1 Chapter 1 - Awal Sebuah Bencana

Pagi cerah yang tak pernah datang, kini benar-benar hanya harapan kosong milik seorang Anindya Athaya Zahran, yang tidak lain adalah diriku sendiri. Namaku begitu islami namun pada kenyataanya bertolak belakang dengan kelakuanku. Aku sadar semua yang aku lakukan hanya untuk mencari perhatian kedua orangtuaku yang terus membangga-banggakan kakakku, Mawaddatul Ulfa.

Aku hanya bisa memandang dari jendela kamar baruku. Sebuah kamar yang berpenghuni 28 orang yang sangat asing dimataku. Kini mataku terus tertuju pada Alpard milik papa yang terus melaju tanpa berhenti atau menoleh kearahku. Air matakupun menetes.

Kalian tega! Kenapa harus dibuang ke pesantren kalo udah capek ngurusin Nindy? Kenapa enggak dibunuh sekalian aja?! Biar kalian lebih puas nikmatin hidup tanpa perusuh kayak Nindy! -Bathinku terus berteriak.

Aku merasakan air mataku kembali menetes. Namun, aku buru-buru mengusapnya. Tak ada yang boleh melihat air mataku. Karena aku bukanlah gadis cengeng yang suka memamerkan air mata di hadapan orang-orang. Aku muak.

Tiba-tiba ada yang menepuk bahuku, akupun menoleh. Ternyata ia seorang gadis cantik seumuranku. Kini pakaian kami begitu kontras, aku yang memakai baju serba ketat tanpa kerudung dan dia sebaliknya. Aku menatapnya, bertanya ada apa lewat mataku yang angkuh ini. Dia tersenyum.

"Mbak, e-e anu, apa ya? itu kenalin toh, iku apa yah? Nama aku Siti Farhana, panggilnya Farha saja," ucapnya begitu sopan dan ramah. Suaranya begitu medok, terlihat kesulitan berbahasa Indonesia.

Dia mengulurkan tangan. Aku menyilangkan tangan di dada, menilainya dari atas sampai bawah lewat mataku. Lalu memutuskan pergi, tanpa balas menjabat tangannya.

"Nindy." kataku langsung keluar kamar. Penghuni kamar lain terlihat terkejut melihat aksiku yang memang tidak sopan, tapi aku tidak peduli. Aku ingin pergi!

***

Flashback

"Ya Allah, Nindy, kamu buat onar apa lagi sih, sampai-sampai kamu hampir dikeluarkan seperti ini? Kamu itu harusnya bisa contoh kakak kamu, dia nggak pernah bikin kepala Mama pusing!" kata Mama, yang selalu membandingkan aku dengan Kak Ulfa.

"Aku bukan Kak Ulfa, Mah." kataku malas. Aku tau semua ucapanku tak akan menang melawan Mama. Sebab, tiap kali aku membantah Mama justru akan menjadi-jadi.

"Kali ini kamu sudah keterlaluan! Kelakuan kamu seperti preman. Dimana fikiran kamu sampai berkelahi sama anak laki-laki? Yang benar saja kamu! Pokoknya besok ikut mama ke pesantren!" teriak Mama. Bahunya naik turun. Aku tahu beliau marah.

"Kenapa harus masuk pesantren, Mah?" cicitku. Pesantren. Membayangkannya saja sudah membuatku ingin terjun bebas.

"Mama sudah nggak sanggup mengurus kamu, Mama nggak kuat!" teriak Mama.

Rasanya begitu menyakitkan mendengar kalimat terakhir Mama, bahkan lebih sakit dari saat beliau membandingkan aku dengan Kak Ulfa. Baiklah, aku memang susah diatur dan terus membuat masalah, namun aku memiliki alasan. Bila saja mama mau mendengarkan, rasanya ingin kukatakan kalau aku lelah hidup dalam bayang-bayang Kak Ulfa.

Dulu aku sempat berubah. Nilaiku begitu baik, bahkan aku mendapatkan juara 1 di kelas. Namun, semuanya tak berarti apa-apa. Di hari aku mendapatkannya tak kudapatkan kedua orang tuaku memuji. Bahkan, yang membuatku sakit adalah beliau justru menyanjung kakakku, dengan dalih semua pencapaianku merupakan buah hasil dari kerja keras kakakku. Padahal, dalam kenyataannya, tak pernah seharipun aku diajari oleh Kak Ulfa. Saat itu, dengan perasaan marah, aku menjelaskan hal tersebut kepada orangtuaku, hanya saja suaraku dianggap angin lalu. Papa hanya mengibaskan tangan, sedangkan Mama dan Kak Ulfa pura-pura tak mendengar dengan menyibukkan diri dengan hal-hal yang tak penting.

"Kalo Mama gak kuat, kenapa gak bunuh Nindy aja sekalian, Mah?" kataku, kesal.

PLAKKKK! Satu tamparan mendarat di pipiku.

Satu butir air mata turun dari mataku. Ini kali pertama aku merasakan tamparan, terlebih tamparan mama yang tak pernah main tangan kepada siapapun. Kini aku sadar, tamparan itu merupakan bukti pelepasan, untuk melepaskan sesuatu yang tak pernah dianggap berguna, juga untuk menujukkan bahwa tak ada yang mengharapkan keberadaanku sejak aku lahir.

"Maafkan Mama sayang, Mama.." kata Mama. Aku tidak mau mendengar suara Mama lagi. Aku pun berlari ke kamar. Lalu mengunci pintu.

Keesokkan harinya aku bangun pagi, mandi pagi, dan bertekad untuk pergi dari rumah. Aku sudah berfikir semalaman, tamparan itu begitu menyakiti ulu hatiku, hingga aku sadar hanya Kak Ulfa anak Mama dan Papa, bukan aku. Tadinya aku ingin mencoba bunuh diri di kamar ini namun rasanya aku tidak sudi meninggal di rumah ini. Hatiku begitu sakit, dan aku hanya butuh pergi saat aku pergi nanti, aku akan bebas melakukan hal apapun, termasuk mengakhiri hidupku dengan tenang.

Aku mengangkat tangan kananku, lalu ku amati gelang perak pemberian sahabatku dulu, aku menciumnya dalam. Dalam hidup, aku hanya memiliki satu orang yang benar-benar tulus menyayangiku dan mau mendengarkan keluh kesahku, dia adalah sahabatku, pemberi gelang perak itu.

Aku menggunakan celana jeans, dengan kaos panjang yang juga hitam. Tema bajuku kali ini hitam-hitam, aku tidak peduli. Karena hidupku juga sudah ditakdirkan kelam sejak aku dilahirkan.

Kamarku tidak memiliki jendela. Jadi untuk keluar rumah aku harus melewati pintu. Aku mengatur nafasku, lalu membuka pintu. Tepat ketika pintu dibuka, kudapati Kak Ulfa sedang berdiri di sana. Aku menabrakkan bahuku ke bahunya lalu berjalan melewatinya begitu saja,

"Nindy!" teriak Papa geram dengan kelakuanku.

Papa menarikku ke meja makan. Di sana sudah ada Mama yang kutau terus menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan. Kami semua makan dalam diam. Aku hanya memakan asal-asalan nasi goreng yang ada di hadapanku. Aku memang tak bisa langsung pergi begitu saja meninggalkan rumah, namun biarlah, kuanggap ini sebagai salam perpisahan.

"Hari ini, kamu, Papa antar ke pesantren." kata Papa, membuka percakapan.

Aku hanya diam. Bukan berarti aku tidak terkejut. Jujur, dalam hati aku sangat terkejut, namun aku rasa tak ada gunanya. Lagi pula cepat atau lambat ini semua akan terjadi. Papa mengulangi kata-katanya lagi. Dan aku lagi-lagi diam, acuh tak acuh dengan kata-kata beliau, sambil terus menikmati makanan yang selalu hambar setiap tersaji di ruang makan.

"Kenapa hanya diam? Kamu tidak punya mulut?" tanya Papa dengan sarkas, nadanya begitu tinggi. Dalam hati aku ingin sekali menangis. Tapi aku masih bisa menahannya. Bagiku, rasa sakit sudah menjadi makananku sehari-hari di rumah ini, jadi untuk apa lagi aku menangis? Aku masih diam, sambil mengaduk-ngaduk nasi goreng dengan fikiran kalut.

BRAKKK! Papa melemparkan nasi gorengku ke lantai.

Aku hanya menatap nasi goreng itu dengan tatapan nanar, kini nasi goreng itu sama seperti hatiku, hancur berantakan. Aku masih diam. Aku tau Papa marah. Dan ini juga hal yang pertama kali Papa lakukan padaku. Ternyata Papa juga sudah berubah sama seperti Mama. Lengkaplah sudah.

Aku tersenyum miris dalam hati.

Aku masih diam. Tak ada yang dapat aku sampaikan. Kulirik Kak Ulfa sekilas, dia diam saja di tempatnya. Sungguh, di saat-saat seperti ini aku sangat iri kepada teman-temanku yang terus menceritakan kebaikan kakak-kakaknya yang selalu membelanya bahkan ketika temanku itu melakukan sebuah kesalahan. Aku memiliki kakak, namun aku tak pernah merasa memilikinya.

"Ayo kita ke pesantren sekarang! Papa sudah benar-benar muak melihat tingkahmu." kata Papa. Kali ini beliau menyeretku keluar. Mama dan kakakku mengikuti kami dari belakang. Aku sempat melirik kakakku yang sedang mencari perhatian kepada mamaku untuk menenangkan beliau yang sedang menangis.

Lagi-lagi aku tersenyum miris. Aku memang tidak jadi kabur, tak juga bunuh diri. Tapi kalau di pesantren nanti, aku yakin, aku bisa dengan mudah mengakhiri hidup.

Sudah 10 jam Mobil melaju. Selama perjalanan, tak ada yang membuka suara. Papa dan Mama yang duduk di depan bungkam, Kak Ulfa yang berada di bangku tengah pun bungkam, dan aku yang duduk dibelakang juga melakukan hal yang sama.

Aku melirik gelang perak di tangan kananku lagi. Meski tak tau akan dibawa ke pesantren mana, selama bisa bersama gelang ini, aku tak apa. Bersama gelang ini aku selalu berasa dilindungi. Lama-lama aku ingin cepat sampai dan cepat mengakhiri hidup.

Tak lama kemudian kami semua sampai di halaman sebuah Masjid. Dari spanduk yang terpampang dikanan dan kiri jalan, aku tahu nama pesantren ini adalah Al-Hikmah. Dari percakapan Papa dan Mama, kami akan mendatangi Sang Kyai pemilik sekaligus pengurus pondok pesantren ini. Setelah keluar dari mobil, Mama memakaikanku kerudung asal-asalan. Aku masih diam, tak peduli.

Kemudian, kamipun masuk ke rumah Sang Kyai. Ternyata ini adalah salah satu prosedur untuk masuk pesantren, yakni penyerahan calon santri kepada Sang Kyai. Setelah acara penyerahan aku kepada Sang Kyai. Beliau menyuruh asisten memanggil santri putri untuk mengantarkanku ke kamar pondok putri. Aku masih diam. Diam seribu bahasa. Di kamar, Mama mengenalkan namaku 'Nindy' karena aku masih diam. Setelah itu kedua orang tua dan kakakku dengan kejam meninggalkanku. Di sini. Di tempat asing. Benar-benar Asing.

***

"Mbak, tunggu, anu, iku, Mbak kan belum tau daerah sini, nanti bisa nyasar," kata Farha, dia mengikutiku. Aku hanya diam. Dalam hati aku membenarkan ucapannya, namun aku tak mau punya teman. Karena akan menghambat aksiku.

"Gue gak pikun dan gue masih punya mulut buat tanya." kataku, ketus.

Farha berlari ke kamarnya, mungkin dia menangis tapi ntahlah aku tidak begitu peduli. Toh itu bukan urusanku. Saat aku hendak menuruni anak tangga terakhir, sebuah tangan mencekalku. Saat menoleh kudapati Farha lagi, dia menyodorkanku atasan mukena yang aku yakin miliknya. Aku mengamati Farha sekilas, kini ia menggunakan mukena berenda cokelat.

"Maksudnya apa nih? Lo nyuruh gue solat, Hah?!" teriakku, di depannya. Dia beringsut sedikit, lalu menyodorkan mukena itu lagi.

"Iku, Mbak, kalo di sini, keluar pondok harus pakai mukena." cicitnya.

"Kalo gue gak mau?" tanyaku dengan ketusnya.

"Mbak, gak boleh keluar pondok." kata Farha lagi. Rupanya berargumen denganku menambah lancar bahasa Indonesianya.

"Gue gak peduli! Gue mau keluar awas! Minggir!" kataku, melewati Farha.

"Pakai kerudung ini, Mbak." kata Farha, menyerah memberikan mukena itu.

"Oke, gue akan pake kerudung ini tapi elo gak boleh ikutin gue, kalo lo tetap ikutin gue, gue bakal pergi tanpa kerudung." kataku. Aku menerimanya, karena merasa sedikit kasihan padanya. Aku memakainya asal-asalan karena aku tidak tau cara memakainya. Melihat kerudung itu, aku teringat sekolah dan teman-temanku di sekolah. Dulu saat di sekolah, aku tidak pernah memakai kerudung di hari Jumat sebagaimana mestinya, aku hanya memakainya saat ada Guru BK yang lewat, karena beliau begitu killer dan suka menjambak siswi muslim yang tak memakai kerudung di hari Jumat. Itupun aku hanya memakainya asal.

Aku langsung melengos pergi. Meninggalkan Farha yang masih terdiam di sana. Malam sudah datang. Aku tak tahu harus kemana. Meski begitu aku tetap ingin pergi kemanapun asalkan bisa lenyap dari dunia ini, dunia yang egois, dunia yang hanya mementingkan satu hati tanpa memperdulikan hati yang lain.

"Apa lo liat-liat?" bentakku pada beberapa santri yang mengamatiku dari atas sampai bawah. Menilai penampilanku. Tapi aku tak peduli. Aku langsung pergi.

avataravatar
Next chapter