14 13. Taktik Aldy

Aldy duduk di sebuah kursi sofa di dalam bangunan tua yang berada di belakang sekolahnya. Dengan perlahan, ia menghembuskan asap nikotin yang menenangkan setiap urat kepalanya yang berkedut dari saluran pernapasannya.

Lagu Lily dari Alan Walker terlintas dalam benaknya. Sembari mengepulkan asap kenikmatan itu ke udara, Aldy bersenandung kecil menyanyikan beberapa bait dari lagu itu yang kebetulan ia hafal.

"Lily was a little girl, afraid of the big-bad world. She grew up, within her castle wall ... "

Entah mengapa, ia kembali memikirkan Maureen. Tokoh Lily dalam lagu Alan Walker seakan memiliki nasib yang serupa dengan Maureen. Bedanya, Lilly terperangkap dalam kastil, sedangkan Maureen terperangkap dalam kesadarannya sendiri berkat koma yang masih dideritanya.

Aldy menyunggingkan sedikit senyuman dari bibirnya. "Maureen was a little girl, afraid of the big-bad world. She grew up, within her mind and soul ... "

Aldy mengganti beberapa lirik lagu itu sesuai dengan keinginannya. Menurutnya cukup berrima. "Follow everywhere I go, to the top of mountain and--"

Fantasi Aldy akan mengganti lirik lagu karya orang lain pun buyar saat ponselnya berdering. Dering ponsel yang memecah keheningan itupun kurang diterima baik oleh Aldy. Ia memeriksa layar ponselnya, dan terdapat nama Edwin di sana.

Aldy mengangkat panggilan dari Edwin.

"Gimana?"

Suara Edwin yang terbatuk terdengar cukup menyakitkan di telinga Aldy. "So-sorry Al ... Gue kalah."

"Oke." Jawab aldy singkat. Sepertinya Edwin gagal menangani SMK Sentosa yang menyewa preman untuk menyerang SMAS Caius Ballad, tempat di mana Aldy bersekolah sekarang. Dan tepat setelah Aldy menutup panggilan dari Edwin, panggilan lain masuk dan kali ini berasal dari Marsel.

Aldy mengangkatnya tanpa mengatakan apapun. Suara napas Marsel yang seakan terengah-engah sudah dapat membuat Aldy menduga apa yang akan dikatakan oleh sahabatnya itu. "Al ... Gue ... Gue kalah."

"Hm." balas Aldy yang lalu juga mengakhiri sambungan telpon dengan Marsel.

Kini Aldy terdiam. Perlahan membawa batang nikotin yang terapit di antara jari tengah dan jari telunjuknya mendekat ke bibir untuk menyesapnya. Sesapan asap kenikmatan itu bisa membuat Aldy tetap merasa tenang.

Ada dua masalah yang muncul sekaligus.

Satu, ia harus menghadapi SMK Sentosa yang menyewa preman untuk menyerang sekolahnya. Dan dua, ia juga harus berhadapan dengan SMA 42 yang gagal dihadapi oleh Marsel. Mungkin jika orang lain, akan memilih untuk mengakui kekalahan untuk kali ini dan akan membalasnya suatu saat dengan persiapan yang lebih matang.

Namun Aldy bukanlah orang lain. Aldy adalah Aldy, orang yang tidak akan pernah mengaku kalah selagi ia masih bisa bernapas dan bertarung. Walaupun nyawanya berada di sisa satu tarikan napas yang ia punya.

Aldy melempar batang rokoknya yang sudah hampir habis, menghembuskan sekali lagi asap nikotin melalui saluran pernapasannya ke udara dan berdiri dari sofanya.

Ia berjalan mengambil sebuah tongkat yang terbuat dari besi. Tepatnya, sebuah linggis yang berada tak jauh dari tempatnya berada dan berjalan keluar bangunan tua yang dipenuhi oleh coretan-coretan dari cat aerosol di dindingnya.

Menghadapi dua kekuatan sekaligus, entah apakah Aldy bisa memenangkan pertarungan ini seorang diri.

Tentunya menghadapi mereka semua sendirian adalah sesuatu yang mustahil.

Mungkin mustahil bagi Aldy dalam kondisi biasa.

Sambil berjalan kaki dan memegang sebuah linggis di tangan kanannya, Aldy menatap kosong ke depan. Dalam pikirannya, Aldy terus meminta maaf kepada semua orang yang telah peduli kepadanya.

Dalam benaknya, Aldy meminta maaf kepada Heri, seorang lelaki yang telah mengadopsinya dan juga kini telah menjadi ayah untuknya.

Dan Aldy juga meminta maaf kepada Maureen, adik perempuan yang sampai sekarang masih terbaring koma di rumah sakit.

Bahkan, Aldy meminta maaf untuk mendiang kedua orang tuanya.

Ia benar-benar meminta maaf.

Karena sekarang, Aldy melepaskan hasrat bertarung yang selama ini ia pendam. Hasrat bertarung yang sangat gelap dan benar-benar haus darah. Hasrat bertarung yang bahkan membuat petugas penjara yang dulu ditempatinya pun ketakutan kepadanya.

Aldy kembali membayangkan segala hal yang telah ia alami selama ia hidup. Seluruh dendam yang sudah tertanam di dalam hatinya, kini Aldy tak akan menahannya lagi.

Hanya untuk saat ini. Saat dimana seluruh usaha yang sudah ia lakukan demi menciptakan lingkungan sekolah yang aman untuk adiknya kelak dipertaruhkan dalam satu pertempuran ini.

Bisa dibilang, ini adalah pertempuran bunuh diri.

Dan membayangkan bahwa pertempuran ini adalah pertempuran bunuh diri, membuat Aldy tersenyum makin lebar.

Dan saat ini juga, Aldy sudah melihat SMK Sentosa bersama dengan preman-preman yang mereka sewa berdiri di ujung pengelihatan mata Aldy.

Aldy meneruskan langkah kakinya, berjalan menghampiri mereka. Dan saat Aldy sudah semakin dekat, mereka pun menyadari keberadaan Aldy.

Langkah Aldy terhenti. Bukan karena muncul keraguan di hatinya. Namun dari gang yang berada di sebelah kanan tempatnya berdiri, Aldy bisa melihat gerombolan murid SMA 42 yang telah mengalahkan Marsel pun berjalan menghampirinya.

Aldy terdiam di tengah-tengah, di mana SMK Sentosa lengkap dengan preman-preman yang mereka sewa, ditambah SMA 42 yang dikabarkan sebagai geng sekolah yang menguasai daerah regional mereka sendiri. Semuanya dengan perlahan mendekati Aldy.

Aldy terdiam.

Dalam kondisi yang sangat tersudut, senyuman di bibirnya semakin menjadi lebar.

***

"Mana anak buah lo?" tanya seorang murid SMA 42. Aldy tak menjawabnya.

Murid-murid SMK Sentosa memandang ke arah gerombolan murid SMA 42. Mereka menyadari, sepertinya geng sekolah SMA 42 juga ingin menyerang SMAS Caius Ballad tepat di hari di mana mereka juga ingin menyerang.

Mereka semua tersenyum. Sepertinya hari ini akan menjadi hari di mana SMAS Caius Ballad akan hancur.

Salah seorang murid SMA 42 berjalan mendekat ke arah Aldy. "Jadi lo ketuanya? Kenapa dateng sendirian? Mau cari mati?"

Jlebbbb ...

Tanpa aba-aba maupun peringatan sedikitpun, tak ada yang menyangka bahwa langkah pertama yang Aldy lakukan adalah menusukkan ujung linggis yang berada di genggaman tangan kanannya tepat ke arah paha kiri murid SMA 42 yang mendekatinya itu.

Dengan sangat brutal Aldy mencabut linggis itu, berbalik dan melemparnya ke arah gerombolan geng SMK Sentosa. Linggis yang dilempar Aldy tertanam di bahu kanan seorang preman yang mereka sewa untuk membantu menyerang SMAS Caius Ballad.

Tanpa mengatakan sepatah katapun semua orang yang berada di sana sudah mengerti apa maksud tindakan yang diambil oleh Aldy.

Aldy, sebagai satu-satunya perwakilan dari SMAS Caius Ballad ingin menghadapi mereka semua.

Sendirian.

"Anjing! Aaaaaa, sakit bangsat! Mama!!!" ronta si anak yang paha kirinya tak henti mengeluarkan darah berkat tancapan linggis yang diberikan oleh Aldy tadi. Ia berteriak sambil berlutut memegangi pahanya.

Duakkk ...

Aldy mendaratkan tendangan menyamping yang tepat mengenari kepala orang yang sedang menangis sambil berlutut di hadapannya. Seketika orang itu kehilangan kesadarannya. Setelah itu Aldy menatap tajam ke arah gerombolan SMK Sentosa dan SMA 42. Ia menyunggingkan senyuman, dan beberapa detik kemudian,

Aldy berbalik dan berlari secepat mungkin.

Semua orang membuka mata mereka lebar-lebar. "Woi jangan kabur lo kampret!"

Kini terhitung total tiga puluh enam orang sedang berusaha mengejar Aldy.

Kabur?

Tidak. Aldy tidak kabur. Tidak ada kata kabur dalam kamus seorang Rizaly Pradipta. Yang Aldy lakukan adalah memikirkan bagaimana bisa menumbangkan mereka semua satu persatu. Menghadapi mereka secara langsung tentu saja merupakan sebuah pilihan yang paling bodoh di antara semua pilihan bodoh yang tersedia.

Aldy berbelok dan masuk ke sebuah gang kecil. Gang yang benar-benar sempit. Berkat tata letak pemukiman yang lumayan padat, gang-gang kecil seperti ini akan sangat banyak ditemukan. Jika dilihat dari udara, akan terlihat seperti labirin. Banyak sekali gang sempit yang bercabang.

Beberapa orang yang mengejar Aldy dalam posisi terdekat pun terus mengikuti kemana Aldy berlari.

Mereka bisa melihat di ujung gang, Aldy berbelok ke arah kanan. Dan saat mereka berbelok juga, tanpa diduga sebuah tendangan keras mendarat di dada orang terdepan. Dia terjatuh dan membuat beberapa orang yang berlari di belakangnya tersandung. Dengan kondisi yang tak siap menerima tendangan, ditambah tubuhnya yang terinjak-injak oleh beberapa orang dari belakangnya, bisa dipastikan orang itu tak akan bisa lagi mengejar Aldy.

Dengan cepat Aldy melayangkan serangan pada tiga orang selanjutnya. Dalam waktu singkat mereka juga tumbang. "Kayaknya cukup segitu dulu." ucap Aldy bergumam.

Aldy pun kembali melanjutkan larinya. Dalam usaha pertama, ia berhasil menumbangkan empat orang.

Tidak terlalu buruk.

Dan berkat gang-gang sempit yang bercabang di pemukiman ini, mempermudah rencana Aldy untuk menumbangkan mereka satu persatu.

Hal itu terus berlanjut. Aldy terus saja mengejutkan orang-orang yang paling dekat dengannya di belokan gang sempit. Setiap belokan, Aldy bisa menumbangkan tiga sampai empat orang. Dan setelah enam kali percobaan, total dua puluh satu orang yang tumbang. Masih tersisa enam belas orang.

Percobaan Aldy gagal saat ia ingin melakukan hal yang serupa untuk ketujuh kalinya. Mereka bisa mengantisipasi serangan dadakan Aldy. Hal itu hampir membuat Aldy tertangkap.

"Kayaknya udah ga bisa pake cara itu. Mikir ... Mikir ... Oh iya."

Pandangan Aldy tertuju pada sebuah proyek gedung yang belum jadi. Sepertinya itu adalah gedung kantor camat yang baru selesai dibangung pondasinya saja. Bangunan itu merupakan tempat yang sempurna untuk melanjutkan pertempuran.

Tanpa pikir panjang Aldy memanjat pagar pembatas bangunan itu dan berlari masuk ke dalam. Tentu saja, sisa enam belas orang yang mengejarnya juga memanjat pagar itu dan mengikuti langkah Aldy.

Seseorang berlari tepat di belakang Aldy. Bukan karena Aldy yang mulai kehabisan tenaga untuk berlari, tapi ia sengaja melambatkan langkahnya. Berkat bangunan yang belum jadi itu, banyak sekali material bangunan yang bisa dipakai Aldy untuk bertarung.

Contohnya batu bata yang baru saja ia ambil.

Saat orang itu berhasil meraih kerah leher Aldy dari belakang, Aldy langsung berbalik, melompat dan menghantamkan batu bata itu tepat di dahi orang yang menarik kerah seragamnya.

Duakkk ... Batu bata itu terbelah seketika menjadi beberapa bagian, disusul oleh aliran darah yang mengucur keluar dari dahi orang yang dihantamnya.

Orang itu terbaring di tanah secara instan.

Aldy mengambil potongan batu bata itu kembali, ia memilih yang terbesar di antara potongan lainnya. Satu orang lagi mendekat. Aldy mendaratkan tendangan di perut orang itu, membuatnya tertunduk. Dan saat itu juga, Aldy menghantamkan potongan batu bata ke kepala orang itu.

Dua orang tumbang, tersisa empat belas orang.

Aldy tersenyum dan berbalik, meneruskan larinya.

Bangunan yang memiliki total tiga lantai itu benar-benar menguntungkan Aldy. Di lantai pertama, ia berhasil menumbangkan dua orang. Di lantai kedua ia berhasil menumbangkan lima orang. Tiga orang terkapar dan dua orang terlempar dari lantai dua ke luar bangunan.

Sisa orang yang mengejarnya masih terlalu banyak, yaitu sebelas orang. Namun jika dibandingkan dengan jumlah awal tiga puluh enam orang, ini sudah lebih sedikit dari sepertiganya.

Aldy pun menghentikan langkahnya. Kini ia berdiri tepat di ujung lantai paling atas dari bangunan yang belum jadi itu. Ia berbalik dan mendapati sisa sebelas orang yang mengejarnya berusaha mengambil napas karena terengah-engah.

Mengejar seorang Aldy memang hal yang sangat melelahkan.

Ekspresi mereka terlihat senang, karena dari apa yang bisa mereka lihat, adalah Aldy yang sudah terpojok dan tidak bisa lari kemana-mana lagi.

Namun ekspresi senang itu luntur seketika melihat balasan ekspresi yang Aldy tunjukkan.

Aldy, orang yang harusnya berada di posisi terpojok, malah menunjukkan ekspresi seolah-olah bukan sebelas orang itu yang memojokkannya, tapi dia yang memojokkan sebelas orang itu.

Aldy tersenyum lebar, dan tatapan matanya terlihat sangat tajam.

Hal itu menandakan bahwa, pertempuran yang sesungguhnya baru akan terjadi.

avataravatar
Next chapter