webnovel

34. Penerus Heri?

"Jadi, kamu punya pembelaan?"

Aldy duduk di hadapan guru BK beserta orangtua murid yang pada jam istirahat tadi dibuatnya babak belur hingga harus dirawat selama beberapa hari di rumah sakit.

Ia masih diam, memandang tanpa ekspresi pada semua lawan bicaranya.

"Kamu sadar kalau perbuatanmu tidak hanya bisa membuat kamu dikeluarkan dari sekolah, tapi juga bisa membuat kamu masuk penjara?"

Aldy masih belum menjawabnya. Ia diam bukan berarti tak tahu apa yang harus ia lakukan. Yang Aldy lakukan adalah menunggu saat yang tepat.

"Mau sampai kapan kamu diam?!" guru BK meninggikan suaranya, meski Aldy masih belum menunjukkan ekspresi apapun.

Hingga pintu ruang BK di mana Aldy berada diketuk. Tanpa menunggu pintu itu dibukakan oleh orang yang berada di dalam ruangan, orang yang mengetuk pintu sebelumnya membukanya sendiri. Seseorang yang memiliki otoritas tertinggi di sekolah, tak ada staff sekolah yang tak mengenalnya. Di belakangnya, adalah orang yang sudah sangat familiar di mata Aldy.

Dia adalah Pak Beto selaku kepala sekolah SMAS Caius Ballad, dan di belakangnya adalah Heri, ayah dari Maureen dan juga Aldy sendiri.

Seperti dugaan, Heri terlebih dulu menyunggingkan senyuman kepada Aldy tanpa berkata apapun. Kebiasaan itu selalu dilakukannya setiap kali ia akan membereskan masalah yang Aldy buat.

"Saya sudah mendengar langsung kejadiannya. Dan semua saksi di tempat kejadian sudah satu suara kalau Nak Arman yang pertama kali mengeluarkan kata-kata kasar kepada Nak Maureen. Jadi untuk kedepannya, saya sebagai kepala sekolah memutuskan untuk mengeluarkan Nak Arman dari sekolah. Dan untuk Nak Aldy, akan menjalani skorsing selama seminggu, tidak boleh mengikuti pelajaran namun mengerjakan seluruh pekerjaan layaknya tukang bersih-bersih di sekolah."

Ayah dari Arman, anak yang dibuat babak belur oleh Aldy setelah menghina Maureen dengan kata 'pelacur murahan' itu membulatkan matanya, menatap tak percaya pada kata-kata yang kepala sekolah ucapkan tepat di hadapannya.

"Ta-tapi, pak. Anak saya harus dirawat di rumah sakit, terlebih dia sudah kelas tiga, kelas yang akan menghadapi ujian kelulusan. Kenapa cuman anak saya yang dikeluarkan?"

Pak Beto sang kepala sekolah yang baru saja menyatakan keputusannya pun menoleh pada ayah dari si anak babak belur. "Keputusan saya sudah bulat. Saya tidak pernah mendidik murid saya untuk merendahkan orang lain. Mungkin luka fisik yang diterima anak bapak memang cukup parah, tapi luka batin yang diterima oleh Nak Maureen, terlebih Nak Maureen baru-baru ini kehilangan salah satu orang tuanya, ibunya. Jadi, saya kira yang lebih menerima kerugian di sini adalah pihak Nak Maureen. Untuk Nak Arman, saya tidak bisa mentolerir tindakan memalukan tersebut."

"Apa bapak punya bukti kalau anak saya memang berbuat seperti itu?!" sela si ibu. Namun, Pak Beto mengeluarkan dua buah kertas dari dalam jasnya.

Kertas pertama berisikan tulisan tangan dari Maureen. Gadis itu menuliskan seluruh kejadian dari awal hingga akhir, lengkap beserta apa yang diucapkan Arman kepadanya dan juga Jean saat itu. Sedangkan kertas kedua berisikan tanda tangan seluruh orang yang ada di sekitar tempat kejadian perkara, bisa dibilang mereka semua adalah saksi langsung kejadian tersebut. Total ada tiga puluh orang lebih yang menanda tangani, dan hal itu sudah seperti sebuah petisi yang memiliki nilai hukum yang kuat.

Ayah dan ibu dari Arman membaca keseluruhan isi kertas yang diberikan oleh Pak Beto kepada mereka.

Aldy bisa melihat ekspresi mereka berdua menunjukkan rasa ketidak puasan sama sekali.

Si ayah mengarahkan jari telunjuknya tepat ke arah Aldy. "Tapi kenyataan bahwa anak saya harus dirawat di rumah sakit, saya masih akan membawa masalah ini ke jalur hukum."

Heri yang mendengar hal itu tersenyum lebar. "Kalau memang itu mau anda, saya siap."

"Siapa kamu?!"

"Saya Heri Wijaya, ayah dari Rizaldy Pradipta."

Orang itu terdiam. Orang itu melihat ke arah Aldy dan Heri secara bergantian. Aldy bisa membaca ekspresi wajah yang susah payah disembunyikan orang itu.

Tunggu.

Apa orang itu ketakutan?

Memangnya kenapa dia harus takut seperti itu?

Bukankah sikapnya sebelumnya menunjukkan seolah ia tak takut apapun dan bersikeras membawa masalah ini ke jalur hukum?

Kini Aldy yang mengarahkan pandangannya pada Heri. Heri masih berada di sana, diam di posisinya berada dengan sunggingan senyuman yang biasa ia tunjukkan. Melihat hal itu, membuat Aldy memikirkan sesuatu yang sepertinya tak layak untuk dia pikirkan.

Apakah orang ini takut kepada Heri?

'Memangnya Heri ... bukan, tapi ayahku ... memangnya ayahku adalah orang yang harus ditakuti?'

Orang itu menarik bahu istrinya dan berjalan keluar dari ruang BK.

"Kenapa? Urusan kita belum selesai!" tolak si ibu, namun sang ayah terus menyeretnya pergi.

Selain guru BK, Aldy juga salah satu orang yang kebingungan dalam situasi ini.

Pak Beto, sang kepala sekolah menjabat tangan Heri dan tersenyum dengan sopan. Seakan ... berterima kasih?

Kenapa kepala sekolah malah menujukkan sikap penuh rasa terima kasih kepada Heri?

Heri pun kembali melihat ke arah Aldy. "Maaf ya nak, tapi kamu memang harus diskorsing selama seminggu. Papah gak bisa berbuat apa-apa mengenai hal itu."

Aldy masih diam.

Heri menyunggingkan senyuman sekali lagi dan berjalan keluar bersama Pak Beto. Dari arah langkah mereka, sepertinya mereka berdua akan menuju ruang kepala sekolah.

"Ka ... kamu b-boleh keluar." ucap guru BK yang tergagap setelah melihat kejadian yang tak terduga di depan matanya itu.

Aldy mengangguk mengiyakan dan beranjak dari kursinya, melangkahkan kakinya keluar dari ruang BK. Di ujung pengelihatan matanya, ia bisa melihat Heri dan Pak Beto masuk ke ruang kepala sekolah. Ia terus menatap pintu ruang kepala sekolah yang telah tertutup itu untuk beberapa saat, berusaha menerka apapun yang ingin ia terka di dalam benaknya yang penuh akan rasa penasaran itu.

"Apa Heri nyogok kepala sekolah sampe si gundul itu malah berterima kasih begitu? ... Seberapa besar dia dibayar?"

Aldy mengoceh sambil terus menatap pintu ruang kepala sekolah.

Namun, bel pulang sekolah berbunyi. Aldy pun memilih untuk mengabaikan rasa penasarannya itu dan berjalan langsung ke arah kelasnya untuk mengambil tas sekolahnya.

***

Di dalam ruang kepala sekolah, Beto menutup seluruh tirai yang membuat ruangan itu seolah terisolasi dari dunia luar.

Bahkan ia tak lupa mengunci pintu.

Setelah merasa semuanya telah terkendali, Beto pun duduk di hadapan Heri. Heri menatapnya dalam diam, namun Beto pun seakan baru saja tersadar akan sesuatu.

Beto bangkit dari tempat duduknya, melangkah ke samping dan langsung berlutut dengan satu kakinya, sambil menundukkan kepalanya serendah mungkin di hadapan Heri.

Heri mengangguk menerima penghormatan dari Beto tersebut. Dan kini Beto telah kembali ke tempat duduknya tadi.

"Jadi, anak itu yang bakal ditunjuk sebagai penerus organisasi?" tanya Beto yang sepertinya tak suka basa-basi.

Heri melonggarkan dasi yang ia kenakan dan membuka satu kancing kemeja teratasnya. Dengan ekspresi wajah kelelahan, ia menyandarkan punggungnya di kepala sofa yang ia duduki.

Heri mengembuskan napas panjang. "Seperti yang kamu tau, kondisi tubuhku semakin hari semakin buruk. Siapa sangka, aku, mafia yang dulu dijulukin dewa perang, sekarang malah keliatan kayak manusia lemah."

Beto berusaha mencerna kata-kata Heri.

Lelaki itu percaya, jika Heri sendiri yang mengatakannya, mungkin hal itu benar adanya. Namun yang lebih membuat Beto penasaran, adalah tentang Aldy, si anak yang dipilih secara langsung oleh Heri sebagai penerusnya.

Heri bisa membaca ekspresi wajah Beto. "Aku tahu apa yang kamu pikirkan. Setelah mengadopsi dia setahun belakangan ini, gak kehitung jumlahnya dia nunjukin hal-hal yang luar biasa. Kemampuannya aku bisa jamin. Yang jadi masalah sekarang adalah kemauannya."

"Kemauan ya ... hmmm ... aku pikir gak akan ada orang yang mau menapaki jalan yang gelap dan kelam seperti ini, selagi orang itu masih punya akal sehat."

Yang dimaksud Beto adalah, tidak akan ada orang normal yang mau meneruskan bisnis seperti yang sedang mereka lakukan saat ini.

"Tapi, aku udah punya rencana sendiri. Aku yakin, Aldy yang akan minta sendiri untuk meneruskan apa yang kumau."

"Caranya?"

Heri mengubah tatapannya menjadi sangat serius. "Menurut diagnosis dokter, paling lama umurku sekitar satu tahun, untuk kondisi terburuk mungkin tujuh sampai delapan bulan lagi. Jika waktuku memang sudah benar-benar tiba, aku bisa buat skenario di mana aku dibunuh oleh rival kita di depan mata Aldy langsung. Cara itu gak mungkin gagal."

Beto terdiam sejenak.

Namun sesaat kemudian, si kepala sekolah itu menundukkan kepalanya secara sopan kepada Heri. Heri tersenyum puas dengan apa yang telah ia pikirkan.

Untuk beberapa bulan kedepan, ia akan fokus untuk mengambil hati Aldy. Ia berencana memberikan Aldy kasih sayang orangtua yang selama ini tidak ia terima. Dengan begitu, jika tiba waktunya ia menjalankan rencananya, Aldy akan merasa terikat dengannya.

Dan rasa ingin balas dendam akan memenuhi hatinya.

Di situlah Heri akan mendapatkan penerus sempurna untuk dirinya.

***

SEMOGA KALIAN SUKA DENGAN CERITA INI. JANGAN LUPA VOTE DAN TINGGALKAN KOMENTAR :)

Next chapter