1 01. Mati atau Bahagia?

"Nona, kemari." Nino menarik tangan gadis yang berdiri di depannya sampai gadis itu terjengkang ke belakang dan jatuh ke pelukannya. Sigap dan dipenuhi kehati-hatian, Nino menegakkan tubuh gadis itu lantas melingkarkan tangannya di pinggang gadis mungil itu sedangkan kepalanya bersandar pada pundak gadis itu. "Kamu benar-benar ingin mati, ya?"

Gadis itu menelan ludahnya sendiri dengan sedikit kesusahan. Jantungnya berdegup kencang, sementara Nino dengan sengaja mengembuskan napas tepat di ceruk lehernya.

"Kenapa tidak menjawab, hm?" tanya Nino. Suaranya terdengar seksi tanpa dibuat-buat dan itu mampu membuat si gadis di pelukannya bergidik geli dengan sensasi aneh yang baru dirasakannya. "Kamu baik-baik saja? Mendadak bisu? Katakan. Apa kamu ingin mati?"

"Tentu. Iya." Si gadis menjawab seusai diam cukup lama. "Kalau kau menghalangiku, aku bisa bunuh diri besoknya. Bukan hal sulit."

"Baiklah, kalau begitu." Nino merogoh sakunya dengan tangan kirinya sedang tangan kanan tetap melingkari pinggang si gadis. Setelahnya, Nino mendekatkan pisau kecil dari sakunya ke leher gadis itu. "Aku akan membunuhmu. Tidak. Memberikan dua pilihan. Mati dibunuh olehku atau mencoba sedikit saja hidup denganku lantas mendapatkan kebahagiaan?"

"A-apa?" Gadis tersebut merasakan tenggorokannya tercekat. Bulu kuduknya meremang.

"Kamu tampaknya gak paham, ya. Biar kuberi tahu sekali lagi. Mati di tanganku atau mencoba hidup? Kutawarkan kebahagiaan jika kamu memilih yang kedua. Coba saja. Jika tidak nyaman, kamu bisa mencoba ini lagi," kata Nino dengan pelan, namun tidak meninggalkan kesan seksi dan meyakinkan dari nada bicaranya. Ia jelas lelaki yang menarik, apalagi ketika pisau di tangannya sedikit menjauh, memberi ruang untuk gadis itu berpikir. "Bagaimana, Nona?"

Gadis itu bungkam. Rasa ingin mati sedikit memudar. Jauh di dalam dirinya, ia menginginkan hidup tanpa beban dan menjalani berbagai momen yang membahagiakan. Sekali lagi, dia menenggak ludah. Lelaki itu baru ditemuinya sekali, tetapi sukses membuatnya dilema.

"Bagaimana kalau aku memilih pilihan kedua? Apa yang akan kau lakukan?" Gadis itu bertanya, hatinya masih meragu. "Kau tidak sedang bercanda, bukan?"

"Tentunya membahagiakanmu, Nona," kata Nino.

"Kalau begitu, aku pilih tawaran hidup. Beri aku kebahagiaan. Apa aku harus menggantinya dengan sesuatu nanti?" kata gadis itu, tanpa ragu lagi.

Seulas senyuman terbit di wajah Nino. Ia mulai menaruh kembali pisau di sakunya lantas berbisik pelan tepat di telinga sang gadis incaran. "Kamu hanya perlu tinggal di sisiku. Selamanya. Mudah, kan?"

"Baiklah--kalau begitu."

"Pilihan bagus," puji Nino, lelaki itu kembali menyandarkan kepalanya di pundak sang gadis. Ia dapat mencium bau keringat gadis itu walaupun angin yang berembus malam ini cukup kencang. "Ini pertama kalinya aku merasa nyaman begini."

"Oh."

Nino melepaskan pelukannya dan membalikkan badan gadis itu perlahan. Pelan sekali, seolah-olah takut gadis itu terluka apabila ia terburu-buru. Tatapannya meneduhkan dan cukup mampu membuat sang gadis tertegun menatap kedua iris meneduhkan tersebut.

"Siapa namamu?" tanya Nino.

"Vanila." Gadis bernama Vanila tersebut mengulas sebuah senyum tulus. Dahinya masih sedikit berkeringat, menyadari ketakutan absolut kala ingin bunuh diri tadi dengan loncat dari rooftop tinggi di sini. "Kalau kau?"

"Elnino." Mino turut tersenyum lantas berdeham seolah ia malu. "Pertama, mari urus tempat tinggalmu. Kamu inginkan kebahagiaan, bukan?"

Vanila mengangguk dengan degupan jantung yang tidak terkendali. Ia bukannya jatuh hati secepat itu pada lelaki tampan di hadapannya, melainkan merasa penasaran dengan penawaran aneh dan tiba-tiba begini. Ini mungkin momen paling gila yang belum pernah terbayangkan sebelumnya.

Nino menyadari kegugupan dari wajah gadis itu. Ia mengamit tangan Vanila kemudian berjalan membawanya menuruni tangga. Setidaknya, harus pergi dari sana terlebih dulu sebelum Vanila berniat mati lagi. Nino tidak akan mau membiarkan gadis itu pergi.

***

Vanila terbangun di tempat paling nyaman dalam hidupnya. Berada dalam pelukan Nino jelas sesuatu yang baru dan sangat asing, tetapi Vanila nyaman dan menyukainya. Begitu mengubah posisinya menjadi duduk, Vanila kembali teringat sekelebat bayangan saat Mino menunjukkan kamar itu dan menyuruhnya tidur dengan ramah. Tidak hanya itu, Nino meletakkan segelas air di meja nakas sebagai bentuk perhatian agar Vanila bisa meminumnya kala merasa buruk. Nino memutuskan menemani gadis itu karena memang Vanila sendiri yang meminta.

"Selamat pagi." Nino lebih dulu terbangun, itu sebabnya ia telah siap dengan pakaian kasual yang tak mengurangi kadar ketampanannya. Ia berdiri di sisi ranjang, terdapat sebuah nampan berisi makanan di tangannya. "Tidurmu nyenyak, hm?"

"Nyenyak, kok," kata Vanila memandangi Nino dari atas sampai bawah. Nino memakai kaos dengan tulisan trendi serta celana denim yang juga menambah kesan kerennya. "Oh, kamu tampan. Masih pagi, lho."

"Kamu baru sadar, ya." Nino tersenyum geli seraya meletakkan nampan yang dipegangnya di meja. Ia lantas berjalan mendekati jendela besar yang tidak jauh dari kasur lalu membukanya lebar-lebar. Bias matahari yang terik menandakan bahwa hari sudah siang. "Ini sudah siang, Nona. Sadarlah."

"A-ah." Vanila mengusap tengkuknya. "Iya, ya. Nyenyak sekali, sih, semalam. Terima kasih banyak, ya, Elnino. Mungkin aku sudah berada di neraka kalau tidak ada kamu."

"Sama-sama." Nino mengulas senyum seperti biasa. Ia mendekat kembali hingga duduk di pinggir kasur. Senyumannya seolah enggan pudar kala menelusuri wajah manis Vanila dengan matanya. Gadis itu cantik sehingga tidak bosan dipandangnya. "Aku ingin tahu, meski mungkin bakal mengorek lukamu. Apa yang terjadi, sampai kau memutuskan mau mati? Berat sekali, ya?"

Vanila menarik napas panjang, namun kegiatan itu nyatanya tidak serta-merta membuat dadanya lega dari perasaan sesak. Matanya mulai berkaca-kaca sedang tangannya bergerak gelisah.

"Hei." Nino mengatakannya dengan lembut sekali, tidak tega memandang sorot penuh luka di kedua iris cokelat Vanila. "Gak usah dipaksakan. Simpan saja kalau kamu merasa terlalu sulit. Aku hanya ingin kamu tahu, aku selalu siap mendengarmu. Namun bukan berarti mau memaksamu. Mari buat memori indah saja, ya."

"Tidak, tidak." Vanila menghela napas sekali lagi. Memang sulit, tetapi rasanya akan tidak enak apabila ia tidak bercerita. Nino banyak membantunya. "Aku harus cerita. Itu hanya... kamu tahu. Ayahku pemabuk dan merepotkan. Ia selalu merasa dirinya paling benar. Aku tidak pernah memintanya peduli, bahkan rasanya dia jarang memberiku makan. Dia hanya memikirkan adikku. Hanya karena aku perempuan, dia enggan membiayai pendidikanku. Kala ia sesekali membeli makanan, aku muak dan menolak makan. Ia malah marah, membanting semua botol alkohol miliknya hingga serpihannya mengenai kakiku. Ia mengatakan aku merepotkan dan... ergh, lebih dari itu, mengataiku binatang tak tahu diuntung. Sedang ibuku... dia cukup baik. Tapi dia terlalu penurut pada ayahku. Berada di keluarga itu hanya bisa membuatku sakit hati. Aku disuruh banyak, tetapi tidak diberikan apa yang kumau. Malah dibentak dan kena makian."

Vanila boleh saja menceritakannya dengan lancar, akan tetapi tangannya jadi berkeringat saking kesalnya mengingat memori itu. Nino cukup peka dan mengerti, dia bahkan tidak melewatkan satu kalimat pun dari Vanila. Mendengarnya dengan saksama merupakan pilihan terbaik. Nino tidak memandang Vanila dengan tatapan kasihan, namun hangat dan penuh kepedulian.

"Nggak apa-apa. Sekarang, mereka akan menyesal memperlakukanmu begitu." Nino meraih tangan Fina yang penuh keringat lantas menggenggamnya dengan tujuan menguatkan. "Mau kubawa ke negara yang jauh sekalian, gak? Kamu pasti muak sekali kalau ketemu mereka lagi."

"Itu berlebihan, sih." Vanila terkekeh canggung. Ia tidak tahu seberapa kaya Nino. Kamar yang disediakan untuknya saja terasa sangat besar, Vanila merasa diperlakukan seperti ratu. "Aku akan mengabaikan, itu mudah buatku. Ego Bapak sering terluka kalau aku mengabaikan dan aku suka itu walau pada akhirnya dia mengataiku. Seandainya aku bisa menahan rasa muak, mungkin aku akan terkurung dan menurut saja pada mereka... selamanya."

"Tapi kamu sudah datang ke tempat yang tepat. Iya, kan?" kata Nino sembari menaik turunkan alisnya. Vanila mengangguk mantap sambil tersenyum lebar. Nino kemudian mengambilkan makanan yang tadinya berada di nampan. "Hei, buka mulutmu."

Vanila menurut, sesegera mungkin membuka mulutnya dan membiarkan Nino menyuapkan nasi goreng buatan pelayan di rumah tersebut. Vanila mengunyah, menikmati rasa yang pas pada nasi goreng itu. Nino sepertinya menyewa pelayan berbakat untuk rumahnya.

"Ini enak," kata Vanila.

"Ah, syukurlah. Pelayanku kompeten semua, makanya, kalau butuh sesuatu langsung panggil saja," jelas Nino.

"Apa tidak apa-apa aku terus menerima begini?" tanya Vanila.

"Hm, iya. Aku juga, ya...." Nino menggaruk tengkuknya, bibirnya sedikit manyun. "Bingung mau menghabiskan uang bagaimana. Too much money."

Vanila mengangguk mengerti. Kemarin Nino menunjukkan berbagai kemewahan dalam rumah ini agar Vanila tidak bingung, namun Vanila malah terus memikirkannya dan bertanya-tanya seberapa kaya lelaki tersebut.

"Bagaimana kalau, disumbangkan sebagian?" Vanila menyebutkan sebuah ide yang baru terlintas di otaknya. "Oh, maaf. Aku seharusnya tidak asal kasih ide begini, ya? Maaf."

"Ah, tidak mungkin." Nino tiba-tiba memasang senyum miris. "Uang yang kudapatkan bukan dengan cara yang baik, itu bukan hal bagus jika aku menyumbang. Iya, kan? Aku cukup paham aturan agama, kok."

"Kalau begitu, ya... sudah."

"Hm." Nino menyerahkan sepiring nasi goreng itu. Meletakkannya di pangkuan Vanila. "Makanlah, ya. Aku harus mengurus sesuatu. Gak apa-apa kalau aku tinggal sebentar, kan?"

"Hm, ya, gak masalah."

"Kalau begitu, sampai jumpa." Nino mulai mengusap lembut pipi Vanila lantas memberi kecupan singkat di sana sebelum memutuskan beranjak pergi. Sebelum menutup pintu, Nino lebih dulu melambaikan tangan dengan sebuah senyum manis yang merekah lebar sampai giginya kelihatan.

Satu hal yang Vanila pikirkan kala melihat tingkah Nino yang terkesan menggemaskan; aku beruntung.

avataravatar
Next chapter