webnovel

Awal Permainan Bunga Merah

Empat orang siswa putin abu-abu berkumpul di kelas yang sudah lama tidak digunakan. Meja, kursi, yang terbuat dari kayu sudah rusak berbaris di pojokan ditata tidak rapi. Bau ruangan yang lembab bercampur dengan debu dan ada genangan air di lantai dari atap yang bocor. Di luar sana siang hari tapi di sini cahaya seolah enggan masuk, jadilah ruangan terasa kelam. Tapi justru karena itu ruangan ini sangat cocok digunakan untuk ritual Qiana dan teman-temannya. Disaat semua siswa lain menikmati akhir semester dengan berbagai lomba yang diadakan, Qiana dan teman-temannya malah mempersiapkan ritual pemanggilan setan.

"Lo, yakin main disini?" tanya Pelita sambil mengerutkan kening mengedarkan pandangan memutari ruangan. "Ko gue 'worried' ya." Baru saja masuk Pelita sudah merasakan ruangan ini terasa tidak nyaman.

"Nggak mungkin juga kita main di kelas?" tutur Qiana. Menarik meja usang yang penuh dengan coretan tidak jelas, bahkan pinggiran mejanya sudah patah juga terdapat jejak rayap. Suara tarikan meja yang bergesek dengan lantai seakan membangunkan penghuni lain, sayup-sayup terdengar binatang melata berlari.

"Apaan itudah? Tikus," ujar Pelita lagi.

"Gimana Cara mainnya, Qin?" tanya Vanesa. Melihat Qiana meletakan satu lembar kertas. Meninggalkan Pelita yang masih mengerutkan pundaknya.

"Ikutin gue! Tapi jangan lepas tangan kalian dari koin ini, ngerti!"

Semua mengangguk, mengerti. Qiana mulai mempersiapkan kertas dan uang logam yang digunakan.

Qiana, Pelita, Vanesa, Veederica. Meletakan masing-masing telunjuk di atas koin lama seratus rupiah tertera tahun pembuatannya pada tahan 1978 silam. Qiana sendiri mendapatkan uang logam itu dari orang yang memperkenalkan permainan memanggil roh Ini. Dulu ia sempat berpikir ini hanya akal-akalan Suri temannya. Ternyata saat Suri tidak ada dan roh dipanggil, nyatanya uang logam itu memang bergerak di bawah telunjuknya. Awalnya terasa aneh namun kini sudah terbiasa Qiana bermainkan bersama temannya dulu.

Suri adalah anak seorang pendatang yang kebetulan menyewa rumah di samping Qiana dulu. Ia datang ke kota ini untuk berobat. Katanya Suri mengidap penyakit yang belum ditemukan penyebabnya ia bisa sewaktu-waktu meraung-raung kesakitan yang tidak jelas asalnya dari mana. Kebetulan di kampung Qiana ada orang pintar, dulu. Berbulan-bulan Suri di sana sampai akhirnya ia sembuh lalu kembali ke kampung halamannya, persahabatan mereka pun sampai di situ. Lagi pula Qiana pun meneruskan pendidikan di kota menjadi anak kos.

Jailangkung jailangse di sini ada pesta kecil-kecilan datang tak dijemput pulang tak diantar.

Jailangkung jailangse di sini ada pesta kecil-kecilan datang tak dijemput pulang tak diantar.

Jailangkung jailangse di sini ada pesta kecil-kecilan datang tak dijemput pulang tak diantar.

Mereka memulai permainan. Satu kali mantra diucapkan Qiana bertanya.

"Jailangkung apa kamu sudah hadir? "

Tidak ada pergerakan koin masih di tempat kosong, yang artinya roh belum hadir.

Mantra kembali mereka ucapkan untuk memanggil. Jailangkung jailangse di sini ada pesta kecil-kecilan datang tak dijemput pulang tak diantar.

Jailangkung jailangse di sini ada pesta kecil-kecilan datang tak dijemput pulang tak diantar.

Jailangkung jailangse di sini ada pesta kecil-kecilan datang tak dijemput pulang tak diantar.

Qiana kembali bertanya. "Jailangkung apa kamu sudah hadir? " Koin itu bergeser dari lingkaran kosong menuju lingkaran yang berisi kata.

"Ya."

Napas keempatnya seakan terhenti Jantung mereka berpacu. Pelita, Vanesa, Veederica. Bersamaan menoleh melihat Qiana. Seakan bertanya 'Ini beneran?

Suasana seketika sunyi.

Qiana sangat mengerti apa yang ada di kepala mereka sama dengan pertanyaannya dulu pada Suri. Qiana memejamkan matanya sesaat 'Ikuti permainan!'

"Siapa nama kamu? " tanya Qiana lagi.

Koin itu kembali bergerak di bawah telunjuknya menuju huruf-huruf yang tertera di kertas, satu persatu sampai membentuk sebuah nama "Bunga" Koin itu belum selesai ia terus bergerak menuju huruf. "M".

"Bunga merah," ulang Qian. "Kenapa kamu mati?"

Uang logam itu kembali berputar menunjuk satu demi satu huruf.

"Bakar!" Qiana makin heran baru kali ini ia memanggil roh yang jawabannya tidak sesuai dengan pertanyaan yang ditanyakan.

"Kamu mati karena terbakar? Ada kebakaran?" Uang logam kembali hendak berputar, lalu.

"Stop! Lo kalo nanya yang bermanfaat kenapa sih! Bunga siapa yang juara kelas? Di kelas gue?" tanya Veederica, ia hanya ingin menunjukan jika ia tidak terkalahkan karena pada dasarnya Veederica tahu ia lah sang juara.

Koin itu kembali berputar mencari huruf, sampai membentuk nama.

"Veederica."

Veederica tersenyum bangga, melihat semua temannya, ia memang pintar juga cantik. Jangan lupakan seberapa orang tuanya kaya.

"Bunga. Dewa punya cewek gak?" Veederica kembali bertanya makin penasaran dan juga semakin menarik, jika kita bisa mengetahui segala hal dengan permainan roh ini.

"Tidak." Kata itu kembali membuat Veederica melebarkan senyuman antusias. Veederica bersorak dalam hati cowok yang ditaksir sejak lama ternyata memang tidak punya kekasih. Tapi kenapa Dewa begitu dingin pada gadis?

"Bunga. Dewa suka cewek kaya apa sih?" tanyanya lagi.

Koin itu kembali bergerak.

"Yang baik." kenapa jawaban koin itu terkesan aneh dan memihak.

"Gantian gue yang nanya, Vee." Pelita unjuk suara dibanding pertanyaan soal laki-laki lebih baik pertanyaan yang bermanfaat.

"Rese deh loh... Gue belum selesai nanya, pengen tau tentang Dewa lebih banyak." Veederica mulai emosi pada Pelita, derajatnya lebih tinggi dari Pelita tidak sepantasnya parasit di grup ini menyela pertanyaan pentingnya soal Dewa. Wajah Veederica mulai tidak bersahabat.

"Bunga. Dimana ibu aku sekarang? " Pelita tidak gentar dengan ocehan Veederica ia memang ingin bertanya soal ibunya, pasalnya belum juga ada kabar.

Uang koin itu kembali berputar mencari Satu demi satu huruf sampai membentuk kata.

"WC."

Pelita dan Qiana saling beradu pandang.

Ibu dari Pelita sudah lama pergi ke kota lain bekerja menjadi asisten rumah tangga dan beberapa bulan ini tidak ada kabar dari beliau. Pelita sudah mencoba mencari ke tempat ibunya bekerja tapi kata pemilik rumah ibunya sudah lama berhenti.

"Woyyyyy..... Lagi pada ngapain lo? Wah... Pada main apa lo semua? Alah.. Boong ini, tangan lo kan yang gerak?"

Empat anak laki-laki masuk mengagetkan Qiana dan yang lainnya. Dengan suara berisik serta memukul-mukul meja keempatnya tidak percaya dan terus saja berisik.

"Loh semua bisa pada diem gak sih!" Jengkel Qiana tapi tidak di hiraukan yang lain, para anak Laki-laki itu semakin banyak yang datang, melihat kelas yang tadinya sunyi seketika jadi gaduh.

Koin di tangan Qiana berputar, terus saja berputar melingkar koin itu tidak mau berhenti ke tempatnya. Qiana kebingungan apa yang harus dilakukan, siswa lain terus saja berdatangan mengelilingi mereka sampai harus menarik meja untuk berdiri melihat Qiana dan yang lainnya.