webnovel

Si Pendeta & Si Ajin

Effi tahu kalau dia harusnya ikut membungkukkan punggungnya seperti Kilo begitu mereka harus berpisah dengan Arina. Tapi karena Arina malah melambaikan tangannya, tanpa sadar Effi juga jadi balik melambai padanya.

"...Aku tidak tahu kau dekat dengan nona Arina." Kata Kilo kemudian.

"Yah, sebenarnya kami hanya sempat bicara saat acara penyambutan saja…" Balas Effi dengan tawa kecilnya. "Tapi nona Arina baik sekali, jadi tanpa sadar Aku juga jadi terpengaruh olehnya." Tambahnya senang.

Langsung mulai berjalan, Kilo tadinya tidak berniat membalas. Tapi karena terlalu mengganjal, dia pun akhirnya bicara lagi. "Tapi sebaiknya kau hati-hati padanya. Ada banyak rumor aneh tentangnya."

"Rumor…?"

"Ya, kau tahulah, tipikal bangsawan. Semua orang bilang kalau dia punya temperamen yang suka naik-turun. Dan kalau benar-benar marah, katanya dia juga bisa melakukan hal yang buruk." Ceritanya.

Lalu setelah melihat ke kanan-kiri dengan waspada, dia pun berbalik sepenuhnya pada Effi untuk berkata lebih pelan. "Bahkan katanya dia suka mengirim pembunuh bayaran untuk membalas orang yang dia benci!"

Effi terdiam tidak nyaman dengan semua cerita itu. Tapi karena dia juga tidak tahu banyak, dia hanya bisa membalas dengan suara kecil. "Nona Arina sama sekali tidak kelihatan seperti itu…"

"Yah, Aku sudah memperingatimu." Balas Kilo. "Tapi itu nasihat sungguhan, kau tahu. Aku peduli padamu." Tambahnya kemudian dengan senyum yang dibuat-buat.

Laki-laki berkacamata itu sebenarnya merupakan salah satu pelaku penyiraman Effi di hari pertamanya. Tapi kalau di depannya langsung, tentu saja dia tidak berani macam-macam pada orang yang akan jadi kepala pendeta di masa depan.

Tapi sayangnya Effi juga tahu itu, jadi dia pun memutuskan untuk mulai jalan lagi. Meski setelah beberapa jauh, Kilo kembali menghentikannya. "Tokonya ke arah sini." Katanya saat mereka berada di persimpangan.

"Ah, mm, tapi toko yang menjual bunga Alas rasanya ada di sekitar sana… Aku sempat melihatnya saat memasuki kota minggu lalu." Kilahnya sebisa mungkin. "Aku butuh bunga itu."

"Benarkah? Yah, kalau kau berkata begitu…" Dan tanpa curiga sedikitpun, Kilo langsung mengikutinya begitu saja.

Effi hanya pernah melihat jalan di kota ini sekali, jadi dia sebenarnya tidak yakin bagaimana caranya pergi ke tempat janjiannya dengan Gin. Tapi pertama-tama, dia berencana untuk mengajak Kilo pergi ke tempat yang ramai di pusat alun-alun dulu. Sehingga dengan begitu, dia pasti bisa menemukan cara untuk menyelinap pergi.

Dan setelah pura-pura bingung cari jalan dan lari-lari kecil ke segala arah, Effi pun akhirnya berhasil memisahkan dirinya dari Kilo.

Tidak buang-buang waktu, Effi langsung membeli jubah hitam dari pengemis di pinggir jalan supaya dia bisa menyembunyikan pakaian putihnya yang mencolok. Baru setelah itu dia membeli petasan kembang api dan meminta seorang anak kecil untuk meledakkannya ke atas, selagi dia sendiri segera pergi ke tempat yang sempat Gin beritahu diam-diam saat di perayaan minggu lalu, yaitu ladang kering yang ada di pinggir kota.

Tanda kembang apinya baru meledak beberapa saat yang lalu, jadi tadinya Effi berpikir kalau dia yang akan sampai duluan di sana. Tapi ternyata begitu dia memasuki gudang kosong di tengah ladang, rupanya laki-laki berambut panjang itu sudah ada di sana. Dia terlihat memakai salah satu pakaian pentingnya, jadi mungkin dia habis pergi dari gedung asosiasi tadi.

"Gin! Syukurlah kau sudah datang!" Panggil Effi yang langsung lari menghampirinya. "Kau harus dengar, tadi siang Aku ketemu pangeran lalu… Hhhh, lalu, hhh--"

"Hei, tenangkan dirimu dulu." Sela Gin yang kemudian memegangi pundak Effi. "Tarik napas dulu. Cerita padaku ada apa. Kau bertemu dengan pangeran? Yang mana?"

"Pangeran Felix!" Jawab Effi yang masih panik. "Aku tidak tahu bagaimana, tapi… Tapi kelihatannya dia tahu tentang hubungan kita."

"...!" Gin tidak langsung panik seperti Effi. Tapi dilihat dari rahangnya yang mengeras, walaupun kecil, dia juga pasti kena serangan jantung.

"Ugh sialan, dari semua orang…!" Gerutunya dulu. "Tapi bagaimana bisa? Kau melakukan sesuatu padanya?"

"Tidak, Aku hanya menyembuhkan prajurit yang dia lukai…" Ceritanya. "Tapi setelah itu dia tiba-tiba saja berkata kalau Aku tidak akan hidup sampai sekarang kalau bukan karenamu."

Mulai melebarkan matanya tidak percaya, Gin sempat membeku sesaat. "Maksudmu… Dia tahu tentangku? Kemampuanku?" Tanyanya, tapi Effi cuma bisa memasang wajah pucat yang sama sepertinya.

'Saat Aku sudah akan diresmikan jadi anggota, kenapa sekarang?!' Keluhnya lagi dalam hati. "Lalu kau balas apa padanya? Dia bilang sesuatu yang lain?"

"Ti-Tidak ada. Dia langsung pergi begitu saja setelah mengatakan itu." Jawabnya. Tapi karena Gin mulai terdiam lagi, dia pun kembali berkata, "Bagaimana ini, Gin? Kalau pangeran benar-benar tahu semuanya, kita… Gin? Gin!"

"IYA, BERISIK! Aku juga sedang berpikir!" Teriaknya tiba-tiba yang seketika mengagetkan Effi. Tapi begitu menyadari wajah Effi yang kaku, Gin pun buru-buru menurunkan suaranya lagi. "Ma-Maafkan Aku. Aku hanya panik. Aku tidak bermaksud marah." Katanya sebisa mungkin.

"..."

"Tapi setelah dipikir, kalaupun dia memang tahu, sepertinya dia tidak berencana untuk langsung menyebarkannya." Lanjut Gin lagi. "Soalnya kalau iya, dia pasti sudah melakukannya. Atau setidaknya menghampiriku."

"Lalu kenapa…?"

"Dia menginginkan sesuatu, dan dia jelas punya rencana lain untuk itu." Katanya dan keduanya pun kembali terdiam untuk beberapa saat.

Dan entah kenapa, Gin jadi mulai gelisah dengan keadaan sekitarnya. "Tadi kau keluar istana begitu saja? Tidak ada yang mengikutimu kan?"

"Oh iya! Tadi Aku keluar dengan pendeta seniorku untuk beli obat sebelum akhirnya Aku menyelinap dan meninggalkannya di kota." Balas Effi kemudian. "Aku harus segera kembali atau dia akan curiga."

Mendesah panjang, Gin pun kembali berpikir. "Aku akan kirim surat kalau ada apa-apa. Jadi taruh hiasan pitamu di jendela."

"...Tapi Gin, asramaku ada tepat di depan kediaman tuan Heka. Jadi jangan mengirimnya saat sore atau malam, atau dia akan melihatnya dan menanyakan padaku itu dari siapa."

"Mm? Bukannya lebih baik kalau malam? Saat dia tidur?"

"Tapi Aku tidak tahu jam tidurnya kapan. Jadi daripada malam, pagi menjelang siang lebih aman karena dia punya jadwal mengajar setelah apel pagi. Ditambah, pendeta lain juga akan sibuk pada jam itu, jadi harusnya tidak ada yang berkeliaran di sekitar asrama." Tambahnya dan Gin pun akhirnya mengangguk-angguk.

"Kalau begitu sebaiknya Aku kembali sekarang sebelum--"

"Hei, tunggu." Tahan Gin sambil menahan tangannya. "Aku agak lelah. Boleh Aku meminumnya hari ini?"

Mengerutkan alisnya, Effi langsung memasang ekspresi tidak senang. "...Tapi kau sudah minum banyak minggu lalu."

"Ya karena melindungimu!" Balas Gin lagi. "Sedikiiit saja, ya? Kumohon." Rayunya lagi yang sekarang malah sudah menarik pinggangnya, sehingga pada akhirnya Effi hanya bisa memejamkan matanya sembari menahan rasa sakit saat Gin mulai menggigit lehernya.