webnovel

Sebuah Keputusan

Baru memasuki kamarnya, Mina meletakkan semua barang yang ia bawa—termasuk buku yang ia beli tadi. Sejujurnya, sejak tadi Mina tak ada niatan membeli buku, hanya saja itu ide yang terlintas agar dia bisa memiliki waktu lebih lama bersama Steve. Gadis itu menatap beberapa saat buku yang ia beli tadi, padahal buku itu sudah ia miliki sejak beberapa bulan lalu, dan tersimpan di dalam rak bukunya. Entahlah, Mina belum tahu akan diapakan buku yang baru ia beli ini.

Dirinya terduduk di depan meja rias, menatap wajahnya yang tersenyum cerah. Namun, perlahan salah satu sudut bibirnya tertarik lebih tinggi, serta tatapannya yang lebih tajam. Tertawa kecil ketika menuangkan pembersih wajah ke atas kapas. Di dalam kepalanya, terdapat sebuah rencana yang sudah lama ia pikirkan, namun membutuhkan banyak waktu untuk menjalankannya.

"Aku hanya perlu menemui temannya yang satu," ucap Mina sembari mengusapkan kapas tadi ke wajahnya.

-

-

-

Setelah Lena mendapatkan tugas untuk mengantar makanan milik Steve, gadis itu justru tengah duduk di dekat laki-laki itu. Ia tak mengkhawatirkan soal pekerjaannya, karena semua juga sudah ia selesaikan. Selain itu, keadaan kafe juga sedang kosong, toh semua pegawai jiga sedang tidak melakukan pekerjaan apapun. Ia berbincang dengan Steve setelah mendengar laki-laki itu menyebutkan sepupunya. Sebenarnya, bagi dia pun, semua tentang sepupunya bukanlah urusannya, namun setelah mendapat peringatan dari tantenya saat itu, Lena harus bisa membuat Steve tertarik pada Rana.

Nampan yang digunakan tadi masih ia bawa dan peluk sembari mendengarkan Steve bercerita. Padahal, Lena tadi berpikir jika kedatangan Steve ke kafe adalah untuk mengerjakan tugas kuliahnya. Terbukti saat ini, layar laptop yang tadi ia lihat berisikan sebuah file, seketika redup lantaran laki-laki itu mengabaikan tugasnya dan memilih untuk terus bercerita.

Isi dari cerita laki-laki itu adalah tentang dirinya yang sempat bertemu dengan Rana saat berbelanja bulanan. Sepupu Lena itu terlihat berbelanja bersama dengan ibunya. Steve sama sekali tidak menyadari keberadaan mereka, namun Rana sendiri yang secara tiba-tiba menghampirinya.

"Rupanya, sepupu dan tantemu sama-sama cerewet, ya?" Steve menghela nafas setelah selesai bercerita, ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi.

Mendengar hal itu justru membuat Lena terkekeh, pikirnya Steve pasti terkejut karena belum pernah menemui orang seperti mereka. Lena sudah sangat kenyang melihat tingkah dan mendengar omelan dua orang itu. Dia menepuk beberapa kali salah satu pundak Steve, "Kuatkan saja dirimu, kau tak akan tahu sampai kapan kau akan bertemu dengan mereka," tutur Lena. Ia segera meninggalkan laki-laki itu seorang diri, hanya saja ia kembali berhenti setelah mendengar Steve menyebutkan nama teman satu kostnya—Mina. "Dia bercerita tentangku?" heran Lena, ia kembali ke arah laki-laki itu guna mendengar cerita lengkapnya.

Gadis itu kembali duduk di bangkunya, ia menunggu Steve untuk melanjutkan ceritanya. Pasalnya, dia dan Mina tidak banyak berinteraksi, namun kenapa teman satu kostnya itu menceritakan dirinya pada orang lain? Bahkan, Lena saja tidak banyak bercerita tentang dirinya ketika ia berbincang dengan Mina.

"Apa yang dia ceritakan?" tanyanya.

"Dia kagum pada dirimu," Steve menjeda kalimatnya, ia menegakkan tubuh sebelum kembali bercerita. "Bisa hidup seorang diri, bekerja untuk membayar kuliahmu sendiri," lanjutnya.

"Dia juga membandingkan dirinya yang terlihat seperti anak manja karena mengandalkan uang orang tua untuk membayar uang kuliah," kata Steve lagi.

Entahlah, Lena justru sedikit dibuat bingung, kenapa Mina justru membandingkan dia dengan dirinya? Jika memang itu untuk menarik perhatian Steve, sepertinya caranya salah. Dia bahkan terlihat tengah merendahkan diri untuk membuatnya tinggi. Lena sampai mengerutkan alisnya, namun memilih untuk tidak memikirkannya kembali. Lantas, ia beranjak dari kursi dan pergi meninggalkan Steve.

"Biarkan saja. Kau kerjakan tugas kuliahmu," katanya.

Laki-laki itu juga lupa dengan tugasnya. Dia sama sekali tidak menyadari jika tujuannya ada mengerjakan tugas, dengan cepat dia beralih ke layar laptopnya yang sudah redup sejak tadi. Dengan segera ia memulai mengerjakan tugasnya dan mengabaikan area sekitarnya.

Sedangkan Lena, ia baru saja duduk di kursi setelah meletakkan nampan yang ia bawa. Dirinya bersandar pada meja kasir dan membuat dirinya senyaman mungkin untuk bersantai. Tak lama Dita menghampirinya, dan itu yakin jika teman kerjanya itu akan bergosip. Temannya itu menepuk-nepuk lututnya namun pandangannya tidak terarah pada Lena.

"Aku dengar kau hanya bekerja disini selama satu bulan? Apa kau akan mengundurkan diri setelah ini?" tanya Dita.

Kembali dibahas oleh rekan kerjanya, secara mendadak membuat Lena bimbang akan hal itu. Sejak tadi ia sudah melupakannya, kini kembali bingung, lantaran Lena harus segera memiliki keputusan. Yang membuat Lena bimbang adalah jarak kafe dengan kostnya, itu cukup jauh hingga memakan waktu yang lama juga. Lena mengigit bibir bawahnya, pikirannya masih mempertimbangkan untuk mengundurkan diri atau tidak.

Yang membuat Lena tergelitik adalah ketika ia tengah berpikir, namun Dita justru memberikan kalimat-kalimat yang seharusnya mengharukan, namun menggelitik bagi Lena. Semakin kenal dengan Dita, dirinya semakin merasa Dita lebih lucu dibandingkan awal mereka bertemu.

"Kau ini menggelikan sekali," kata Lena yang tertawa.

"Bukankah itu caranya agar kau tidak mengundurkan diri?" Dita menghela nafasnya, melipat kedua tangan di depan dada. "Ayolah, awal kita bertemu memang aku tidak menyukaimu, tapi setelah mengenalmu pandanganku berubah," ungkapnya lagi.

Gadis itu terdiam, ia melihat sekeliling kafe. Tempat yang menjadi lokasi dimana ia melihat kakaknya untuk yang pertama kalinya setelah sekian lamanya berpisah. Atasannya juga berkata ia sudah menjadi karyawan tetap. Jika dipikir, memang sangat disayangkan mengundurkan diri setelah mendapatkan posisi yang bagus.

Hal itu terjadi hingga malam hari, dimana satu per satu pegawai sudah memasuki loker mereka guna mengambil barang-barang. Begitu juga dengan Lena, namun ia memilih untuk melakukannya nanti setelah keadaan mulai sepi. Ia tak suka berdesakan. Seraya menunggu, Lena melirik ke arah ruangan atasannya. Lampu yang masih menyala dan pintu yang tertutup rapat, belum menampilkan atasannya keluar dari ruangan sejak siang tadi.

Selang beberapa menit, Lena baru memasuki loker. Ia memeriksa tasnya yang sempat ia masukan uang dari bayaran bekerja di kafe ini selama satu bulan. Memperhatikan tebalnya amplop itu, membuat Lena sangat menyesal jika meninggalkan pekerjaan ini. Tidak akan berbohong, ia bekerja hanya demi mendapatkan uang. Lantas ia keluar dari ruangan dan berniat untuk bertemu dengan atasannya.

Bersamaan dengan ia keluar, di sana juga terdapat Jay yang baru saja keluar dari ruangannya. Lena perhatikan wajah atasannya itu terlihat seperti kelelahan, namun ia tak ingin membahasnya. Dengan sopan ia langsung berkata pada atasannya itu jika ia tidak akan meninggalkan pekerjaannya ini.

"Pak, saya sudah memutuskan untuk tetap bekerja di sini," katanya.