webnovel

PROLOG

"Hh… Sungguh buang-buang waktu." Celetuk Arina akhirnya. "Kau harusnya lihat mereka. Mereka sungguh banyak bicara dan gila—Oh! Felix mungkin cocok di sana." Ocehnya panjang selagi wanita di depannya cuma bisa melipat bibirnya getir. Sebagai seorang pelayan, Sei cuma bisa diam sampai majikannya selesai meluapkan semua keluhannya.

Arina tadinya sedikit berharap bisa bertemu beberapa orang penting saat diundang ke pesta ulang tahun pedagang paling tersohor di kerajaan. Tapi ternyata yang kebanyakan datang cuma pria tua penggemar bir dengan humor menggelikan, yang bahkan lebih buruk dari ayahnya. Kalau sudah sampai rumah, Arina janji tidak akan bicara dengan ayahnya selama sebulan karena sudah minta untuk menggantikannya ke sana.

"Tapi anehnya tadi ada satu pedagang muda yang agak ganteng, kau tahu. Kelihatan sama kucelnya dengan pria tua yang lain, tapi gaya liarnya agak sesuai dengan tipeku." Lanjut Arina lagi. "Sayang Aku tidak sempat tanya namanya—"

GRATAK! GUBRAK! "BURGH!"

Tiba-tiba saja terdengar suara ribut dari luar yang disertai dengan guncangan tidak menyenangkan di keretanya. Padahal harusnya tidak ada jalan bebatuan di sepanjang jalan pulang. Tapi kalau didengar dari suara kuda yang memekik panik begitu, sepertinya mereka bukan cuma ketemu batu besar.

"Ada apa—"

"Sst." Arina menghentikan pelayannya yang akan membuka tirai di pintu. Soalnya dia sudah melihat sekilas bayangan yang ada di luar, dan sepertinya mereka diserang bandit. "Kalau kita beruntung, mungkin mereka akan pergi—"

BRAK! Seorang pria dengan pedang panjang pun sudah keburu membuka paksa pintu keretanya. "Cepat keluar dan serahkan semua uang yang kau punya!" Ancamnya.

Sei kelihatan sudah akan menggeser tubuhnya untuk melindungi Arina, tapi ternyata majikannya malah dengan tenang menurut dan melangkah ke luar kereta, sehingga para anak buah pria itu bisa mulai menggeledah isi kereta. Termasuk mereka dan si bos, kelihatannya jumlah bandit itu ada sekitar 8.

Tapi karena jadwalnya cuma pergi ke pesta, di kereta sebenarnya cuma ada beberapa kantong uang saja. Jadi daripada mengkhawatirkan hartanya yang sedikit, Arina pun melirik ke arah para pengawalnya yang lain. Meski sayangnya mereka semua ternyata sudah tergeletak mati di tanah.

'Yah, tapi setidaknya kudanya masih hidup.' Celetuk Arina dalam hati.

"Perhiasanmu…" Kata pria berpedang itu lagi. "Lepas semuanya."

"..." Arina bisa saja menyerahkan semua perhiasannya, tapi dia jelas tidak bisa melepas kalung dengan permata ungu di lehernya. Jadi sebelum diprotes, dia pun berkata duluan. "Saya mohon maaf, tapi tidak bisa. Percaya pada saya, anda juga tidak mau."

"Hah? Apa yang kau katakan?! Cepat lepas atau Aku terpaksa melepaskannya setelah memotong lehernya!" Katanya sambil mengarahkan pedangnya pada Sei, meski seketika itu Arina malah melebarkan senyumnya seakan tertawa dalam hati.

"Ha, tentu. Apa yang kuharapkan dari seorang bangsawan…" Kata pria itu yang akhirnya memutuskan untuk mengarahkan pedangnya ke leher Arina saja. "Jangan main-main denganku, nona muda. Aku benar-benar akan membunuhmu!"

"Yaa, saya bisa melihatnya. Kalau saya bisa menebak, anda mungkin sudah membunuh lebih dari 50 orang. Mata anda benar-benar menyeramkan." Balasnya ringan.

Pria itu sempat merasakan firasat aneh, tapi dia tetap saja mendekatkan pedangnya pada Arina. Sampai akhirnya perempuan dengan gaun merah darah itu kelihatan mengangkat tangannya, memberikan gestur kalau dia akan menurut kali ini.

Dan Arina pun melepaskan kalungnya.

Tapi tepat setelah pria tadi merampas kalung itu dari tangan Arina, dia malah mulai merasakan ada aura mengerikan yang merayapi kakinya. Jadi spontan, pria itu langsung buru-buru melompat lagi ke belakang. "Apa-apaan…!"

"Bos, kau kenapa?" Sahut salah satu anak buahnya. "Aku tahu! Sini, biar Aku saja yang ambil semua perhiasannya." Lanjutnya yang kemudian langsung mendekati Arina.

"Tunggu, jangan—"

ZRRT! Tapi entah dari mana, sesuatu menusuk jantungnya, lalu melemparnya jauh seperti onggokan daging mentah.

"Ewh." Arina kelihatan jijik dan mengalihkan pandangannya, tapi semua bandit itu justru langsung menghunuskan pedang mereka dengan waspada.

"A-Apa-apaan?!"

Tapi mau dilihat berapa kali pun, tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi, atau apa yang sebenarnya muncul. Bahkan seakan itu belum cukup, obor api yang dipasang di depan kereta juga tiba-tiba mati sehingga semua orang hanya bisa bergantung pada cahaya bulan yang temaram.

"Pe-Persetan!!" Teriak seseorang yang akhirnya memutuskan untuk menerjang ke arah Arina lagi. Tapi lagi-lagi, tidak sampai sedetik kemudian suaranya langsung berubah jadi memekik kesakitan, diikuti suara gedebug yang tidak berdaya. Lalu pria yang satu lagi, wanita yang satunya juga, sampai 3 pria sisanya.

"Ugh, suaranya mengerikan sekali." Gumam Arina yang masih enggan membuka matanya meski di sekeliling juga sudah cukup gelap. Tapi karena bos tadi sepertinya belum mati, dengan enggan Arina pun mendesah pelan dan membuat api ungu sendiri dari tangannya. Memperlihatkan jati dirinya, atau lebih tepatnya jati diri monster yang membantunya.

Mengalahkan pekatnya malam, ada banyak kepulan asap hitam padat yang meliuk-liuk di sekeliling Arina seperti akar liar.

Menyadari situasi yang mengerikan, pria itu langsung berlari sekuat tenaga. Tapi setelah membiarkannya lari beberapa detik, bayangan itu akhirnya menangkap dan menyeretnya kembali ke depan Arina.

"Makanya sudah kubilang tidak bisa." Celetuknya kemudian sambil mengambil kalungnya kembali. Lalu tidak pakai menunggu lagi, dia pun mulai menggerakkan bayangannya untuk meremas leher pria itu.

SYAT! Tapi sebelum dia mati, ternyata pria itu masih bisa mengerahkan seluruh tenaga terakhirnya untuk merogoh pisau kecilnya dan mengarahkannya ke wajah Arina.

Pipinya tentu saja mengeluarkan darah. Tapi setelah dielus oleh bayangannya sendiri, luka itu pun langsung menutup dengan sempurna. "Lain kali tuan harusnya pakai yang beracun."

"Da-Dasar iblis!" Umpat pria itu, yang spontan membuat Arina mengerucutkan bibirnya tidak senang.

"Anu, tuan bandit, sebutanku sebenarnya hanya 'penyihir hitam'. Jadi Aku akan berterima kasih kalau tuan tidak menyamakanku dengan makhluk yang giginya besar-besar itu."

"Penyihir hitam…?" Ulang pria itu dengan mata melebar. "Ta-Tapi itu hanya mitos!"

"Ya memang. Untuk orang yang tidak pernah bertemu denganku." Balas Arina yang akhirnya kembali memakai kalungnya. Bayangannya langsung mulai memudar, tapi untungnya dia masih sempat untuk mematahkan leher pria itu dulu.

"Fiuh. Betapa merepotkannya malam ini."

"...Hm?" Tapi begitu berbalik, matanya langsung menangkap sosok Sei yang ternyata masih terduduk di tanah dengan gemetar. "Ah, tidak ada yang membunuhmu ya…" Celetuk Arina sambil melihat sekitar.

Karena dia mengalihkan pandangannya saat bayangannya mengamuk, dia pikir seseorang sudah membunuh pelayannya. Tapi ternyata pelayan yang baru dia lihat beberapa minggu ini punya umur yang agak panjang.

Arina terdiam agak lama, tapi akhirnya dia berjalan dan berlutut di depan pelayannya. "Kalau kau janji tidak akan mengatakannya pada siapapun, kau bisa pulang denganku."

"Sa-Sa-Saya janji! Saya mohon ampuni nyawa saya!"

"Baiklah. Kalau begitu mulai sekarang kita berteman, Sei." Balasnya, yang kemudian berdiri dan mengulurkan tangannya. Seluruh tubuh Sei masih gemetar, tapi setelah terdiam beberapa lama, dia pun memberanikan dirinya untuk menerima uluran tangan majikannya. Bagaimanapun hanya itu yang bisa dia lakukan sekarang.

Arina tersenyum, tapi dia kembali mendesah begitu melihat sekitar. "Nah, sekarang bagaimana…"

Dia bisa saja meninggalkan semua kekacauan itu dan pulang ke rumahnya. Tapi kereta milik keluarganya—seperti kebanyakan milik bangsawan lain—punya logo khusus yang menandakan kalau itu adalah properti milik keluarganya, keluarga Almira. Dan kalau sampai ada yang melihatnya, gosip-gosip aneh tentangnya pasti akan menyebar.

Apalagi tidak seperti dia bisa menjelaskan juga bagaimana caranya dia bisa selamat dari serangan para bandit tadi.

"Sei, kau punya ide?" Tanyanya, tapi pelayannya cuma bisa diam. "Hm, andai saja Aku bisa mengubur mereka sekaligus…" Celetuknya.

'Kau bisa.'

"...Atau Aku bisa?" Gumam Arina agak tidak percaya.

Tapi karena selama ini suara hatinya tidak pernah salah, Arina pun kembali melepas kalungnya dan bayangan di kakinya pun kembali melebar lagi untuk menyelubungi seluruh kekacauan tadi. Baru setelah itu bayangannya mulai menggelembung ke atas untuk menelan semuanya sampai bersih bagaikan lintah darah. Kecuali satu kudanya.

"…Wah, Aku bahkan tidak perlu berkonsentrasi penuh saat melakukannya."

Dan seketika itu, tawanya pun mulai kembali terdengar. "Lihat Sei, sepertinya Aku memang penyihir hitam betulan!"