webnovel

Main Ke Istana Tuan Putri

Karena disuruh untuk membiarkan sang ratu kembali istirahat, tadinya tuan putri sudah akan terpaksa kembali ke istananya. Tapi selagi semua orang juga pergi, pandangan tajamnya tetap saja tidak bisa beralih dari sosok pahlawan hari ini, yaitu Effiria. Karena meski tidak sampai menyembuhkan penyakitnya dengan total, sihir penyembuhannya tetap saja berhasil membuat keadaan ratu lebih baik. Bahkan wajah sang ratu yang tadinya sudah sangat kurus dan pucat jadi mulai kembali merona dengan sehat.

"Tsk, walaupun demi ibu, apa harus banget dia?!" Gerutu tuan putri sendiri. Makanya saat melihat sosok Arina selesai melambai pergi dari Effi, Iris tidak bisa menahan cibirannya. "Sepertinya kalian dekat sekali. Bahkan kemarin kalian juga bersama."

Tidak langsung menjawabnya, Arina awalnya hanya melipat bibirnya karena masih ingin menilik ekspresi tuan putri. Tapi sejujurnya… Tidak ada yang bisa ditilik. Itu adalah ekspresi yang sangat tulus saat kau tidak menyukai seseorang. "Aku tahu kan, perempuan itu memang sangat merepotkan." Balas Arina akhirnya. "Padahal Aku hanya bicara padanya sesekali karena kasihan, tapi dia malah jadi menempel padaku terus. Hh, bikin kesal saja."

Meski masih mengerutkan alisnya, ekspresi kesal Iris mulai melembut. "Sepertinya kepribadianmu masih saja buruk." Katanya, meski Arina langsung saja menanggapinya dengan senyuman kecil.

"Tapi tuan putri juga tidak menyukainya? Meski dia sudah mengobati yang mulia?"

"Hmph! Cuma sementara kan? Yang tadi memang darurat, tapi Aku yakin kemampuan tidak jauh berbeda dengan pendeta yang lain."

"Benar, benar, Aku juga berpikir seperti itu." Balas Arina ikutan. "Bahkan kudengar dia tipe pendeta yang suka menggunakan obat, jadi pasti sihirnya termasuk lemah!" Tambahnya agak berbisik.

"Sudah kuduga. Pendeta bermuka dua itu memang tidak dapat dipercaya."

"...Itu apa maksud--"

"Rina." Panggil nyonya Anastasia kemudian. "Semua orang sudah kembali. Yang mulia harus istirahat, dan kepala pendeta juga berencana mendiskusikan langkah selanjutnya dengan pendeta yang lain. Jadi mungkin sebaiknya kita juga pulang saja." Katanya.

"Hm, ah, tapi tuan putri baru saja mengundangku untuk berkunjung ke istananya. Jadi ibu pulang saja duluan." Balas Arina tanpa pikir dua kali. "Ya kan, tuan putri?"

"Eh…? Ah, yah…" Dan tentu saja Iris tidak yakin bagaimana menyanggahnya, jadi dia cuma bisa berkata iya.

"Begitu…?" Celetuk Anastasia heran. Melihat Arina dengan senang hati bersosialisasi dengan orang lain saja sudah aneh, apalagi dengan tuan putri yang jauh lebih penyendiri daripadanya. "Yaa, tapi pastikan kau bersikap baik pada tuan putri ya." Kata Anastasia akhirnya. Dan sebelum dia pergi, dia juga menyempatkan dirinya untuk menghampiri Iris dan menggenggam tangannya dengan serius. "Yang mulia pasti baik-baik saja. Jadi anda tidak perlu terlalu khawatir ya." Katanya.

Nyonya Anastasia akhirnya pergi, tapi kedua perempuan itu tetap berdiam di koridor untuk memperhatikan punggungnya sampai benar-benar menghilang. "Ibumu… Benar-benar baik ya. Kenapa kau tidak mirip sepertinya?"

"...Kalau Aku tanya kenapa tuan putri tidak mirip dengan para pangeran, memangnya tuan putri bisa menjawabnya?"

"Tsk. Tapi kenapa juga kau mau berkunjung ke istanaku? Semua orang tahu Aku tidak suka tamu."

"Habisnya, Aku tidak bisa menggosipi pendeta itu pada orang lain karena semua orang terlihat menyukainya. Jadi mumpung Aku bertemu dengan orang yang sepemikiran…" Katanya merayu. Dan meski Iris tidak kelihatan yakin pada awalnya, pada akhirnya dia pun mengalah dan membiarkan Arina untuk ikut ke istananya.

Semua tuan putri dan pangeran punya pekarangan istananya masing-masing. Tapi tidak seperti kedua saudaranya, suasana di pekarangan tuan putri Iris memang terlihat lebih nyentrik. Baru mulai menyusuri taman dan jalan setapaknya saja sudah kelihatan beragam tanaman langka seperti bunga hitam yang pernah dia bawa-bawa.

Belum lagi halaman dan suasana mansion yang entah bagaimana langsung terlihat muram… Daripada dirinya, semua orang mungkin akan lebih percaya kalau Arina bilang tuan putri Iris yang sebenarnya penyihir hitam. Kalau sudah terdesak banget, Arina rasanya benar-benar bisa mengatakan itu untuk setidaknya mengulur waktu.

Sebutan resminya memang belum ada, tapi kalau mau dijelaskan, hobi Iris sebenarnya merupakan kebalikan dari pekerjaan nyonya Anastasia itu sendiri.

Sama seperti nyonya Anastasia, tuan putri juga punya hobi untuk memelihara tanaman. Hanya saja bukannya tanaman obat, anehnya tuan putri lebih suka menyimpan tanaman yang lebih eksotis dan langka saja. Bukan cuma memiliki bentuk, aroma, dan warna daun yang tidak biasa, tuan putri juga suka menyimpan tanaman karnivora dan tanaman beracun. Kalaupun ada tanaman yang tidak dia simpan, itu jelas adalah tanaman obat.

"Ibuku mungkin tidak akan senang mendengarnya, tapi… Kebun tuan putri lebih menakjubkan dari kebun yang ada di rumahku." Kata Arina dengan kekehan pelannya.

"Benarkah?" Sahut tuan putri yang masih setengah ragu. "Padahal semua orang selalu menyebut mereka aneh."

"Yah, selera mereka saja yang buruk." Balas Arina sambil duduk. "Apa menyenangkannya memiliki tanaman biasa yang mudah ditemukan dipasar. Kalau itu salah satu koleksiku, Aku pasti sudah langsung membuangnya."

"...Memang."

Arina masih menerka-nerka kesempatannya untuk bertanya tentang masalah Effi. Tapi setelah diperhatikan, Iris sepertinya memang masih terlihat waspada. Jadi Arina pun menundanya lagi sejenak. "Tapi tuan putri sepertinya punya teman lain ya? Sepertinya Aku bukan orang pertama yang menyukai tanaman tuan putri." Guraunya.

Arina sejujurnya berpikir kalau orang yang pernah memujinya palingan hanya para pelayannya. Tapi kalau dilihat dari reaksinya yang setengah kikuk setengah bangga, kelihatannya dia benar-benar punya teman! Malah, dilihat dari pipinya yang memerah…

Uwah, laki-laki mana yang sejahat itu untuk menggodanya… Pikir Arina tidak percaya. Soalnya meski punya hobi yang aneh, tuan putri rumahan yang hampir tidak pernah bersosialisasi dengan siapapun itu--untuk beberapa kasus, bisa saja memiliki sifat yang jauh lebih kikuk dan naif daripada Effi sekalipun.

Memikirkan itu Arina jadi sempat khawatir kalau tuan putri di depannya malah akan dimanfaatkan orang lain atau bahkan kerajaan lain. Tapi sekarang dia hanya penasaran tentang rasa bencinya pada Effi, jadi dia pun kembali mencari kesempatan untuk menanyakannya. "Yah, tapi kalau hobi kita dipuji rasanya memang menyenangkan. Gara-gara itu ibuku juga jadi lumayan menyukai perempuan itu. Dia bahkan sampai memaksaku datang hari ini supaya Aku bisa lebih dekat dengannya. Hh, kalau begini lebih baik Aku kembali berteman dengan Olivia saja."

"Hmph, Aku sudah menduganya. Perempuan itu pasti pintar menjilat orang."

"Kenapa? Memangnya tuan putri juga pernah mendengar gosip tentangnya?"

"..." Iris lagi-lagi terlihat ragu dan waspada. Tapi bahkan untuk tuan putri rumahan sepertinya, menahan keinginan bergosip pasti tetap menyulitkan. Jadi pada akhirnya dia pun mendekatkan kepalanya pada Arina. "Ini rahasia, tapi… Aku dengar sebelum datang ke istana, katanya dia tipe orang yang suka memanfaatkan orang lain untuk kepentingannya sendiri! Bahkan tidak jarang dia menggoda laki-laki juga untuk melakukannya."

"...Wah, jadi selama ini dia pura-pura polos ya?" Balas Arina, yang dalam hati sebenarnya merasa heran setengah mati dengan gosip jauh dari perkiraannya itu. "Memang sih, dengan tampang imutnya, dia pasti dengan mudah bisa menggoda siapapun. Ibuku saja kena rayuannya."

"Aku tahu kan!" Balas Iris semangat. "Pokoknya pendeta itu sangat berbahaya. Kalau kau punya kesempatan, sebaiknya kau juga melakukan sesuatu padanya. Bagaimanapun kerajaan kita kan tidak boleh punya pendeta sepertinya."

"Perempuan imut memang menyeramkan… Tapi memangnya tuan putri dengar dari mana gosip seperti itu? Kalau bisa Aku ingin dengar lebih banyak."

"Ha-Hah? Ma-Mana Aku tahu. Aku cuma mendengarnya di sana-sini." Balasnya buru-buru.

"Begitu ya. Kalau begitu, kalau nanti tuan putri punya cerita seru lain tolong jangan sungkan untuk datang ke rumahku. Tidak pakai pemberitahuan juga tidak apa-apa!"