webnovel

Antar

Suara decitan terdengar saat Lena mematikan keran air. Dia berjalan mencari tisu untuk mengeringkan tangannya yang basah. Dia memeriksa keadaan dapur itu sekali lagi, agar tidak ada yang piring ataupun barang dapur lainnya yang nampak kotor. Iya, dia adalah orang terakhir yang berada di dapur, dan tak ingin jika ia menjadi orang yang disalahkan karena tidak benar dalam bekerja. Sebagai pegawai baru, ia tidak bisa sembarangan bertingkah, dan itu juga pasti dilakukan oleh semua pegawai lama.

Kakinya keluar dari dapur dan menutup pintu dapur, ia bergerak menuju ruang ganti untuk mengambil semua barangnya. Lena melepas gulungan rambutnya dan mengikat seperti biasa. Saat ia akan mengambil tasnya, Lena baru menyadari ada sebuah foto yang tertempel di pintu loker. Foto boneka beruang coklat dengan buket mawar merah. Dirinya yakin jika itu milik pegawai lama yang bekerja disini. Tidak, Lena tidak akan mengambilnya. Lagipula cukup bagus sebagai hiasan lokernya—walaupun bukan miliknya.

Dia sudah memiliki kunci loker itu, dan saat ini Lena sudah mengunci dan siap keluar dari sana. Di meja dekat dengan pintu utama, Lena melihat Jay yang terduduk sembari memegang ponselnya. Karenanya, Jay harus menunggu hingga duduk di kafe yang sudah sepi ini. Dia berjalan mendekati atasannya itu, tangan kirinya sudah menenteng tasnya. Ada rasa bersalah dan tidak enak terhadap Jay, tapi ini bukan sepenuhnya salah Lena. Dirinya hanya melakukan tugas yang diberikan oleh pegawai disini.

"Maaf, pak. Bapak jadi terlalu lama menunggu saya," ucap Lena.

Jay mematikan ponselnya, ia mendengus kasar dan bangkit dari kursinya. "Jangan percaya diri, aku menunggumu karena ingin segera mengunci kafe," balas Jay dengan ketus.

Keduanya keluar dari kafe itu, Lena juga tidak langsung pergi. Ia masih menunggu atasannya itu sedang berjongkok guna mengunci pintu kafe terlebih dahulu. Melihat punggung lebar Jay dari belakang, atasannya itu seperti laki-laki keren yang kelewat tenang. Hanya saja sifat angkuhnya menutupi itu semua.

Detik setelahnya Jay bangkit dan bingung saat melihat Lena masih berdiri di belakangnya. "Kenapa kau masih disini?" tanya Jay dengan kedua tangan dimasukkan kedalam saku celananya.

"Akan lebih tidak sopan jika aku langsung meninggalkan atasanku," jawab Lena.

Merasa tak perlu ditimpali, Jay langsung meninggalkan Lena menuju mobilnya. Ia melihat saat Lena berjalan untuk mencari taksi. Ini sudah pukul delapan lebih, dimana taksi juga jarang yang beroperasi malam. Lagipula hanya taksi yang bisa ia andalkan sebagai transportasi untuk pulang saat ini. Berdiri dengan memeluk tasnya, menoleh ke kanan dan kiri berharap mendapati taksi yang lewat di daerah sana.

Hampir sepuluh menit ia berdiri di sana seorang diri. Helaan nafas pun berkali-kali keluar dari mulutnya. Sampai sebuah mobil berhenti tepat didepannya. Lena tak asing dengan mobil itu, bahkan dia sangat hafal dan pernah menaikinya serta mengendarainya. Namun, Lena tidak tahu maksud dari Jay yang menghentikan mobilnya. Padahal, kafe juga sudah tutup sejak tadi. Lena tidak ingin merasa percaya diri dulu, bisa saja Jay tidak akan memberikan tumpangan untuknya.

"Naiklah," kata Jay tepat setelah kaca mobilnya turun.

"Tidak perlu, aku akan menunggu taksi saja," timpal Lena.

"Tak akan ada transportasi umum di sini," balas Jay, namun dia melihat Lena tetap abai dengan ucapannya. "Terserah kau saja," kata Jay lagi dan dia langsung menancapkan gas mobilnya membiarkan Lena dengan keras kepalanya.

Gadis itu mulai kembali sendirian, jalanan disekitarnya pun juga perlahan sepi. Lena tidak takut untuk keadaan seperti ini. Untuk saat ini. Entahlah, dia sendiri juga tidak tahu bisa bertahan berapa lama, apalagi ucapan Jay benar adanya. Tidak ada satupun transportasi yang lewat, ditambah waktu terus berjalan. Sekali lagi Lena menoleh ke segala arah untuk mencari transportasi umum. Ah, tidak ada trasnportasi umum pun tidak apa-apa, asal ada orang baik yang memberikan tumpangan. Ada sedikit rasa menyesal ketika ia menolak tawaran Jay.

Sampai beberapa menit setelahnya, dari kejauhan Lena mendengar suara teriakan seorang wanita yang meminta tolong. Ini bukan karena ia tak ingin membantu, hanya saja Lena juga sedang merasa ketakutan berdiri di sini seorang diri. Akhirnya Lena berjalan menjauh dari kafe Jay ini, berharap dia akan menemukan taksi. Lena tidak ingin diganggu oleh orang-orang jahat juga.

Sekarang dia sudah berjalan di pinggir jalan raya. Ya, hanya jalur seperti ini yang masih ramai.

Tangannya sudah mulai merasa lebih dingin daripada sebelumnya. Sepertinya dia akan berjalan untuk sampai ke rumahnya. Karena dia sudah lelah tidak menemukan adanya angkutan umum. Dan dia mendengar suara mobil yang berjalan lambat disebelahnya. Lena sama sekali tidak berani untuk menoleh, dirinya tetap melihat ke arah depan dan berjalan sedikit lebih cepat. Jantungnya sudah merasa tidak enak jika saja pemilik mobil itu adalah orang jahat.

"Kau yakin tak ingin menerima tumpanganku?"

Lena langsung bergegas masuk ke dalam mobil itu. "Baiklah, tadi kau sudah memaksaku," ucapnya dengan cepat. Dia memasang sabuk pengaman dan menghadap ke jalanan, seolah tidak terjadi apa-apa. "Aku hanya tidak enak menolak tawaran orang lain," tambahnya.

Jay hanya mendengus kasar, melirik Lena dengan tatapan sedikit tajam. Lantas ia melajukan mobilnya dan mengantarkan Lena untuk pulang ke kos-nya. Sebenarnya, tadi Jay tidak sungguh-sungguh meninggalkan Lena. Dia tahu, jika Lena memang memiliki pekerjaan yang cukup banyak, pada kenyataannya Lena juga pegawai yang terakhir pulang. Jay juga masih memiliki rasa kemanusiaan, apalagi pada seorang perempuan.

"Jika pada akhirnya kau berada di dalam mobilku, kenapa harus bergaya tidak akan menerima tumpanganku?" tanya Jay.

"Itu tadi, karena aku belum selesai bicara setelah kau berkata jika tidak ada transportasi umum," jawab Lena, dirinya menunduk sembari memainkan gantungan kunci pada tasnya. "Lagipula, kau ini tidak menunggumu ketika berpikir," tambahnya dan malah menyalahkan Jay.

"Yang benar saja, dia malah menyalahkanku," cicitnya kecil. Jay sampai menggeleng tidak menyangka dengan kalimat Lena barusan. Mungkin memang benar, dia tadi tidak perlu repot mengikuti Lena dan memberikan tumpangan ini.

Keduanya sama-sama diam dan memilih untuk mengalihkan pandangan mereka ke tempat yang berbeda. Jay memandang jalanan kota yang diterangi dengan lampu temaram, sedangkan Lena yang masih memainkan gantungan kunci pada resleting tasnya. Sesekali gadis itu melirik singkat ke arah Jay yang terfokus menyetir. Bola matanya hanya bergerak acak, dan helaan nafas yang berkali-kali terdengar hingga memasuki rungu Jay, membuat laki-laki itu langsung melontarkan kalimatnya.

"Katakan apa yang ingin kau katakan. Aku benci mendengar helaan nafasmu itu," ketus Jay.

Lena sedikit terkejut karena Jay menyadari tingkahnya ini. Ia merapatkan rahang atas dan bawahnya. "Memangnya tidak apa-apa jika atasan mengantarkan pulang pegawainya? Aku khawatir ada pegawai lain yang ternyata melihat kita berdua, dan akan membuat berita tidak benar,"

Jay terdiam beberapa saat, pandangannya masih terlihat biasa saja saat memandang jalanan. Namun, ia tidak bisa lagi menahan tawanya setelah mendengar pertanyaan aneh itu.

"Kau menyukaiku?" tanyanya disertai dengan tawa. "Jangan menyertakan perasaanmu itu. Kau hanya pegawaiku,"

Astaga, padahal Lena ini hanya mengutarakan apa yang ada dipikirannya ini. Toh, ia juga tidak sengaja memikirkannya. Dia memutar matanya jengah, dan enggan mengajukan pertanyaan apapun lagi pada bos angkuhnya ini.