15 14. Pertemuan Pertama Dengan Maureen

Enam orang telah tumbang. Semuanya terkapar di lantai teratas bangunan tua itu. Seseorang yang berdiri tengah-tengah mereka adalah Aldy.

Rizaldy Pradipta, dengan lebam di sekujur tubuhnya, seragam yang sudah tak karuan dan bahkan sisa bercak darah dari musuh-musuhnya yang menempel di kepalan tangannya.

Meski tubuh Aldy dipenuhi luka, ia tetap berdiri tegap dan tatapan matanya masih saja tajam.

Tersisa lima orang.

Tiga orang di antara mereka adalah preman yang disewa oleh SMK Sentosa, sedangkan dua sisanya masing-masing adalah ketua geng SMK Sentosa dan juga ketua geng SMA 42.

Lawan yang paling berat selalu dihadapi di saat terakhir. Sangat klise.

Aldy melangkahkan kakinya, berniat melanjutkan pertempuran. Namun hal yang tidak terduga terjadi.

Jlebbb ...

Sebuah pisau lipat mendarat di perut Aldy, membuat darah segar mengalir keluar dari sana. Aldy menoleh. Orang terakhir yang ia tumbangkan masih belum pingsan. Aldy mencabut pisau lipat itu, mengabaikan rasa sakit yang ia derita dan berjongkok untuk menyamai kedudukannya dengan orang yang masih terbaring di lantai itu.

Dengan satu tangan ia menjambak rambut orang yang menikamnya secara diam-diam dari belakang itu. Satu tangannya yang bebas menggenggam pisau lipat dengan mata pisau menghadap ke bawah.

Tatapannya tertuju pada leher si orang yang menikamnya barusan. Dan saat Aldy hendak menancapkan pisau itu di bagian leher, bayangan tentang Heri dan Maureen terlintas di benaknya.

Aldy menggeleng. "Ga. Gue ga boleh bunuh orang."

Setelah bergumam sendiri, Aldy melepaskan pisau itu, membuangnya jauh-jauh dan memilih untuk menghantamkan wajah orang itu ke lantai sekeras mungkin.

Kini orang itu sudah benar-benar tak sadarkan diri. Aldy kembali berdiri, ekspresi wajahnya benar-benar tak bisa menyembunyikan rasa sakit yang ia rasakan. Hal itu membuat wajah musuh-musuhnya yang tadinya ragu untuk melanjutkan pertempuran ini menjadi lebih percaya diri.

Meskipun Aldy benar-benar menyerupai sesosok monster beringas saat sedang berkelahi, namun mereka kembali menyadari bahwa Aldy masihlah seorang manusia. Dan dengan kondisi seperti itu, tentu ia akan benar-benar kesulitan.

Satu lawan lima.

Dan Aldy terluka parah.

Ponsel Aldy bergetar. Sekilas, Aldy bisa melihat nama ayahnya, Heri tertera di layar. Ia tidak berpikir untuk mengangkat panggilan itu, mengingat dirinya masih berada di tengah-tengah pertempuran. Bisa dibilang, pertempuran yang ia lakukan kini telah mencapai puncaknya.

Namun setelah panggilan itu berakhir, Heri mengirimkan pesan singkat. Aldy hanya melihat pesan itu sebatas notifikasi. Dan kalimat pertama yang terlihat adalah; Ayah : Nak, kamu di mana? Ke rumah sakit sekarang, Maureen sudah ... .

Hanya sebatas itu.

Sepenggal pesan singkat yang belum dibaca sepenuhnya.

Aldy kembali memasukkan ponsel ke dalam saku celananya. Menatap balik kelima orang yang tersisa dan kembali menyunggingkan senyuman yang sangat lebar kepada mereka.

Dalam hatinya, ia ingin segera menyelesaikan pertempuran yang sangat melelahkan ini secepat mungkin. Karena ia ingin mengetahui kabar Maureen, adik yang sangat ia sayangi itu secepatnya.

Kelima orang itu masih bersiap-siap menyerang Aldy secara bersamaan. Namun, seperti yang biasa dilakukan oleh Aldy, dialah orang yang menerkam lawannya terlebih dahulu.

Dan pertempuran yang terlampau brutal pun kembali terjadi.

***

Drrrt ... Drrrt ... Drrrt ...

Dengan kondisi tubuh yang benar-benar terluka parah, Aldy berdiri di tengah-tengah sebelas orang yang sudah tak sadarkan diri dengan kondisi yang lebih parah dari Aldy.

Ya, Aldy berhasil memenangkan pertempuran itu.

Meskipun ia mengalami beberapa luka yang cukup parah. Ia sudah lama tak merasakan terluka sehebat ini semenjak ia bertarung dengan belasan penghuni penjara sekaligus beberapa petugas penjara sekaligus saat itu.

Ini adalah kedua kalinya Aldy merasakan luka separah ini.

Aldy pun mengangkat panggilan dari Heri.

"Halo Aldy, kamu di mana?"

"Di bangunan deket sekolah."

"Kenapa kamu ga angkat telpon? Kamu tawuran lagi?" tanya Heri, dengan nada sedikit terkejut karena sudah lama sekali sejak Heri mendengar Aldy ikut tawuran.

"Iya, Yah. Baru kali ini geng sekolahnya Aldy kalah, jadi Aldy harus ngurusin sendiri."

"Tapi Kamu gapapa kan?" Meskipun bukan anak kandung, namun Heri sudah menganggap Aldy yang notabene adalah anak adopsinya seperti anak kandungnya sendiri. Jadi wajar kalau dia merasa khawatir dengan Aldy, karena memang sudah lama Aldy melaporkan bahwa dirinya terlibat hal-hal yang berbahaya seperti tawuran itu.

"Gapapa kok, emang ada apa?"

"Adikmu, Dy."

"Maureen?" tanya Aldy penasaran. "Maureen kenapa?"

"Dia udah sadar. Sekarang dia lagi nyari suara siapa yang selama ini dia dengar selama dia koma. Dia nyari kamu, Dy. Kamu kesini sekarang ya, Nak."

Sebuah senyuman mengembang dari bibir Aldy. Ya, sebuah senyuman yang sangat langka terlukis di wajah seorang Rizaldy Pradipta, siswa tingkat akhir SMA Caius Ballad yang dijuluki sebagai Caius Ballad Untouchable-Men, by-stander dari geng sekolah gahar di antara sekolah-sekolah swasta lainnya.

Aldy pun kembali mengadah ke langit setelah memutuskan sambungan telepon.

"Reen, kayaknya lo bakal bisa lihat apa yang gua lihat sekarang."

Aldy baru saja ingin melangkahkan kakinya meninggalkan bangunan belum jadi yang dipenuhi oleh orang-orang pingsan pasca perkelahian brutal itu. Namun keringat dingin mengucur dari tubuhnya. Sepertinya ia terlalu banyak kehilangan darah.

Kepalanya merasa sangat pusing. Pandangannya semakin lama semakin buram dan ia tak memiliki kekuatan untuk berdiri.

Seorang yang Aldy kenal terlihat berlari ke arahnya.

"Aldy!" teriaknya sambil berlari ke arah Aldy.

Zico, si anak kelas satu. Ketua dari salah satu dari tiga geng terbesar di SMAS Caius Ballad yang kini sudah menjadi teman bagi Aldy, begitu juga Edwin si anak kelas tiga.

Tanpa sadar mereka berempat kini sudah menjadi sahabat. Aldy, Marsel, Edwin dan juga Zico.

Zico yang awalnya tak bisa membantu bertempur karena alasan urusan keluarga, entah mengapa berada di tempat Aldy berada sekarang.

Aldy jatuh berlutut, Zico pun sudah berjongkok dan menahan tubuh Aldy.

"Uhukkk ... " Aldy terbatuk sembari mengeluarkan darah segar. "Katanya lo ada urusan keluarga ... Uhuk."

"Gue kesini abis ditelpon Marsel. Dari tadi gue nyari lo di mana. Untungnya ada bocil yang bilang kalo ada orang tawuran di sini."

Aldy menyunggingkan senyuman. "Haha ... bangsat lo."

Aldy pun ambruk tak sadarkan diri.

***

Dengan perlahan Aldy membuka matanya. Ia mendapati dirinya berada di dalam sebuah mobil ambulan. Aldy melirik ke arah baju petugas medis, dan di lengan kiri bagian atas seragam petugas medis yang duduk di sebelah Zico itu terdapat logo rumah sakit tempat ia bekerja.

Aldy menyadari bahwa itu adalah rumah sakit tempat Maureen berada.

Mobil ambulan yang mereka tumpangi berhenti. Pintu belakang terbuka dari luar dan sudah ada seorang lagi petugas medis yang siap menerima Aldy untuk segera dibawa ke unit gawat darurat.

Aldy bangkit dan melepaskan infus yang tertanam di tangannya.

"Woi, mau ke mana lo?"

Aldy menyingkirkan tangan Zico yang berusaha menahannya. Ia terus berjalan menyusuri lorong. Dengan tubuh dipenuhi luka dan balutan perban kasar yang telah dirembesi oleh darah seperti itu, pasti Aldy menjadi pusat perhatian seluruh orang yang berada di rumah sakit.

Beberapa petugas rumah sakit berusaha menghentikan Aldy, namun mereka ditahan oleh Zico. "Biarin dulu. Paling dikit lagi dia tumbang."

Aldy terus melangkahkan kakinya, berusaha mengabaikan seluruh rasa sakit yang terasa di sekujur tubuhnya. Terutama bagian perut yang sempat tertikam oleh sebuat pisau lipat.

Hingga ia tiba di depan sebuah pintu.

Pintu di mana Heri, ayahnya dan juga Maureen, adiknya berada di balik pintu itu.

Tanpa basa-basi, Aldy membuka pintu itu.

Ceklek ...

Heri dan Maureen menoleh. Heri berdiri di samping Maureen, sementara Maureen duduk bersandar di kepala ranjangnya. Mereka semua terdiam. Begitu juga Aldy.

Kedua mata Aldy tertuju pada Maureen. Gadis yang selama setahun belakangan ini terbaring koma, kini mereka bisa saling bertatapan.

Dengan sisa tenaganya, Aldy menyunggingkan senyuman manis yang sangat tulus dari pintu masuk ke arah Maureen. "Akhirnya lo bangun juga."

Brukkk ...

Dan saat itu juga Aldy terjatuh ke lantai. Para petugas medis yang sedari tadi mengikuti langkah Aldy pun akhirnya membawa Aldy ke ruang gawat darurat. Zico tersenyum dan mengangguk sopan sekilas ke arah Heri. Setelah itu Zico mengikuti langkah petugas medis yang membawa Aldy hingga ke depan pintu ruang gawat darurat.

"Pah, suara itu. Lelaki tadi--"

"Iya nak. Dia kakakmu. Aldy." potong Heri cepat. Heri mengusap kepala Maureen dengan lembut. "Kamu gapapa kan papah tinggal bentar? Kayaknya kakakmu kenapa-napa."

Maureen mengangguk mengiyakan, membuat Heri tersenyum. Setelah mengecup kening Maureen, Heri berjalan pergi meninggalkan Maureen sendirian di kamarnya.

Maureen masih terdiam. Selama ia terbaring koma, hanya suara Aldy yang ia dengar hampir setiap saat. Aldy selalu menemaninya dan mengajaknya bicara walaupun Maureen tidak bisa membalasnya. Suara yang selalu menemani Maureen dalam kesendirian.

Suara yang bisa menenangkan hatinya hanya dengan mendengarnya saja.

Suara yang membuat hatinya merasa hangat.

Dan Maureen tidak menyangka, suara yang sangat lembut dan terdengar penuh kasih itu, berasal dari seseorang yang berpenampilan sangat menyeramkan, dengan bercak-bercak darah yang memenuhi seragam SMA-nya yang juga sudah tak karuan.

Maureen menggelengkan kepalanya pelan. "Kayaknya papah ngadopsi preman."

Di kehidupan sebelum ia terbaring koma, Maureen adalah gadis yang paling anti dengan yang namanya murid nakal. Meskipun memiliki sikap yang terlampau manja, namun di sekolah Maureen sangat menjauhi murid-murid sejenis Aldy.

Dan sekarang ia memiliki kakak yang merupakan berasal dari jenis murid yang selalu berusaha ia jauhi.

Namun setelah beberapa saat, Maureen malah tersenyum.

Entah mengapa, di balik tampilan Aldy yang lumayan menyeramkan dan mengintimidasi, tatapan mata dan juga senyuman manis yang diberikan oleh Aldy kepadanya sebelum lelaki itu tumbang dan dibawa ke ruang gawat darurat, kedua hal itu membuat hati Maureen sangat hangat hanya dengan memikirkannya saja.

Tatapan dan senyuman yang diberikan oleh Aldy terasa sangat tulus.

Dari caranya menatap Maureen, siapapun bisa melihatnya. Bahkan Maureen bisa melihat hal itu, bahwa Aldy benar-benar menyayangi Maureen.

"Tapi kenapa?" tanya Maureen dalam gumamannya sendiri. "Padahal kita bahkan gapernah ketemu sebelumnya. Ngobrol aja gapernah. Apa bener dia sesayang itu sama aku? Ga, ga mungkin. Tapi kenapa aku ngerasa nyaman? Engga. Mungkin cuman karena dia ganteng. Tapi kalo ganteng doang, banyak kok temenku yang ganteng dulu. Apa mungkin--"

"Lagi ngomong sama siapa?" tanya seorang dokter yang baru saja masuk ke ruangan Maureen diikuti seorang perawat di belakangnya.

Maureen menoleh ke arah dokter itu. "Engga kok, dok. Cuman ngomong sendiri."

"Gimana, ada perasaan pusing atau apapun?"

Maureen tersenyum sambil menggelengkan kepalanya membalas pertanyaan sang dokter.

"Baiklah kalau begitu, saya periksa dulu ya."

Maureen tetap sibuk dengan benaknya sendiri. Sibuk memikirkan arti tatapan dan senyuman yang diberikan oleh Aldy sebelumnya kepadanya. Dari kakaknya yang belum pernah ia temui sebelumnya.

Dari Aldy. Kakak yang belum pernah ia miliki sebelumnya.

avataravatar
Next chapter