1 Bulan Purnama Berdarah

Malam ini, bulan terlihat bulat sempurna dengan cahaya berwarna kemerahan layaknya darah. Angin tiba-tiba bertiup dengan kencag, membuat beberapa pohon maple yang berdiri di halaman rumahku jadi bergoyang, dan menimbulkan bunyi gemerisik.

Nenek bilang, malam ini adalah malam purnama berdarah. Penduduk sekitar percaya, jika malam purnama berdarah adalah saat ketika para penyihir hitam keluar untuk mencari korban untuk kekuatan mereka.

Mereka akan membunuh korbannya dengan cara menghisap jiwa-jiwa dari para gadis yang masih perawan. Maka dari itu, Nenek selalu mengkhawatirkan aku dan juga Dasha karena hal ini. Mengingat, status kami yang masih perawan.

Sejujurnya, aku tidak percaya dengan mitos semacam ini. Ayolah, kita sudah hidup di zaman modern. Menurut ilmu pengetahuan, sihir dan hal semacam itu hanyalah sebuah karangan manusia saja.

"Irene." Sebuah suara memanggil namaku.

Sontak aku menoleh ke belakang, ada Nenek yang sedang berdiri di ambang pintu bersama dengan Dasha, adik perempuanku satu-satunya.

Aku berjalan menghampiri mereka. Nenek tampak menatapku dengan tatapan khawatir.

"Nek. Apa Nenek masih memikirkan mengenai mitos penyihir hitam itu?" tanyaku seraya mengusap wajah keriput Nenek.

Nenek mengangguk pelan. "Kau yakin akan pergi bekerja di hari seperti ini?" tanya Nenek seraya menatap ke atas, tepatnya ke arah langit hitam di mana terdapat bulan purnama berdarah itu.

Aku mengikuti arah pandangnya. Tampak langit hitam yang nyaris tanpa bintang. Hanya ada sebuah bulan yang warnanya semakin menggelap layaknya darah. Selama hidupku, aku sudah pernah menyaksikan hal ini sebanyak dua kali ketika aku kecil dan saat ini. Karena memang, fase bulan purnama berdarah hanyalah sepuluh tahun sekali terjadi.

Suasana malam ini memang sangat mencekam. Tapi aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku begitu saja. Jason akan marah besar jika aku tidak pergi bekerja karena mitos itu. kuarahkan kembali pandanganku kepada Nenek, lalu kugenggam tangan keriputnya dengan lembut.

"Nek, jangan khawatir ya. Aku akan baik-baik saja," ucapku meyakinkan.

Nenek tak menggubris perkataanku. Selanjutnya, ia malah berjalan kembali ke dalam rumah untuk mengambil sesuatu yang tak aku tahu.

Kini tinggallah aku dan Dasha berdiri di ambang pintu. Kutatap wajah manis adik perempuanku yang masih berusia 17 tahun itu. "Hei, apa kau juga merisaukanku?" tanyaku.

Gadis berambut cokelat itu menggeleng pelan. "Untuk apa aku merisaukanmu. Sebaiknya, cepat kau pergi bekerja. Jika tak ada kau, aku bebas menonton film hingga pagi," jawabnya ketus.

Aku terkekeh mendengar perkataannya. Karena usia kami yang hanya terpaut lima tahun, membuat kami seperti layaknya teman. Bukan Kakak atau Adik. Kami sering bertengkar karena hal sepele, bertukar cerita dan bahkan bertukar pakaian.

"Kau akan merindukanku jika aku tidak ada, Dasha," sahutku seraya tersenyum tipis dan lalu mengusap pundaknya yang tertutup sebuah jaket bulu tebal.

Dasha tak menggubris. Ia hanya mencibir tak jelas lalu kembali masuk ke dalam rumah. Tak lama setelah itu, Nenek datang menghampiriku sambil tergopoh-gopoh. Ia lalu berhenti tepat di hadapanku.

"Ini, bawalah." Nenek mengulurkan sebuah kalung salib di tangannya.

Aku tertegun melihat benda itu. Selama aku dilahirkan, aku memang belum pernah menyentuh benda itu sedikitpun. Entah mengapa, aku sedikit tidak mempercayai adanya agama.

Tentu saja saat itu Nenek memaksaku untuk ikut ke gereja bersamanya. Dan aku juga terpaksa melakukannya demi untuk membuat Nenek tak kecewa. Mengingat, aku dan Dasha menumpang hidup padanya setelah Ayah dan Ibu kami meninggal.

Berbeda dengan Dasha, Dasha adalah anak yang sangat taat beribadah. Dia sangat menyukai jika pergi ke gereja bersama Nenek. Dia juga sering mengikuti paduan suara di gereja untuk menyanyikan lagu rohani di sana.

"Terima kasih, Nek." Aku dengan terpaksa mengambil untaian kalung salib yang ada di tangan Nenek, kemudian memakainya di leherku.

"Hati-hati, Sayang." Nenek membelai rambutku dengan lembut, aku balas dengan memeluknya.

"Hubungi aku jika terjadi sesuatu," peringatku.

Nenek mengangguk pelan. Kemudian kulepas pelukanku, lalu mulai berjalan melangkahkan kaki meninggalkan rumah. Meski sedih melihat Nenek yang begitu khawatir kepadaku, namun aku tak dapat berbuat banyak. Karena jika aku tidak bekerja, bagaimana cara aku membiayai hidup kami bertiga?

Aku menyusuri jalanan kota Athalaz yang terlihat sangat sepi. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling, gelap, sunyi, tak ada seorangpun di sini. Semua orang tampaknya takut dengan bulan pernama berdarah. Sebagian besar memang masih percaya dengan mitos mengenai penyihir hitam.

Kulanjutkan langkahku. Namun tiba-tiba aku melihat sebuah bayangan hitam melesat dengan cepat di langit tepat di atas kepalaku. Sontak aku berdiri mematung dengan kepala mendongak ke atas.

"Apa itu tadi?"

"Ah, mungkin hanya perasaanku saja."

Kubuang jauh-jauh pikiran burukku sambil melanjutkan langkah menuju ke halte bus terdekat. Ini adalah satu-satunya sarana transportasi dari rumah menuju minimarket tempatku bekerja. Mau tidak mau, aku harus menunggu di sana sambil menatap jalanan kota Athalaz yang cukup gelap dan sangat sepi.

Untungnya, tak butuh waktu lama, bus yang kutunggu akhirnya datang. Gegas aku menaiki bus itu dan duduk di kursi yang berada di paling belakang.

Di dalam bus tak ada seoranpun kecuali aku. Sayup-sayup kudengar suara sopir yang tengah bersenandung ria sambil bersiap untuk melajukan kembali busnya.

Namun tiba-tiba, sang sopir mengerem dengan mendadak. Hal itu mengakibatkan tubuhku hampir terpelanting ke depan. Jika saja aku tidak berpegangan pada tiang di hadapanku, aku mungkin sudah tersungkur ke depan.

"Awh! Pak, tolong hati-hati!" teriakku kepada sang sopir sambil berusaha membetulkan posisi dudukku.

Tanpa menoleh, sang sopir menyahut, "Maaf, Nona. Ada penumpang yang juga ingin naik."

Tak lama setelah itu, aku melihat sesosok pria dengan jubah panjang berwarna merah menaiki bus ini. Pria itu lalu duduk di sampingku tanpa berkata apa-apa.

Aneh, ada banyak kursi kosong di sini, kenapa dia memilih duduk di sampingku?

Kembali kuedarkan pandanganku keluar jendela. Pria itu tampak bergeming dengan wajah menatap lurus ke depan.

Aku melirik sekilas, kedua tangan pucat pria itu bertautan di atas pahanya. Sempat aku melihat sebuah lambang berbentuk kepingan salju berwarna putih di tangan pria itu.

Apa itu sebuah tato?

Tiba-tiba aku terkesiap kala wajah pria di sebelahku menoleh ke arahku. Kami sempat bersitatap selama beberapa detik hingga akhirnya aku mengalihkan pandanganku ke arah lain.

A-apa itu tadi? Kenapa aku merasakan aura yang berbeda dari pria ini?

Matanya yang berwarna hijau menatapku dengan tatapan tajam. Juga jangan lupakan seringai tipis di bibirnya yang begitu menyeramkan. Seketika bulu kudukku meremang.

"T-to … long!" Aku berusaha berteriak sekuat tenaga, namun rasanya lidahku tercekat.

Pria itu masih terus menatapku dengan seringai mengerikan di wajahnya.

T-tubuhku!

Seketika aku tak bisa bergerak. Rasanya seperti ada magnet yang berkekuatan besar hingga membuat tubuhku menempel dengan sempurna di atas kursi.

Pria itu selanjutnya terlihat seperti ingin berbicara sesuatu padaku. Namun seketika ia menyurut mundur kala melirik kalung salib yang kukenakan. Ekspresinya terlihat sangat ketakutan.

Oh, apakah dia adalah iblis?

Kenapa dia takut dengan kalung salibku?

Bersamaan dengan itu, bus yang kami tumpangi berhenti di sebuah halte. Tepat ketika pintu terbuka, pria itu langsung melesat keluar dan berlari ke arah semak belukar.

Tepat setelah kepergiannya, akhirnya tubuhku kembali bisa digerakkan. Lega rasanya dapat kembali menggerakkan tubuhku. Kucoba untuk mengatur napasku yang terengah-engah. Rasanya tercekat seperti tadi cukup menyakitkan.

"Makhluk apa pria itu tadi?"

Di tengah kebingunganku itu, kudengar ponselku berdering. Gegas aku mengangkat panggilan telepon dari Nenek. Tepat ketika aku menempelkan ponselku di telinga, terdengar suara isak tangis Nenek di balik telepon.

"Irene, cepat pulang!" ucapnya terisak. "Dasha! D-dia …. "

avataravatar
Next chapter