5 4. Awal Mula Rencana Aldy

Dengan langkah biasa, Aldy berjalan keluar dari kelasnya. Waktu menunjukkan pukul sepuluh, bel tanda dimulainya waktu istirahat membuat beberapa murid berangsur meninggalkan ruangan kelas mereka menuju ke kantin.

Tujuan langkah kaki Aldy bukanlah ke arah kantin, namun lebih tepatnya ke arah sebuah kelas yang terletak di paling ujung koridor lantai tiga. Kelas itu adalah kelas Dua Belas IPS Empat, tempat di mana Edwin, seseorang yang kini duduk bertahta di peringkat tertiggi bad-boy SMAS Caius Ballad. Murid yang paling disegani di sekolah.

Alasan mengapa Aldy ingin pergi ke kelas itu adalah menantang Edwin, sehingga ia bisa mengambil alih geng sekolah.

Selama ini Aldy hanya mengikuti pertarungan dengan sekolah-sekolah lain atas dasar melepas penat dan rasa bosan, ia tidak pernah memikirkan apa yang ingin ia capai dengan bertarung terus-menerus seperti itu. Namun kali ini berbeda, Aldy memiliki tujuan untuk membuat sekolahnya menjadi sekolah yang tidak ada satupun geng sekolah lain yang berani mengganggu. Namun sebelum ia mencapai tujuan itu, pertama-tama ia harus menyatukan sekolahnya terlebih dahulu.

Situasi di SMAS Caius Ballad saat ini begitu rumit. Meskipun Edwin adalah siswa yang paling disegani di sekolah, namun kekuatan geng sekolah terbagi menjadi tiga kelompok berdasarkan angkatan masing-masing.

Kelompok pertama adalah kelompok Edwin, beranggotakan orang-orang yang menaruh rasa hormat pada Edwin di antara murid-murid kelas tiga. Dan saat ini, Edwin adalah orang paling berpengaruh di sekolah, bisa dibilang kelompoknya yang lebih mendominasi di Caius Ballad.

Yang kedua adalah kelompok yang diketuai oleh murid bernama Marsel, seorang siswa kelas Sebelas IPS Dua yang merupakan teman kelasnya Aldy. Marsel secara tidak langsung ditunjuk sebagai ketua geng sekolah di seluruh angkatan kelas dua. dan seseorang yang bahkan tak akan gentar jika ditekan oleh senior.

Dan yang ketiga adalah kelompok yang berisikan beberapa murid kelas satu. Meski masih bertatus kelas satu, namun mereka juga tidak bisa dipandang sebelah mata, terlebih ketua mereka yang bernama Zico. Dia satu-satunya murid di SMAS Caius Ballad yang mungkin memiliki nyali terbesar. Meskipun kemampuan berkelahinya tak terlalu mencolok, namun ia terus saja melakukan perlawanan pada kelompok-kelompok yang lebih kuat, membuatnya mendapatkan pengikut.

Sebelumnya, Aldy sudah memberitahu Marsel soal tujuannya untuk menyatukan geng sekolah Caius Ballad menjadi satu. Bagi Marsel, ia tak keberatan atas ide dari Aldy, karena dari pertama mereka bersekolah di SMAS Caius Ballad, Aldy dan Marsel memang sudah menjadi teman dekat.

Oleh karena hal itu, Marsel yang akan mengurus kelompok anak kelas satu yang diketuai oleh Zico, sedangkan Aldy yang akan menghadapi kelompok kelas tiga yang diketuai oleh Edwin.

Dengan langkah pasti, Aldy pun kini sudah berada di depan daun pintu kelas di mana Edwin, sang bad-boy yang kini menduduki peringkat teratas.

***

-Beberapa saat lalu, di dalam kelas-

Aldy duduk di bangku yang biasa ia duduki. Banyak murid di kelasnya yang datang terlambat karena semalam, Bu Yulia selaku guru matematika memberitahu ketua kelas kalau beliau berhalangan untuk hadir. Dan karena hal itu, kelas Aldy akan bebas hingga bel istirahat.

Setelah beberapa saat duduk terdiam, orang yang sedari tadi Aldy tunggu kedatangannya pun muncul. Marsel, lelaki yang merupakan ketua geng murid-murid seangkatannya, sekaligus teman sebangkunya.

Marsel menaruh tas di atas meja dan menumpuk helm di atas ta situ dan duduk di sebelah Aldy. "Gimana, lo udah ketemu sama adeklo itu? Cewek kan? Cantik ga? Kelas berapa dia sekarang?"

Aldy diam, tak menjawab pertanyaan Marsel membuatnya merasakan ada sesuatu yang aneh dari Aldy. "Woi, lo marah gue becandain gitu?"

Kini Aldy menoleh dan menunjukkan sorot mata penuh keseriusannya. "Sel, gue mau nguasain sekolah."

Dua orang yang duduk persis di depan Aldy pun berbalik mendengar ucapan Aldy. Nita dan Anggi, mereka memandang tak percaya pada Aldy. Bagaimana tidak, seorang Aldy yang sangat irit bicara apalagi senyum, dan selalu mengeluarkan aura yang mengintimidasi orang-orang di sekitarnya tiba-tiba mengeluarkan pernyataan konyol seperti itu secara tiba-tiba.

Anggi mengerutkan keningnya, "Dy, lo kesurupan?"

Aldy hanya menanggapinya dengan memandang sinis Anggi dan Nita, seakan menyuruh mereka untuk tak mencampuri urusannya. Kedua murid perempuan itupun hanya menggelengkan kepala mereka dan kembali melihat ke arah depan kelas, seakan tak terjadi apa-apa.

Namun di sisi lain, Marsel masih terlihat berusaha menahan tawanya.

"Dy, sumpah, gue baru tau kalo lo bisa becanda." ujar Marsel sambil satu tangannya memegangi perutnya. "Lo mau apa? Nguasain sekolah? Maksudnya lo punya cita-cita jadi kepala sekolah, gitu? Ga cocok, nyet!"

Aldy memandang Marsel tanpa menunjukkan ekspresi apapun. Hal itu tentu saja membuat Marsel yang masih dalam keadaan tertawa langsung kehilangan selera humornya dalam sekejap. "Kalo bukan kepala sekolah, berarti lo … "

"Iya." potong Aldy sebelum Marsel sempat menyelesaikan terkaannya akan apa yang coba Aldy utarakan. "Nanti pas jam istirahat gue mau nantang Edwin sama Zico."

"Dua-duanya sekaligus? Lo gila? Gue tau, kalo masalah berantem gue sendiri yakin kalo seharusnya lo yang ada di posisinya Kak Edwin sekarang, tapi masalahnya antek-anteknya pasti ga bakal ngebiarin lo satu lawan satu sama Edwin, apalagi Zico. Lo tau sendiri mentalnya anak-anak kelas satu kayak gimana sekarang. Lagian, emang ada apa sih, ga ada angin ga ada ujan tiba-tiba lo pengen nguasain geng sekolah kayak gini, biasanya lo paling males kalo gue udah bahas soal geng sekolah."

Aldy pun menyandarkan pundaknya di sandaran kursi tempat ia duduk. "Lo inget ga Sel, kalo sekarang gue udah punya adek."

"Iya, emang kenapa?"

"Dia sekarang terbaring koma di rumah sakit gegara kecelakaan mobil. Nyokabnya meninggal di kecelakaan itu, jadi dia bakal tinggal serumah sama gue, itupun kalo dia bisa sadar dari komanya."

Marsel mulai kehilangan kesabarannya. "Ya terus, hubungannya sama keinginan lo buat nguasain geng sekolah apa?"

"Umurnya enam belas tahun, Sel. Harusnya dia udah kelas satu SMA. Lo tau sendiri kan, keadaan sekolah kita gimana. Geng-geng sekolah di luar hampir tiap hari nantangin sekolah kita. Bahkan di dalem aja masih sering ada kasus antar geng internal sendiri, kayak gengnya lo, Edwin sama Zico."

Perlahan Marsel mulai menyadari satu hal dari apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu. "Tunggu, jangan bilang … "

Aldy menyunggingkan senyuman yang bahkan Marsel sendiri jarang melihat sahabatnya itu tersenyum. "Iya, itu tujuan gue."

Marsel menggelengkan kepalanya. "Wah, ga beres emang otaklo, Dy. Jadi maksud lo, lo mikir kalo nanti adeklo yang koma itu bangun dan pengen sekolah di sini,"

Aldy menganggukkan kepalanya, namun Marsel masih berusaha menyadarkan Aldy bahwa idenya adalah hal yang sangat beresiko, karena ia akan melawan dua dari tiga kelompok geng besar yang ada di sekolahnya sendirian. "Ya tapi ga harus gitu juga, kan? Kalo emang nanti … siapa nama adek lo yang koma itu?"

"Maureen." jawab Aldy cepat.

"Iya, Maureen, kalo dia mau sekolah di sini juga kayaknya udah aman aja kok, lagian ga ada yang ga tau lo sebagai kakaknya. Gue bisa jamin kalo ga bakal ada yang berani gangguin adeklo itu nanti. Secara, siapa yang berani ganggu adik seorang Rizaldy Pradipta."

Aldy kembali mengarahkan pandangannya ke arah Marsel. "Murid-murid di sekolah ini mungkin, tapi kita ga bakal tau sama murid-murid dari sekolah lain, apalagi sekolah-sekolah yang udah jadi musuh bebuyutan kita dari dulu."

Mendengar ucapan Aldy membuat Marsel membulatkan kedua bola matanya secara sempurna, seakan ia baru saja tersadar akan garis besar rencana yang coba Aldy utarakan sebenarnya.

Awalnya, Marsel mengira bahwa Aldy hanya akan berhenti di titik di mana dia ingin menguasai sekolahnya saja. Namun kini Marsel mengerti seratus persen apa yang sebenarnya diinginkan Aldy.

Ia ingin menundukkan geng-geng sekolah lain, sehingga tak ada lagi yang berani mengusik SMAS Caius Ballad.

"Dy, lo ngidap sis-con apa gimana sih? Rencana lo tuh ekstrim banget, tau ga? Wah, otak lo emang bener-bener ga beres."

Aldy seakan tak memperdulikan ejekan Marsel yang terakhir. "Intinya pulang sekolah gue bakal nantang Edwin sama Zico. Dan kalo lo mau ngalangin gue, berarti lo dan geng lo juga masuk dalam target gue."

Mungkin jika orang lain yang mendengarnya, mereka akan menganggap bahwa sikap Aldy terlalu berlebihan dengan menantang tiga kelompok besar SMAS Caius Ballad sendirian. Namun tidak bagi Marsel, karena Marsel adalah orang yang paling mengenal Aldy dan memahami betapa menakutkannya seorang Rizaldy Pradipta jika berada di dalam medan pertempuran adu ketangkasan fisik seperti perkelahian massal. Bahkan Aldy tak pernah membawa senjata apapun saat tawuran, yang ia andalkan adalah tangannya sendiri.

Marsel akhirnya menghembuskan napas berat. Ia menaruh satu tangannya di pundak Aldy, "Ya udah, kalo gitu urusan sama Zico biar gue tanganin. Lo fokus aja ke Edwin. Atau, lo bisa nunggu gue buat nyelesain urusan sama Zico dulu, baru kita sama-sama nantang Edwin sama gengnya sekalian, gimana?"

"Ga perlu, gue aja udah cukup."

"Yakin? Kalo kalian berdua bertarung satu lawan satu sih gapapa, tapi kalo bocah-bocahnya yang lain pada ngikut, gimana?" Marsel terus saja merasa ragu akan keputusan yang berusaha Aldy ambil itu.

Aldy tak menjawabnya. Ia merasa bahwa ia tak perlu mengulangi kata-katanya yang mengatakan bahwa dirinya sendiri saja sudah cukup untuk berhadapan dengan Edwin.

Dan kini, di sinilah Aldy, berdiri di depan daun pintu yang di atasnya terdapat papan yang bertuliskan XII IPS 4, tempat di mana Edwin berada. Tanpa basa-basi, Aldy melangkah masuk dan berjalan ke tempat di mana Edwin duduk.

Edwin yang melihat kedatangan Aldy merasa senang sekaligus bingung. Ia senang, karena Aldy memang sudah menarik perhatiannya dari awal, terutama Aldy lah yang selama ini menjadi kekuatan utama SMAS Caius Ballad dalam pertempuran melawan geng-geng sekolah lainnya, membuat Edwin menaruh respect terhadap Aldy meskipun Aldy adalah adik kelasnya sendiri. Namun ia juga merasa bingung karena ia merasa tidak memiliki urusan yang membuat Aldy harus mendatanginya di kelas seperti ini.

Namun rasa penasaran Edwin seketika menghilang saat ia bisa melihat dengan jelas sorot mata yang ditunjukkan oleh Aldy. Edwin bisa mengenali tatapan mata itu. Itu adalah tatapan yang selalu ditunjukkan oleh Aldy setiap kali turun ke dalam medan pertempuran sengit antar geng sekolah. Sebuah tatapan yang sangat tajam, penuh keseriusan dan tanpa ekspresi wajah. Benar-benar ciri khas seorang Rizaldy Pradipta.

Aldy pun berhenti tepat di hadapan Edwin.

Mereka berdua saling beradu pandang, sementara teman-teman Edwin yang lain merasa tak berani untuk menginterupsi Aldy walaupun Aldy datang sendirian ke dalam markas mereka.

Setelah beradu pandang dalam waktu singkat, Aldy pun langsung mengatakan maksud kedatangannya tanpa basa-basi.

"Pulang sekolah, gue tunggu di lapangan belakang."

Antek-antek Edwin yang berada di sana langsung membulatkan matanya dengan sempurna. Mereka semua tersulut emosi dengan perilaku Aldy menantang Edwin, ketua geng mereka seperti itu.

Belum selesai, Aldy langsung menambahkan beberapa kata yang otomatis membuat seluruh geng kelas tiga memandangnya dengan tatapan penuh permusuhan. "Bawa sama orang-oranglo sekalian."

Edwin pun tersenyum lebar mendengar ucapan Aldy. "Serius? Emang lo punya masalah apa sama geng gue? Ada yang ngeprovokasi lo, atau gimana? Tunjuk aja siapa orangnya, biar gue disiplinin sendiri, dan lo ga perlu ikut campur."

"Geng lo?" tanya Aldy balik sambil mengedarkan pandangannya pada orang-orang yang merupakan anggota kelompok geng yang diketuai Edwin. "Ga ada masalah. Gue cuman mau ngambil alih semua geng di sekolah."

Mendengar hal tersebut membuat senyuman di bibir Edwin makin melebar.

Dan saat itulah, awal dari rencana Aldy untuk menjadi seorang by-stander di geng sekolahnya dimulai.

avataravatar
Next chapter