Doni tak bersuara, bahkan dia tak menoleh ke arah Lena barang sedikitpun. Dirinya hanya mencoba untuk memberikan waktu untuk Lena mengeluarkan emosinya dengan cara apapun. Sekalipun jika harus mendengar tangis dan keluh kesahnya, Doni juga siap memberikan pundaknya pada temannya itu untuk bersandar. Karena tak ada yang bisa Doni lakukan, menurutnya ini hanyalah kesalahpahaman yang terjadi antara seorang kakak dengan adiknya. Bukan ranahnya untuk ikut campur.

"Kenapa kau membawaku ke sini?" tanya Lena.

"Entahlah," Doni menghela nafasnya, ia sama sekali tidak menoleh ke arah Lena. "Hanya tempat ini yang terlintas di kepalaku saat aku harus menenangkanmu," lanjutnya.

Lena berdecak, ia terkekeh mendengar jawaban temannya itu. "Padahal, tidak datang ke sini pun, aku juga bisa tenang," timpalnya.

"Memangnya, apa salahnya jika aku berusaha menenangkan gadis yang aku suka?"