2 Kecelakaan

Pagi hari yang cerah, Haruna dan ayahnya pergi bersama. Mereka melayat ke rumah Almarhum Mila, salah satu karyawan di kedai makan milik Kamal, ayah angkat Haruna. Haruna menyalakan sepeda motor matic kesayangannya. Motor itu adalah motor yang ia kredit selama dua tahun, dengan mengandalkan uang gajinya dari Bank tempat ia bekerja. Haruna membonceng ayahnya, karena Kamal tidak bisa mengendarai sepeda motor.

"Pa, Mila sakit apa sebenarnya?" Haruna berhenti di lampu merah. Haruna mengajak ayahnya mengobrol sambil menunggu lampu hijau menyala.

"Entahlah, sebelumnya Mila selalu mengeluh sakit perut," jawab Kamal.

Disamping motor Haruna, sebuah mobil hitam mengkilap berhenti. Di kursi belakang, dalam mobil itu duduk seorang pria dengan setelan jas hitam. Pria itu begitu serius membalik lembaran berkas dalam pangkuannya. Lampu berubah hijau, dan mobil itu segera tancap gas. Namun baru saja supir itu menginjak pedal gas, terdengar suara sesuatu yang terjatuh.

Brukk.

"Waduh," ucap supir spontan.

"Kenapa, Pak?" Pria itu menutup berkas di pangkuannya lalu menaruhnya di jok samping.

"Anu, Tuan Cris, sepertinya saya menyenggol motor di samping," ucap supir.

"Apa?" Cris terkejut, ia lalu menoleh ke samping.

Cris segera turun, disusul supirnya di belakang. Motor yang disenggol oleh mobil Cris ternyata motor Haruna. Haruna terjatuh bersama motornya. Haruna sontak menjadi pusat perhatian. Para pengendara motor yang melihat Haruna terjatuh, dengan segera membantu Haruna dan ayahnya. Banyak juga orang yang sedang melintas, berhenti untuk melihat dan membantu membangunkan motor Haruna.

"Permisi, permisi," ucap Cris melangkah menerobos kerumunan orang yang mengelilingi Haruna.

Haruna berdiri dan menurunkan roknya yang sedikit terangkat. Lutut Haruna lecet karena membentur aspal. Ia tidak mempedulikan kondisinya, yang dikhawatirkan adalah keadaan Kamal, ayahnya. Dia segera menghampiri dan menanyakan kondisi sang ayah.

"Pa, Papa baik-baik saja kan?" Haruna memeriksa dari atas sampai ke bawah.

"Papa tidak apa-apa. Bagaimana dengan kakimu? Apa perlu berobat?" Kamal menatap lutut Haruna yang lecet.

Cris berhasil menembus kerumunan orang yang mengelilingi Haruna. Sejenak Cris terpaku, menatap wajah Haruna yang berkilau tersorot sinar mentari pagi. Cris tersadar setelah beberapa orang mulai ribut.

"Kamu yang punya mobil, kan?" salah seorang dari mereka bertanya.

"Ya, benar. Dia nih orangnya, tanggung jawab kamu!" kata yang lainnya.

"Tenang bapak-bapak, saya akan bertanggung jawab. Tuan dan Nona, maafkan atas kelalaian supir saya. Mari saya antar kalian ke rumah sakit," ucap Cris.

"Tidak apa-apa, ini hanya luka kecil. Saya sedang terburu-buru, saya permisi," jawab Haruna sambil naik ke motornya dan menghidupkan mesin motor. Kamal naik dibelakang Haruna.

"Lutut Anda terluka, Nona. Biar saya antar dulu ke rumah sakit," ucap Cris memaksa.

Haruna hanya tersenyum lalu melaju pergi dengan motornya. Cris terpaku menatap kepergian Haruna. Ada perasaan yang aneh dihati Cris, ia seolah tak rela melihat Haruna pergi.

"Tuan Cris, kita pergi sekarang?"ucapan supir membuyarkan lamunannya.

"Oh, ya. Ck, aku lupa menanyakan namanya." Cris berbalik dan masuk kembali ke mobilnya. Dan supirnya segera tancap gas, melaju menuju gedung kantor 'IZHAM Corporation'.

Cris tersenyum mengingat wajah Haruna, tatapan mata Haruna sangat meneduhkan hati Cris. Hati yang telah lama gersang, kini seolah ada tetesan embun pagi yang menyiram hatinya yang telah lama gersang.

***

Haruna sampai di rumah duka, ia memberikan penghormatan sebentar, kemudian berpamitan pada Kamal.

"Pa, Papa akan tinggal disini?" Haruna diantar Kamar keluar dari rumah duka.

"Papa ingin menemani Kiara, kasihan dia tidak punya sanak saudara. Setelah pemakaman Mila, Papa akan bawa Kiara tinggal bersama kita. Tidak apa-apa kan?" Kamal melihat ke arah Kiara yang sedang bermain.

"Tentu saja, kenapa tidak? Pa, Haruna sudah terlambat. Haruna pergi dulu," pamit Haruna. Ia segera melaju dengan motor maticnya.

***

Sebuah mobil mewah berwarna putih berhenti di parkiran Bank Berkah, Bank tempat Haruna bekerja. Seorang supir turun dan membuka pintu belakang mobil. Terlihat seorang pria memakai sepatu hitam mengkilap, serta setelan jas putih yang dipakai begitu pas di tubuhnya. Ia turun dan berdiri di samping mobil, sejenak ia merapikan jasnya.

Haruna tiba di parkiran, ia memarkir motornya dengan terburu-buru. Ia berjalan meninggalkan parkiran dengan tergesa-gesa, karena ia sudah terlambat. Haruna berjalan menunduk sambil memasukkan kunci motornya. Karena tidak memperhatikan jalan, Haruna menabrak pria berjas putih itu.

Brukk.

"Aduh… Kenapa sial sekali hari ini!" Haruna terpental dan jatuh terduduk di tanah, ia menggerutu.

Haruna bangun dan meminta maaf, ia sadar dirinyalah yang salah.

"Saya minta maaf, Saya terburu-buru," ucap Haruna tulus.

Namun jawaban pria itu begitu sinis bahkan terkesan merendahkan harga diri Haruna.

"Hei, Nona. Kau pikir trik tabrakkan ini akan berhasil padaku." Pria itu mencibir dengan penuh penekanan dalam nada bicaranya.

"Hah! Kau bilang apa, Tuan? Trik? Ya, ampun, saya tulus meminta maaf, dan kau bilang apa tadi? Trik. Asal kau tau saja, Tuan yang sombong dan angkuh. Tanpa aku memainkan trik apapun, banyak pria yang mengejarku. Kau bukanlah tipeku, lagipula aku ini lebih tua darimu. Harusnya kau bicara dengan lebih sopan." Haruna berbalik pergi, meninggalkan pria itu dengan perasaan kesal.

"Dia bilang aku bukan tipenya? Aku, Tristan Izham Putra, pria impian setiap gadis, penakluk wanita paling kaya dan tampan sepertiku, dia bilang bukan tipenya? Berani sekali dia merendahkanku! Kau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa! Kau akan membayar mahal atas perkataanmu hari ini!!" ucap Tristan penuh nada ancaman.

Haruna segera berdiri di belakang meja teller. Para nasabah yang menunggu antrian sudah memenuhi kursi yang ada di depan meja teller. Haruna segera memanggil nasabah sesuai nomor antrian.

Tristan masuk ke dalam bank, sekilas ia melirik dengan tajam ke arah Haruna. Jika kedua mata Tristan diibaratkan benda tajam, maka tatapan matanya itu bisa diibaratkan samurai, yang bisa menebas leher manusia dengan sekali sabetan.

"Pak. Tristan, silahkan masuk. Direktur sudah menunggu Anda di ruangannya."

Tristan mengikuti sekretaris yang menyambutnya. Sekretaris wanita yang seksi dan menggoda, sekretaris itu berjalan dengan sengaja melenggak lenggokkan tubuhnya di depan Tristan. Tristan hanya tersenyum melihatnya, ia sudah terbiasa menghadapi para wanita yang sengaja menggodanya.

Namun senyuman Tristan seketika menghilang, mengingat ucapan Haruna. Mengingatnya membuat perasaan Tristan menjadi buruk. Ia mengepalkan tangannya dengan kuat. Levi, asistennya yang berjalan di belakang itu bergidik ngeri melihat tangan Tristan yang mengepal penuh kemarahan. Levi merasa bahwa Tristan bak sebuah gunung berapi aktif yang akan meletus. Kemarahan Tristan, berarti bencana buruk yang akan dihadapi Haruna dan keluarganya.

avataravatar
Next chapter