webnovel

Badai Lewat

"Kau baik-baik saja?" Tanya Dania yang akhirnya tidak tahan melihat Effi terus-terusan melamun sepanjang pelajaran mereka--yang jelas sangat mengkhawatirkan karena Effi biasanya sangat serius saat belajar. "Pangeran itu mengatakan sesuatu padamu tadi ya?"

Sembari merapikan detak jantungnya, Effi pun berusaha mengulum senyum kecilnya. "Ti-Tidak apa. Dia hanya mengejekku karena Aku pakai obat."

"Ah, itu?" Celetuk Dania spontan.

Soalnya dia dan banyak pendeta lain juga sebenarnya sempat berpikir itu agak aneh. Tapi karena Effi memang masih muda, semua orang pun mulai membiarkannya. Tidak seperti tanda yang ada di lehernya bisa luntur juga kalau disiram air, yang artinya dia bukan pendeta agung palsu.

Ya, pendeta lain sudah mencurigai itu pada hari pertamanya.

"Kalau tidak apa yasudah. Aku mau kembali ke asrama. Kau mau ikut?"

"Mm, Aku akan di sini sebentar lagi." Balasnya. Meski begitu Dania menghilang, Effi langsung pergi ke kastel utama untuk mencari tuan Heka.

Setelah susah-payah mencari alasan, tuan Heka akhirnya mengizinkan Effi untuk pergi keluar istana setelah dia bilang kalau dia butuh pasokan obat baru.

Hanya saja karena dia juga tahu mengenai usaha penyerangan Effi saat ada di kota sebelah, tuan Heka pun menyuruh pendeta senior, Kilo, untuk menemaninya ke kota. Orangnya bahkan sudah disuruh untuk menunggu di gerbang, jadi Effi pun langsung kehilangan kesempatannya untuk menyelinap sendiri.

"Hh, bagaimana ini…" Gumamnya untuk kesekian kalinya.

Tapi saat sedang melamun seperti itu, tiba-tiba saja ada seseorang yang menepuk pundaknya. "--Hei, Effiria."

Bergidik sejenak, Effi pun buru-buru berbalik dan mendapati sosok perempuan dengan rambut yang bergelombang dan berkilau sempurna itu. "No-Nona Arina!"

"Kau melamun atau apa? Aku sudah memanggilmu daritadi, tapi kau tidak menoleh juga." Balas Arina dengan tawa kecil.

Walaupun lebih tepatnya, dia mengekorinya diam-diam tadi. Tapi karena orangnya tidak juga melakukan apa-apa, apalagi menemui siapa-siapa, akhirnya dia pun memutuskan untuk menyapanya sekalian.

"Ma-Maafkan saya. Saya cuma, itu, mm…"

"...Haha. Tapi kebetulan sekali kita bertemu di sini. Padahal Aku selalu penasaran kapan kita bisa bertemu lagi." Godanya kemudian, lagi. "Memangnya kau sedang apa di sini? Bukannya di kastel? Atau, jangan-jangan kau mau keluar istana?"

"Ah, iya, itu, persediaan obat saya habis karena kastel agak sibuk hari ini. Jadi saya berencana membeli tambahannya di kota."

"..."

'Wah, Aku benar-benar beruntung rupanya.' Celetuk Arina dalam hati, yang sudah bisa menduga kalau Effi pasti berencana menemui Gin di luar.

'Boleh Aku ikut?', Arina hampir saja langsung mencelos begitu. Tapi karena segera sadar kalau akan lebih mudah mengikutinya diam-diam, dia pun langsung menelannya lagi. "Begitu ya. Sendiri saja?"

"Tidak. Senior saya, pendeta Kilo sudah menunggu saya di gerbang." Jawabnya. Tapi karena Arina malah kelihatan diam--karena dia sibuk berpikir--Effi pun memutuskan untuk bertanya balik. "Nona Arina sendiri memangnya ada keperluan apa di istana?"

"Mm, bukan apa-apa. Aku hanya sedang ingin bertemu dengan pangeran tadi." Jawabnya jujur. "Tapi Effiria, kalau kau mau ke kota, bagaimana kalau kuantar dengan keretaku? Rumahku kan juga lewat kota, jadi nanti kalian bisa turun saat di alun-alun."

"Eh?? Ti-Tidak usah! Saya tidak mau merepotkan anda. Lagipula ke kota juga tidak jauh, jadi kami tidak perlu naik kereta segala." Balasnya panik. Soalnya selain karena tidak enak, tambahan orang lain begitu juga malah semakin menyulitkan rencana menyelinap Effi.

'Tsk, merepotkan.'

"Kenapa tidak mau? Rumahku juga searah, jadi sama sekali tidak merepotkan kok." Balas Arina lagi yang semakin menghaluskan suaranya.

Bahkan setelah itu dia mulai meraih tangan Effi lagi. "Mau ya? Lagipula Aku juga mau ngobrol denganmu lebih banyak." Rayunya lagi. "Ya, mau ya?"

"Mmmhh…" Ditatapi dan dimintai seperti itu oleh seorang bangsawan yang ramah, tentu saja Effi tidak bisa menolaknya lagi. "Ka-Kalau nona Arina memang memaksa, yaa…"

"Yey! Kalau begitu ayo kita pergi--"

BRUKK! Tapi dari belokan koridor, tiba-tiba saja ada orang yang berlari dan menabrak punggung Effi.

Arina hampir saja menghindar saat Effi terlihat akan jatuh ke depannya. Tapi karena teringat sedang memainkan sifat bangsawan yang baik hati, Arina pun akhirnya membiarkan Effi jatuh ke pelukannya. Dan sebelum dia bisa meladeni rasa tidak nyamannya, pandangan Arina sudah langsung terpaku pada orang yang menabrak tadi.

'Iris??' Pikirnya agak terkejut.

Arina sudah tidak pernah melihatnya selama hampir setahun karena perempuan itu memang terkenal suka mengurung diri di istananya. Tapi perempuan dengan rambut hitam dan mata gelap itu sudah pasti Iris, tuan putri kedua kerajaan.

"Aww--Ah! Bungaku!" Teriak tuan putri yang langsung duluan panik karena pot bunga yang tadi dia bawa malah pecah di lantai. Bukan hanya pecah, seluruh tanah dan bunganya juga jadi tercecer berantakan. "Ah, bungaku!" Ratapnya lagi sambil mulai meraup-raup tanamannya.

"Ma-Maafkan saya! Saya benar-benar menyesal!" Teriak Effi juga.

Tapi karena perempuan itu masih tidak mengalihkan pandangannya, Effi pun langsung ikutan jongkok di lantai. "Tangan anda bisa terluka kalau anda melakukannya seperti itu. Biar saya saja yang melakukannya."

"Agh! Cepat masukkan ke pot lagi sebelum dia malah mati!" Gerutunya balik. Tapi setelah menyadari pakaian Effi, mungkin juga wajahnya, ekspresinya yang marah pun mulai berubah jadi bingung. "Kau… Yang pendeta…"

"Tuan putri mengenalinya?" Sela Arina kemudian. "Dia memang pendeta agung yang datang minggu lalu--"

"Kau! Jangan sentuh bungaku!" Teriak Iris tiba-tiba yang malah buru-buru mendorong Effi menjauh dari bunganya. "Dasar perempuan tidak tahu diri! Berani-beraninya kau menyentuh barang milikku!" Tambahnya semakin marah.

"..." Bukan cuma Effi, bahkan Arina juga kebingungan melihat itu. "Mm, tuan putri, tadi Effiria sedang bicara denganku. Jadi tolong jangan terlalu--"

"Siapa peduli! Pokoknya menjauh dari bungaku!" Selanya lagi yang kali ini benar-benar mendorong Effi sampai dia jatuh terduduk.

Lalu dengan kalap, dia pun langsung meraup semua pecahan pot termasuk tanah dan bunganya ke pelukannya. Dan setelah berdiri, dia juga masih menyempatkan dirinya untuk melotot tajam ke arah Effi lagi. "Awas saja kau! Pokoknya Aku tidak akan memaafkanmu!"

Seperti badai lewat, tuan putri Iris pun akhirnya pergi.

Tapi baik Effi dan Arina, mereka berdua tetap saja diam memandangi punggungnya dengan heran sampai kemudian dia benar-benar hilang. "...Tadi itu apa?" Celetuk Arina tanpa sadar.

Dia sudah tahu kalau Iris punya temperamen yang lebih aneh dari dirinya. Tapi yang tadi tetap terlalu aneh dan terlalu tiba-tiba, juga terlalu tidak jelas. Kalaupun ada satu hal yang bisa disimpulkan…

Arina melirik Effi dengan curiga.

"...Jangan-jangan kau sudah pernah bertemu dengan tuan putri?" Tanyanya langsung. Soalnya kalau dilihat dari caranya marah, Iris kelihatan seperti punya kebencian pribadi terhadap Effi.

Tapi anehnya orang yang ditanya juga langsung menggelengkan kepalanya keras. "Saya bahkan tidak tahu itu adalah tuan putri!" Balasnya pucat. "Ba-Ba-Bagaimana ini? Kalau tuan putri sampai membenci saya…"

Arina sempat terdiam membiarkan Effi menggigiti jarinya sendiri, tapi kemudian dia pun kembali ke mode bangsawan baik hatinya. "Yah, tidak perlu khawatir. Tuan putri memang kadang suka seperti itu." Katanya kemudian. "Bisa jadi dia hanya begitu karena makan siangnya tidak enak."

"Tapi…"

"Jangan dipikirkan." Ulang Arina. "Daripada itu bukankah sebaiknya kita pergi sekarang? Sebelum hari semakin sore."

"Ah, benar juga!" Dan untungnya Effi juga langsung setuju dengan itu.