1 BAB 1 Pertemuan Pertama Setelah Tragedi Penolakan

LIMA menit sudah Clafita berada di dalam ruangan Adam. Akan tetapi, Clafita masih tidak dipersilakan Adam untuk duduk. Malah diminta Adam untuk tetap berdiri dengan sekalian menjaga berjarak. Parahnya, Adam sudah merasa cukup dengan memanfaatkan isyarat tangan untuk membuat Clafita tidak bergerak.

Di dalam batin, Adam langsung terdorong untuk bertanya-tanya terkait kedatangan Clafita, "Mungkinkah aku sedang berhalusinasi?"

Masih nyata di dalam ingatan. Pada waktu duduk di bangku kelas 3 SMA, Adam tergabung ke dalam suatu tim lomba cerdas cermat empat pilar bersama Clafita. Adalah akar sehingga Adam bisa terpikat dengan kepintaran, kebaikan, dan kecantikan Clafita. Akibat tidak kuasa untuk menahan rasa suka kepada Clafita, Adam sampai bertindak nekat dengan menyatakan cintanya.

Apakah berhasil? Tidak. Adam malah berujung dipermalukan. Ketika menolak Adam, Clafita terbilang sadis karena memilih untuk menggunakan kata-kata merendahkan hingga membuat rasa suka Adam langsung berganti benci. Kini, Adam baru bertatap muka Clafita setelah delapan tahun berlalu terhitung sejak hari Adam ditolak Clafita dinobatkan sebagai tragedi.

"Aku pikir, kamu sedang salah tempat."

Jelas. Di akhir kalimat barusan, Adam mendapatkan keleluasaan untuk menyelipkan tawa tidak percaya.

"Tidak, Dam. Aku datang ke sini memang untuk menemuimu."

Maksud Clafita berucap demikian adalah berusaha mengubah suasana hati Adam sekarang. Akan merebut empati Adam dengan disokong menggunakan senyuman terbaiknya.

"Aku memerlukan bantuanmu."

Meski udara mendadak berubah semakin dingin, Clafita masih memiliki cukup energi untuk melengkungkan bibirnya. Agar Adam tertarik untuk sedikit melunakkan kepadanya.

Kenapa harus? Karena Clafita sedang menaruh harapan besar kepada Adam. Di usia 27 tahun, Adam Lee sudah menuai kesuksesan sebagai seorang founder dan producer dari rumah produksi bernama LA Pictures. Alasan mengapa Clafita terpaksa menghadap kakak kelasnya ketika SMA tersebut untuk mengemis pekerjaan.

Awalnya, Clafita adalah sosok aktris terkenal dengan bayaran tinggi. Akan tetapi, Clafita habis terkena musibah berat hingga terus menderita kesusahan untuk bisa tetap eksis. Pada tahun keenam menjalani hidup sebagai seorang public figur, kariernya malah merosot drastis. Yang menjadi sebabnya adalah citranya sekarang. Jika tidak rusak setelah sempat tersandung kasus prostitusi, maka Clafita tidak akan sampai kehilangan sebutan 'artis berkualitas' secara tragis.

"Akibat kasusku kemarin, aku terus kesulitan untuk mendapatkan proyek. Di sisi lain, aku sedang mengalami krisis finansial," ucap Clafita lagi.

Adam menarik salah satu sudut bibirnya seraya mendengus tipis. Keberadaan Clafita sudah cukup membuat Adam kerumitan untuk membedakan antara realita dengan imajinasi. Lalu, sekarang malah ditambah dengan kondisi dimana Clafita sedang curhat kepadanya?

"Baiklah."

Menarik napas, Adam langsung menukar karbon dioksida di dalam paru-parunya dengan oksigen. "Aku sudah mengerti, Claf," katanya sempat manggut-manggut dengan kedua kelopak mata terkatup.

Menatap Clafita dengan manik mata sampai menukik tinggi, Adam seperti tengah menghakimi. Lalu, bagaimana dengan reaksi Clafita? Masih asyik mempertontonkan senyuman terbaiknya.

"Pada intinya, kamu bermaksud untuk mengemis pekerjaan kepadaku, bukan?" ucap Adam, seakan-akan memang sudah merencanakan untuk memenggal kalimatnya dengan serapi mungkin.

Yang berperan sebagai modal untuk menanggapi Adam masih berupa senyuman. Meski sudah berusaha untuk bersikap sealami mungkin, fakta bahwa Clafita tidak menyertakan hatinya tetap tampak kentara.

"Iya, Dam. Please," ucap Clafita. Masih setia dengan senyuman tidak bernyawanya. Di sini, kejelian Adam seolah-olah tidak dianggap sama sekali. Atau, Clafita memang sengaja membuta?

"Aku sudah tidak tahu harus meminta bantuan kepada siapa lagi."

"Meski delapan tahun terakhir hubungan kita tidak terlalu bagus, bukankah kita pernah berteman baik?"

Adam terkekeh. Apakah seorang Clafita Ernesta benar-benar sedang mengemis kepada Adam? Tapi, mengapa Clafita malah tidak kepikiran untuk melepaskan topengnya? Masih akan mengabadikan kesan tangguh? Masa Clafita tidak bisa menyenangkan Adam dengan menangis sebentar saja?

"Adakah alasan untukku mengulurkan tanganku?"

Adam menyepelekan masalah Clafita. Toh, memang tidak memiliki keterkaitan dengannya. "Aku sudah berubah, Claf. Bisa dibilang, sekarang aku sangat perhitungan."

Yang betul, Adam teramat malas untuk terlalu baik apalagi kalau sampai berujung dimanfaatkan. "Jadi, ...."

Mendadak, Adam terlintas suatu gagasan licik. Akan mempermainkan Clafita. "Lebih baik, kamu segera menyerah karena aku tidak akan pernah bersedia untuk menolongmu," ucap Adam dengan kedua tangan ditekuk dan bagian siku ditumpukan di atas meja, "kecuali kalau aku bisa mendapatkan imbalan menarik darimu."

"Benarkah?"

Wajah Clafita langsung berseri-seri. "Aku bisa melakukan apa pun, Dam. Asalkan kamu dapat menyelamatkan karirku," tuturnya dengan disambung senyuman semringah.

Memang melegakan. Meski sempat tercetus keinginan untuk melangkah lebar ke depan untuk meraih kedua tangan Adam dan mengucapkan terima kasih, Clafita harus mengubur keinginan tersebut. Yang ditakutkan olehnya, bagaimana kalau Adam malah tidak suka dengan responsnya dan berubah pikiran?

Menatap mesum—tetapi, sebatas dikarang—ke arah Clafita, Adam sudah akan berkoar-koar mengenai karakter pamrihnya. "Jika aku memintamu untuk menghangatkan tempat tidurku, bagaimana?"

Andai Clafita dapat mengendus tanda-tanda bahwa Adam hanya sekadar membercandainya dengan maksud untuk merendahkannya, mungkin Clafita tidak akan sampai bertindak dramatis. Yaitu seperti terlambat memutar akalnya selama ekspresi tertegun sedang merajai wajahnya. "Apa?"

Melihat betapa konyol reaksi Clafita sekarang, Adam mengembuskan napas dengan dipadukan dengusan tawa. Mungkinkah Clafita sedang berlagak tercengang? Yang mana, harusnya Clafita sudah terbiasa dengan kalimat tersebut. "Ayolah, Claf. Aku yakin sekali, kamu sudah mendengar kalimatku dengan sangat jelas," ucap Adam.

"Aku bukan wanita seperti itu. Aku—"

Adam segera berdesis untuk memotong ucapan Clafita. Alhasil, kesempatan untuk meluruskan kekeliruan tidak dapat diperoleh Clafita. "Yang harusnya khawatir adalah aku. Apakah kamu layak, Clafita?"

Perkataan Adam belum sempat disahut Clafita. Akan tetapi, Adam merasa optimis sekali untuk menilai sendiri.

"Tidak," kata Adam dengan mimik arogan dan kedua lengan beralih direbahkan di atas meja. Lain dengan Adam, Clafita masih belum mengatur tanggapan. Mendadak, Clafita malah sekalian kehilangan kemampuan berbicara akibat terlalu tersentak dengan watak Adam sekarang.

"Ah. Ralat."

Mumpung lidah Clafita masih tersendat, Adam tetap berupaya untuk menguasai ritme dari obrolan mereka. Agar sifat congaknya semakin menggelora hingga mampu membuat kedua telinga wanita tersebut sampai kepanasan. "Aku tidak boleh merasa lebih unggul darimu. Memangnya, siapa aku hingga bisa berani untuk berhubungan dekat dengan manusia berkelas sepertimu?"

Telinga Clafita tengah berdengung. Dia tidak menyangka kalau Adam akan bersikap begini. Melalui sindiran halus, ternyata Adam bisa menampar martabatnya dengan begitu elegan.

"Aku benar-benar heran. Mengapa wanita semacam dirimu bisa dihargai sampai tujuh puluh juta rupiah untuk sekali kencan," kata Adam dan lagi-lagi seraya memandang rendah Clafita.

Mencemooh dengan membabi-buta, Adam sudah menyebabkan hawa hangat merambati kedua bola mata Clafita. Lalu, Clafita sampai bereaksi secara totalitas dengan mengepalkan kedua tangannya di samping badannya.

"Adam."

Akan menggertak Adam, Clafita sudah berniat melangkah untuk menghampiri Adam. Laki-laki itu harus ditegurnya supaya tidak semakin bertingkah antagonis. Masalahnya, Clafita sudah keburu dihentikan Adam ketika baru mendapatkan satu setengah langkah.

"Aku tidak mengizinkanmu untuk mendekat, Clafita!"

Mengingat Adam sampai meninggikan suara, Clafita secara tidak langsung memang disuruh untuk menyerah terhadap rencana semula Mengatur napas, Clafita memutuskan untuk berserah karena tidak bisa memaksa Adam untuk memahaminya. Akan berusaha ikhlas dengan nasib malangnya.

"Maaf."

Clafita berkata pelan dengan kepala sempat manggut-manggut kecil. Masih belum tandas, memperoleh ancang-ancang dengan cara bernapas sudah dilakukan olehnya. "Aku sadar kalau aku sudah bertindak melampaui batas dan aku tidak akan memaksamu untuk berbelas kasihan kepadaku lagi," kata Clafita, sebagai sambungan untuk ucapan sebelumnya.

"Permisi."

Akhirnya, Clafita langsung berpamitan kepada Adam sebelum berlalu keluar dari ruangan seraya menahan kegetiran di balik tulang rusuknya. Ketika semesta sudah mengampanyekan kode untuk meninggalkan Adam, Clafita bisa berbuat bagaimana lagi selain mengindahkan?

Lain dengan Clafita, Adam membuang napas dengan diselimuti kekesalan serta punggung tahu-tahu sudah dipepetkan ke sandaran kursi. Agar bisa nyaman selama mencoba untuk menetralkan emosinya selama memejamkam mata dengan sebelah tangan terangkat untuk memberikan tekanan terhadap kedua pangkal alisnya.

Alih-alih mendapatkan ketenangan, Adam malah disambut dengan sesuatu bernama kepelikan batin. "Mungkinkah aku sedang bermimpi? Aku benar-benar tidak percaya."

Tiap susunan kalimat berunsur tanya tersebut terus membuat Adam bergelut dengan benaknya. Mengundang keresahan. Menyiksa kalbu. Mengingatkan Adam akan cedera lamanya.

"Apakah kamu sudah lupa, Claf? Dulu, kamu pernah menginjak-injak harga diriku dan menghancurkan mentalku dengan mempermalukanku di hadapan seluruh teman satu kelasmu," ucap Adam di dalam hati.

Yang dilakukan Adam sekarang mirip dengan tindakan barbar untuk memprotes masa lalunya sebagai suatu bentuk anugerah tersadis. Yaitu tentang mengapa Adam bisa menambatkan hatinya kepada Clafita.

"Jika kamu berani untuk merangkak dari sini ke kelasku, aku tidak akan ragu-ragu untuk menjawab perasaanmu di depan teman-temanku."

Ketika terngiang dengan kalimat bermakna ambigu dari bibir Clafita setelah Adam selesai mengungkapkan gejolak cintanya, Adam tanpa sadar sudah mengernyitkan keningnya. Masalahnya, Adam masih diburu dengan barisan kalimat dari masa delapan tahun silam. Yang mana, mereka sudah selayaknya kepingan puzzle, menyeruak hingga membentuk satu kesatuan utuh.

"Maaf, kalau aku membuatku sedikit bingung. Tapi, sebelum kita berhasil mendapatkan sesuatu, bukankah memang selalu memerlukan usaha terlebih dahulu?"

"Aku sangat suka dengan tipikal laki-laki pemberani loh, Kak."

Begitulah. Yang dilafalkan Clafita kepada Adam sebelum meninggalkan perpustakaan untuk menuju kelasnya. Parahnya, Clafita sempat bersusah payah untuk memegang salah bahu Adam dan bersikap seolah-olah akan menerima Adam. Lalu, bagaimana akhirnya?

Alangkah bodohnya. Adam malah memuaskan Clafita dengan teperdaya. Mengikuti kemauan Clafita dengan harapan diterima. Di dalam kelas Clafita, Adam harus berakhir dengan ditolak mentah-mentah. Atas dasar untaian kalimat kejam dari mulut Clafita, Adam sampai enggan untuk berdekatan—mungkin, bisa disebut trauma—dengan makhluk bernama wanita. Karena Clafita, Adam sering dijadikan bahan bulan-bulanan. Yang sempat didengarnya dahulu adalah tutur kata seperti:

"Kak Adam tuh kalau sudah halu memang suka kebablasan. Apakah Kak Adam tidak memiliki cermin untuk mengaca, ya? Yang namanya seorang princess mana mungkin bersanding dengan seekor itik buruk rupa."

"Menurutku, Clafita malah lebih cocok kalau berpacaran dengan kapten tim basket di sekolah kita."

Pada masa-masa SMA-nya, Adam terbiasa berpenampilan culun dan diperparah dengan keharusan untuk memakai kacamata berlensa tebal. Kini, Adam sudah tidak membutuhkan kacamata tersebut karena sudah melakoni operasi lasik untuk mengatasi mata minusnya. Di samping dinilai memiliki tampilan buruk, bisa dibilang Adam tidak cukup pandai bergaul karena lebih suka belajar. Yang mana, kemudian hatinya malah meleleh berkat keramahan Clafita. Merasa nyaman karena Clafita sering mengajak berbicara duluan.

Tapi, bukankah nasib Adam teramat mengenaskan mengingat semua usahanya malah berujung nestapa? Jika kehidupan Adam tidak dijungkirbalikan dunia dengan sukarela, barangkali Adam tidak akan sampai mengalami krisis kepercayaan seperti sekarang. Yah. Begitulah. Memang benar bahwa Adam sudah salah besar karena sempat berpikir bahwa Clafita akan mewarnai tahun terakhir masa SMA-nya dengan kebahagiaan.

Membatin dengan dipenuhi lautan emosi sampai dilakukan Adam. "Apakah karena mentang-mentang kamu cantik, kamu bisa merasa memiliki privilege untuk mencari bantuan dengan seenaknya setiap kali kamu sedang memiliki masalah?"

Oh, Tuhan. Misalkan Adam mengaku mangkel dengan tingkah Clafita, salahkah?

Jika mau, Adam bisa membuat Clafita berlulut sehingga kesakitan Adam terdahulu dapat sedikit ditebus. Masalahnya, bukankah Adam sejak awal memang tidak berminat untuk meladeni Clafita? Akan membiarkan saja. Yaitu dengan menganggap Clafita layaknya embusan angin singkat.

"Ah. Sial."

Di dalam kesenyapan, Adam habis mengumpat tanpa dilisankan. Alasannya? Akibat melihat wajah Clafita, Adam tiba-tiba kehilangan mood untuk bekerja. Di sini, Adam sedang dilema. Kenapa Adam tidak kepikiran untuk memanfaatkan kelemahan Clafita sekarang? Kenapa Adam tidak terlintas gagasan untuk sedikit bersikap egois dengan membalas dendam?

Ah. Adam benar-benar merasa kalut. Meski baru berpikir sebentar, entah mengapa segala sesuatunya terasa begitu melelahkan dan memuakkan. Di dalam lubuk hatinya, Adam tidak dapat memungkiri bahwa keinginan untuk memberikan perhitungan kepada Clafita sudah bertumbuh dengan subur. Jika sungguh direalisasikan, bagaimana?

***

avataravatar