6 5. Ultimatum

Aldy duduk di sebuah kursi yang terdapat di dalam bangunan kosong yang tak jauh dari sekolahnya. Dengan perlahan menghembuskan asap nikotin yang selama ini menjadi candu pada kesehariannya dari saluran pernapasan secara perlahan.

Tak lama kemudian dua orang datang, dua orang yang sudah taka sing bagi Aldy, yaitu Marsel sahabatnya, dan Zico, satu dari dua orang yang ingin Aldy provokasi.

Zico menghentikan langkahnya tepat di hadapan Aldy yang masih duduk sambil menikmati batang candunya. "Gue denger lo mau nantang gue?"

Aldy menatap balik sorot mata Zico. "Cuman itu yang lo denger?"

Zico tak menjawab pertanyaan balik Aldy. Aldy pun mematikan bara api di ujung batang rokoknya dengan membuangnya ke lantai beton tempat mereka berpijak dan menginjaknya dengan alas sepatu kets yang ia kenakan. Setelah mematikan batang nikotin yang sudah tersisa filternya itu, Aldy berdiri dan menatap lurus ke arah mata Zico. "Kalo lo kalah, lo sama seluruh anggota geng lo harus patuh sama gue."

Mendengar apa yang dikatakan Aldy membuat Zico menyunggingkan senyuman yang sangat lebar. Meski anak kelas satu itu harus mengadahkan wajahnya agar bisa menatap balik mata Aldy dengan sikap penuh perlawanan, namun Zico tak gentar sama sekali dengan orang yang berada di hadapannya.

"Lo kira akan semudah itu? Meskipun lo ngalahin gue nanti, orang-orang gue ga akan dengan mudah tunduk sama lo … itupun kalo lo menang."

Aldy maju selangkah, membuat wajah mereka berdua semakin dekat. "Gue ga ngasih kalian pilihan buat nolak."

Zico mengerutkan keningnya. "Maksud lo?"

"Di akhir, pilihan kalian cuman dua. Ikut gue, atau kalian hancur."

Suara langkah kaki dari banyak orang terdengar memasuki area bangunan. Bisa dilihat ada dua kelompok murid yang datang, dari kelompok geng kelas dua yang dipimpin oleh Marsel, dan juga kelompok geng anak kelas satu yang diketuai oleh Zico.

Zico berbalik sebentar dan kembali menatap Aldy dengan tatapan yang masih sama, menunjukkan kemauan kuat untuk melawan ultimatum yang baru saja dikeluarkan oleh Aldy. Aldy memang sudah terkenal di antara anak kelas satu, karena kemampuan bertarungnya yang lumayan mengerikan saat berada di dalam medan perkelahian massal dengan sekolah lain.

Meski begitu, mereka tidak menyadari bahwa selama ini Aldy tidak pernah melakukannya dengan sepenuh hati. Karena jika ia melakukannya, Aldy bisa menjadi berkali-kali lebih mengerikan. Itulah sebabnya bahkan Zico yang notabenenya adalah junior Aldy, masih memandang rendah kepada Aldy.

Zico menyeringai, "Apa lo bilang tadi? Kita bakal hancur? Gue kasih tau lo satu hal, meskipun gengnya Marsel ada di pihak lo, kalian ga akan bisa ngancurin gue dan orang-orang gue. Justru," Zico menggantung kata-katanya dan mengepalkan telapak tangannya, mendaratkan tinju pelan di dada kiri Aldy. "Kalian yang bakal ancur. Ngerti?"

"Siapa bilang anggotanya Marsel bakal bantuin gue?"

Pertanyaan Aldy membuat Zico mengerutkan keningnya. "Maksudnya?"

Aldy menoleh ke arah orang-orang yang merupakan anggota geng yang dipimpin oleh Marsel. "Ultimatum gue barusan juga berlaku buat kalian semua."

Seluruh orang yang mendengar ucapan Aldy menanggapinya dengan ekspresi yang berbeda-beda. Kebanyakan dari mereka merasa terkejut, dan banyak juga yang merasa direndahkan. Sehebat apapun kemampuan berkelahi Aldy yang mereka akui, memangnya apa yag bisa dilakukan Aldy seorang diri?

Bahkan Marsel juga terkejut mendengar ucapan sahabatnya itu.

Dan dari arah depan bangunan, suara langkah kembali terdengar. Kali ini, Edwin dan selurug anggota geng kelas tiga yang mengikutinya di belakang pun masuk ke bangunan itu dan bergabung bersama mereka.

"Hahahaha … " Edwin melangkah masuk sambil tertawa dengan lantang, membuat semua perhatian tertuju padanya. "Gue kira lo bukan orang bodoh, tapi ternyata lo orang paling idiot di antara orang idiot, Dy."

Aldy tak membalas ejekan Edwin yang baru saja datang itu. Ia masih tetap tak menunjukkan ekspresi apapun.

"Jadi, kalo tebakan gue bener, dan mungkin emang bener, kalo lo mau nantang kita semua. Tiga kelompok geng terbesar di SMAS Caius Ballad … sendirian, gitu?"

Marsel melangkahkan kakinya mendekat ke arah Aldy dan mendekatkan wajahnya di telinga Aldy lalu berbisik sepelan mungkin. "Lo gila? Kalo lo terus-terusan memprovokasi mereka semua, bahkan gue sendiri ga bisa jamin anggota geng gue buat ga ikutan nyerang lo. Dan seperti yang lo tau sendiri, di situasi begini, gue ga akan bisa gerak buat bantuin lo. Lo ga mau mikirin cara lain?"

Aldy menoleh ke arah Marsel. "Mending lo pulang, Sel."

"Maksud lo?"

"Gue ga mau ngirim sahabat gue sendiri ke rumah sakit."

Edwin dan Zico pun semakin panas. Mereka bahkan tak percaya bahwa Aldy akan mengancam sahabatnya sendiri seperti itu. Memangnya apa yang berusaha dicapai oleh Aldy hingga ia seperti kehilangan akal sehatnya begitu?

Marsel mengedarkan pandangannya ke sekitar dan kembali mengarahkannya ke arah Aldy. "Gue peringatin lagi, jangan. Sebagai sahabat yang masih peduli sama lo—"

Duakkk …

Aldy menyerang wajah Marsel dengan kepalanya, membuat darah segar mengalir dari hidung Marsel dan termundur beberapa langkah. Marsel membuat gesture seakan menyuruh anggota gengnya untuk menghentikan langkah mereka yang sudah ingin mengeroyok Aldy.

Kini Marsel, Edwin dan Zico berdiri di hadapan Aldy, dengan anggota kelompok mereka masing-masing di belakang mereka.

Edwin, sebagai orang yang paling senior di antara mereka berempat pun menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya dengan jengah. "Mending gini aja, gue ga tau sekuat apa lo, tapi ga mungkin lo masih bisa hidup kalo kita semua ngeroyok lo sekaligus. Karena lo ngebet banget pengen nguasain sekolah, dan kita bertiga sebagai pemimpin geng masing-masing juga masih punya dendam satu sama lain, gimana kalo kita selesain ini berempat, dan yang bisa berdiri paling akhir, dia yang menang. Yang kalah, mau ga mau harus tunduk sama yang menang."

Zico sebagai orang termuda di antara mereka menunjukkan ekspresi yang paling tidak suka dengan usulan Edwin. "Siapa lo, sok mutusin begitu?"

Edwin memandang balik Zico, "Mending lo diem aja, bocil tengik. Selagi orang gede ngomong."

"Apa lo bilang?!"

Marsel menganggukkan kepalanya. "Gue setuju sama usulan Edwin. Karena masalah di antara kelompok geng kita bertiga bisa sekalian diselesain dalam satu pertarungan."

Edwin menyunggingkan senyum penuh dengan aksen mengejek pada Zico. "Tuh denger, cil. Kalo lo takut, mending pulang aja sana."

Marsel pun mengarahkan pandangannya pada Aldy. "Gimana menurutlo, Dy?"

"Ultimatum gue tetep sama. Kalian semua harus tunduk sama gue, atau hancur."

Edwin, Zico bahkan Marsel pun sudah berada di puncak emosi tertinggi mereka. Marsel kembali berusaha menunjukkan rasa simpatinya pada Aldy, namun belum sempat ia meminta sahabatnya itu untuk mempertimbangkan kembali keputusannya, Aldy meneruskan kata-katanya.

Aldy menyunggingkan senyuman dengan intensitas sorotan mata yang tetap tajam dan menusuk. "Tapi begini juga gapapa. Gue bisa langsung menggal tiga kepala ular, biar ekornya bisa tunduk sama gue."

Edwin dan Marsel mengarahkan pandangan mereka pada Zico, membuat Zico tak mengerti dengan maksud mereka. "Kenapa lo pada ngeliatin gue?"

"Gimana cil, lo setuju, atau mau pulang terus minum susu dan minta di-nina bobo-in sama emak lo?" ucap Edwin yang sepertinya memang suka mengejek Zico.

"Bacot lo! Ya gue ikut lah!" protes Zico dengan tatapan penuh amarahnya.

Kini mereka berempat telah setuju untuk menyelesaikan seluruh masalah internal geng sekolag mereka dalam satu pertarungan. Pertarungan yang menentukan siapa yang akan duduk di tahta tertinggi, dan akan dipatuhi oleh seluruh anggota geng sekolah.

Dan saat itu juga pertempuran keempat orang yang sangat brutal itu dimulai.

avataravatar
Next chapter