1 Perpisahan dan Janji Setia

Aku menyadari ini adalah keliru, bertemu dengan Harun di taman kota yang sunyi dan hanya berdua dengannya.

"Maafkan aku, Nay. Ini adalah satu-satunya cara agar aku bisa meraih impianku, aku berjanji akan segera menikahimu setelah kembali. Hanya dua tahun, aku harap kamu bersabar menunggu aku."

Di antara kami terdapat jarak sekitar satu meter untuk membatasi, sebab kami adalah sejoli yang sama-sama memahami agama dengan baik.

"Kalau begitu, kita menikah terlebih dahulu, lalu bawa aku bersamamu."

"Aku tidak bisa. Aku harus fokus agar cepat selesai karena aku sudah kontrak dengan universitas, setelah lulus aku menjadi dosen di sana."

Aku merasakan dada ini sesak seolah ada jutaan benda yang saling berdesakan hingga tidak ada ruang untuk sekadar merasa rela, disusul netraku yang memanas dan mengembut lalu perlahan bulir-bulir bening berjatuhan dari sana.

"Nay, percayalah, tidak akan lama, hanya dua tahun. Aku janji akan selalu menghubungimu."

Harun menyerahkan sebuah sapu tangan berwarna putih bercorak hijau. Aku memandang benda itu, seakan melihatnya sebuah pigura bertuliskan 'selamat tinggal, Nay', lalu dengan ragu mengulurkan tanganku untuk menerima. Kalau saja bisa, ingin rasanya aku berlari dan memeluk pemuda yang amat aku cintai itu. Aku tidak ingin berpisah, tahun ini seharusnya kami menikah, bahkan kami sudah merancang masa depan yang bahagia. Tapi aku bisa apa? Harun adalah seorang lelaki, ia bisa bebas pergi kemana pun ia inginkan.

Langit mendung, seolah mengetahui hatiku yang sedang kalut. Kami masih mematung dalam bisu.

"Nay."

Suara lembut yang membuatku tidak dapat menahan hatiku terdengar mengalun bersama rintik gerimis yang mulai membasahi bumi.

Aku menoleh, sejurus kami saling bertatap, hal yang jarang -bahkan tidak pernah- kami lakukan selama menjalin hubungan. Kutatap lekat bola mata teduh yang mulai putus asa itu, biarlah, biarlah aku melanggar norma untuk kali ini. Aku tahu ia akan pergi, tapi aku tidak pernah tahu apakah ia akan kembali.

"Pergilah, aku sudah ikhlas melepaskanmu, Har. Belajarlah dengan baik, aku akan setia menunggu kedatanganmu hingga menghalalkan aku. Sudah cukup tiga tahun kita menjalin hubungan secara sembunyi-sembunyi, lalu kini ditambah dua tahun lagi."

Isak tangisku tidak dapat membohongi hatiku. Meski aku mengatakan rela, tapi sejujurnya ini sangat berat. Aku hanya ingin Harun mengerti perasaanku. Dia selalu -dan selalu- mengulur waktu untuk segera datang secara resmi menemui keluargaku.

"Setelah aku kembali, maka aku sudah layak untukmu, Nay. Aku tidak akan ragu lagi. Tolong sampaikan maafku pada abah dan umma."

Hatiku seakan menjerit, "Kapan, Har, kapan kamu akan secara gentleman datang menemui orang tuaku?"

"Aku pergi dulu, ma'assalaamah (selaamt tinggal)."

Harun melangkahkan kaki meninggalkan aku dan rintik gerimis di taman sunyi ini. Ada pedih ketika mengantar kepergiannya dengan netra masih mengalirkan air mata.

Aku terus memandang punggung Harun hingga menghilang dibalik kerimbunan bunga-bunga taman. Di kota kecil ini, aku mengukir sebuah nama di hatiku, jauh di dalam lubuk hatiku. Aku akan setia dengan janjiku, menunggunya -sekali lagi menunggunya- hingga dia kembali dan menjadi imamku.

Aku melangkah dengan gontai meninggalkan taman ini. Akan kucatat dalam sejarah hidupku, sebuah tempat perpisahanku yang terakhir adalah taman ini, taman Petobo.

***

Sesampainya di rumah, aku mendapati ummi sedang membantu Bi Tini di dapur. Melihat kedatanganku, ummi langsung menyapa.

"Sudah pulang, Nay? dari mana saja kenapa basah kuyup begitu?"

Aku mamandang jilbab lebar dan gamisku basah terkena air hujan. Aku tersenyum simpul.

"Dari rumah teman, Mi, lupa bawa payung jadi kehujanan."

"Ya sudah, pergilah berganti cepat, nanti masuk angin. Ummi buat jalangkote kesukaanmu."

Senyum manis ummi selalu membuatku merasa bahagia, pun kali ini dikala hatiku sedang berduka, sedikit terobati dengan melihat senyum wanita yang telah melahirkanku.

Aku masuk ke dalam, kulihat adikku -Insiyah- sedang menonton acara kesukaannya di channel televisi Islami; lomba tahfiz Al-Qur'an. Ia tidak bergeming dengan kehadiranku, aku hanya mencolek kepalanya lalu naik ke lantai dua untuk berganti.

Kamarku berada di lantai dua, bersebalahan dengan kamar Insiyah. Kami hanya dua bersaudara, namun di antara kami sering terjadi cekcok sebagaimana hubungan saudara pada umumnya.

Kulongok kamar adikku yang pintunya terbuka, seketika mulutku beristighfar.

"Astagfirullah, itu bocah! tidak bisakah dia rapikan sedikit kamarnya?"

Melihat kamar berantakan dan barang bertebaran di atas lantai dan kasur membuatku cepat-cepat berlalu dari pemandangan tidak menyenangkan itu.

Aku dan Insiyah memang memiliki karakter yang berlawanan. Aku sangat suka kerapihan dan keindahan, perfeksionis dalam segala hal, sementara dia cenderung cuek dan berbuat suka-suka asal dia bahagia. Ummi dan abi tidak pernah mempermasalhkan itu, hanya aku saja yang selalu geram melihat sikapnya.

Aku masuk ke dalam kamarku, berganti pakaian, lalu duduk di depan cermin riasku. Kutatap wajahku, sebaris wajah ayu masih melekat di sana, lalu kenapa aku selalu harus mengalah pada Harun? Kusunggingkan senyum di bibir tipisku, lalu duduk dengan tegak.

"Aku harus optimis, harus kuat, harus sabar, demi kebahagiaan di masa depan."

Aku berbicara dengan bayanganku sendiri di dalam cermin. Lalu beranjak menemui ummi yang sudah menungguku.

Aku melahap jalangkote dengan nikmat. Buatan ummi memang beda rasanya dengan jalangkote yang kebanyakan dijual-jual di toko kue atau pun di pinggir-pinggir jalan.

Ponselku bergetar pertanda sebuah pesan masuk. Mataku terbelalak melihat Harun mengirim pesan.

"Nay, besok jam 7 pagi aku berangkat. Temui aku di bandara."

Apa? Bahkan dia tidak singgah ke rumahku sekadar pamit pada abi dan ummi? Hatiku mencelos, kulahap banyak-banyak jalangkote hingga berjejal dalam mulutku, lalu kuteguk segelas air.

"Mi," panggilku, aku ragu untuk mengatakan ini. Ummi menoleh dan tersenyum.

"Kenapa?"

"Harun melanjutkan studi di Madinah, besok dia berangkat."

"Kenapa tiba-tiba? apa dia tidak ke rumah?" Ummi mengernyitkan keningnya.

"Dia calon dosen, Ma, tentu pendidikan yang tinggi akan lebih bagus untuk karirnya."

"Tapi kalian sudah terlalu lama menjalin hubungan, itu tidak akan baik, Nay." Tatapan tajam ummi seakan hendak membunuhku, aku menunduk.

"Iya, Mi, kami tahu. Ini yang terakhir, hanya dua tahun." Suaraku semakin memelan.

Ummi terdiam, tangannya masih sibuk membentuk tepian jalangkote sehingga indah dipandang mata. Aku pun yang sudah sedewasa ini tidak bisa melakukan itu.

"Oya, kamu masih ingat Pak Manopo? Keluarga mereka akan datang pekan depan, mereka akan berkunjung. Katanya sekalian mau merayakan keberhasilan putranya yang sudah membuka cabang bisnisnya di kota ini."

"Aku sudah lupa, Ma. Tapi kayaknya ingat sedikit. Pak Manopo yang sudah pindah ke Kalimantan?" Aku berusaha mengingat-ingat meskipun tidak tertarik pembahasan itu.

"Iya, itu dia. Kamu harus ikut supaya mereka melihatmu sudah dewasa. Kamu pasti masih ingat mereka dulu begitu baik pada keluarga kita, juga sering memberimu hadiah dan oleh-oleh."

Aku mengangguk. Apa susahnya hanya melayani tamu-tamu orang tuaku, pikirku.

avataravatar