1 Hidup yang sulit

Arini Elina putri adalah gadis berusia 17 tahun yang sangat jarang berbicara, dan tertutup. Arini anak terakhir dari 2 bersaudara, dia hidup bersama ibu, dan keponakannya, sedangkan ayah dan kakak pertamanya sudah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu.

Bisa dikatakan Arini bukan dari keluarga yang kaya. Malah sebaliknya, dia hanyalah anak dari seorang buruh kebun, namun dia tetap menerima keadaan keluarganya yang serba kekurangan.

Dan saat ini dia baru duduk di Sekolah Menengah Atas disalah satu sekolah yang berada di kecamatan tempat dia tinggal.

Hari ini adalah hari pertama dia masuk sekolah setelah beberapa minggu libur kenaikan kelas. Entah mengapa dia merasa enggan untuk masuk sekolah, mungkin karena dia masih ingin menikmati masa liburnya. Andaikan sekolah bukan karena ibunya yang menyuruh, dia tidak akan sekolah dan lebih memilih bekerja untuk membantu perekonomian keluarganya, tapi karena mengingat pengorbanan sang ibu untuk menyekolahkannya sangat keras, mau tidak mau dia harus melanjutkan sekolahnya demi sang ibu.

Dengan wajah tertekuk Arini mulai melangkahkan kakinya untuk berangkat sekolah. Arini sekolah dengan berjalan kaki karena jarak sekolah dengan rumahnya tidak terlalu jauh. Sekitar 15 menit Arini berjalan sambil menyusuri kebun sayuran yang luas dan pemandangan yang indah, letak rumah Arini memang berada sedikit lebih tinggi dari jalanan menuju sekolahnya.

Tak terasa, dia sudah sampai di depan gerbang sekolah yang dimana di sana sudah banyak murid yang berdatangan untuk menimba ilmu.

Jam sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi, para murid sudah mulai memasuki kelas mereka masing-masing. Sekolah tempat Arini menimba ilmu memang sekolah yang sederhana karena letaknya yang berada di pedesaan.

Memasuki kelas, Arini langsung menuju tempat duduknya dan meletakkan tas punggungnya.

"Es batu ...!" panggil seorang gadis yang juga baru datang.

Mendengar suara yang tidak asing baginya, Arini pun menoleh ke arah sumber suara itu. "Apa?" jawab Arini cuek.

Suara cempreng itu tidak lain adalah suara Mirae temannya yang selalu memanggil dia dengan sebutan 'Es batu'.

Entah mengapa gadis kurus, tinggi tanpa bodi itu memanggil dia dengan sebutan seperti itu, mungkin karena Arini yang jarang berbicara dan terlihat dingin dengan teman-teman di sekitarnya. Bodohnya Arini, dia tetap menoleh walaupun dipanggil seperti itu.

Dengan tangan kanannya Arini memporak-porandakan rambut sahabatnya itu.

"Heiii ... kebiasaan banget sih ngacak-acak rambutku!" protes Mirae sembari merapikan rambutnya kembali dan duduk di samping Arini

"Hehe ... bodo amat!" Arini tersenyum jahil mendengar ocehan sahabatnya itu yang menurutnya tidak penting untuk di dengar.

"Gitu dong senyum, walaupun gak ikhlas, haha ..." kekeh Mirae.

Arini hanya melirik dan setelah itu dia menjitak kepala sahabatnya.

"Aww sakit bego ...!" pekik Mirae.

"Rasain!" Udah sana ke tempat duduk kamu sendiri!" usir Arini sambil mengibas-ngibaskan tangannya agar Mirae cepat pergi.

"Gak mau! Aku mau duduk di sini aja," tolak Mirae.

"Gak, gak boleh! Duduk sama kamu itu mengganggu konsentrasiku, belum lagi mulutmu yang seperti radio rusak. Sangat-sangat mengganggu," ledek Arini.

"Gitu banget sih sama temen sendiri, awas kamu Es batu!" Mirae pun pergi ke kursinya sendiri yang terletak di baris depan.

Tidak berselang lama, guru yang mengajar mereka pun datang. Semua murid yang tengah asik dengan kegiatan mereka masing-masing pun mengakhirinya dan duduk di kursi mereka masing-masing dan bersiap memulai pelajaran hari ini.

Pelajaran pun segera dimulai, murid-murid dengan tenang mengikuti pelajaran yang diajarkan oleh guru mereka.

**

"Arini pulang, Bu!"

Tanpa mendengar jawaban dari ibunya dia langsung pergi ke kamar untuk mengganti seragam sekolahnya. Dia tau, pasti ibunya sedang berada di rumah tetangga melakukan pekerjaan mencuci baju. Dilihat kamar sang ibu, rupanya Rizky keponakannya sedang tertidur pulas.

Arini pun pergi menyusul ibunya yang sedang mencuci baju di rumah tetangga yang cukup jauh dari rumahnya.

"Permisi, Bude. Apa ibu saya ada di sini?" tanya Arini pada pemilik rumah.

"Iya, Nduk, kamu masuk aja!"

Arini pun masuk dan menuju ke tempat biasa ibunya mencuci baju.

"Bu, ibu sudah lama mencuci bajunya? Sini biar aku aja yang melanjutkan mencuci bajunya! Ibu istirahat saja." Seraya mengambil alih posisi ibunya, namun ibunya menolak.

Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang, akhirnya ibu Arini pun mengalah sambil tersenyum simpul.

"Nduk, gak usah bantu ibu, ibu bisa melakukannya sendiri. Kamu pulang aja, makan lalu belajar biar tambah pintar. Ibu tau kamu pasti belum makan 'kan?" Seraya mengelus pundak putrinya, mata ibunya sedikit berkaca-kaca melihat anak gadisnya harus ikut bekerja keras membantu perekonomian keluarga yang kian hari kian melonjak. Remaja seumurannya mungkin sedang menikmati masa remaja yang indah, namun tidak dengan putrinya, dia harus ikut membantu dirinya bekerja.

Kadang Rahmi, ibu Arini menyesal tidak dapat membuat anak terakhirnya ini hidup seperti yang lain, walaupun putrinya tidak pernah mengeluh sedikitpun. Dalam lubuk hati terdalam seorang ibu mana yang mau anaknya hidup susah seperti dirinya, apapun akan dilakukan ibu untuk kebahagian dan kesuksesan anak-anaknya.

Rahmi selalu berdoa di setiap sujudnya,  agar kelak di suatu masa putri terakhirnya itu dapat bahagia selalu.

Tanpa dijawab sedikitpun oleh Arini, dia tau ibunya berkata seperti itu karena ibunya kasihan melihat dirinya. Tak disadari air mata Arini menetes begitu saja di mata sayunya tersebut. Kehidupannya memang sulit, butuh tenaga ekstra untuk menyambung hidup di kondisi yang seperti ini.

Ayah yang seharusnya menjadi tulang punggung keluarga, sudah menghilang dari dunia fana ini. Namun hal itu tidak membuat gadis yang jarang bicara itu patah semangat dalam hidupnya, apapun keadaannya dia harus tetap kuat. Tidak perlu orang tau apa yang sebenarnya dia rasakan cukup Tuhan dan dia sendiri yang menyimpannya.

Matahari sudah mulai menenggelamkan tubuhnya, pertanda memasuki waktu malam. Arini dan ibunya pun pulang.

Ketika di persimpangan jalan tiba-tiba ada mobil jeep berwarna hitam berhenti dan membunyikan klakson mobilnya di samping mereka. Sontak bunyi klakson mobil jeep tersebut  mengejutkan anak dan ibu tersebut dan mereka pun menoleh ke sumber suara itu.

"Selamat sore, Ibu Rahmi. Kebetulan ketemu disini," ujar pria paruh baya itu sambil membuka pintu mobilnya dan menghampiri mereka berdua.

"Selamat sore, Pak Danuarto. Ada yang bisa dibantu?" ucap Rahmi dengan membungkukkan sedikit tubuhnya ke depan.

Seraya mendengarkan ibunya berbicara dengan Pak Danu, mata sayu Arini melirik sedikit ke arah dalam mobil jeep milik orang terkaya di kampungnya tersebut dan dia melihat sosok pemuda yang tengah asik  memainkan ponselnya. Tapi lirikannya itu tidak berlangsung lama, karena lengannya disinggung oleh sang ibu, yang mengisyaratkan untuk membungkukkan sedikit badannya pada Pak Danu sebagai tanda hormat.

"Begini, Bu Rahmi. Keponakan saya yang dari luar negeri baru pulang. Jadi, apa bisa Bu Rahmi membersihkan villa di atas sana?" Sembari menyunggingkan senyum ramah ke arah mereka berdua.

"Oh sangat bisa Pak, kapan saya akan mulai membersihkannya?" sahut Rahmi.

"Mungkin besok saja, Bu Rahmi, karena kalau sekarang harinya sudah mau malam," jawab Danu.

"Baiklah, Pak. Besok pagi saya akan ke villa Bapak. Terima kasih banyak Pak sebelumnya!" ucap Rahmi.

"Iya Bu Rahmi sama-sama, mari saya duluan!"

"Enggeh silahkan!"

Setelah percakapan dengan Danu, mereka pun pulang karena hari sudah akan malam dan juga Rizky berada di rumah sendirian.

avataravatar
Next chapter