webnovel

Pengantin Sang Jenderal

Apa kau percaya dunia paralel? Aku percaya, karena aku berasal dari dunia yang berbeda. Sena adalah seorang penyihir yang berasal dari dunia Ereneiss, sebuah dunia yang di huni oleh 4 ras. Manusia, Vampir, Elf dan ras terkuat yaitu penyihir. Sena bukanlah penyihir biasa, tapi dia adalah jenderal yang tak terkalahkan. Hanya karena pengkhianatan yang dilakukan oleh sahabatnya dari ras manusialah yang membuat tubuh Sena di Ereneiss mati dan jiwanya berpindah. Dan kini tiba-tiba dua orang pria muncul di depannya, Chriss sang idol dan manajernya. Mereka berdua ternyata adalah utusan yang dikirim untuk mencari jiwa Sena.

Riricha10 · Fantasy
Not enough ratings
7 Chs

Dia Kembali..

"Joana,"

"Dimana Joana?."

Tanyaku, menatap tajam Hans dan Chrissin. Bukan tanpa alasan aku mencurigai mereka berdua.

Di antara semua ras, manusia adalah ras yang paling para penyihir benci. Begitu pula sebaliknya.

Kebencian itu bermula sejak beribu tahun lalu. Menurut cerita yang diturunkan dari para tetua kepada anak-anaknya, dahulu, ras penyihir adalah ras yang sangat langka.

Hanya ada beberapa saja, bahkan tak sebanding dengan populasi manusia. Langkanya jumlah para penyihir diakibatkan oleh ulah manusia yang selalu memburu mereka.

Alasannya adalah, menurut legenda yang beredar di kalangan manusia, membunuh penyihir dapat membawa kemakmuran bagi sebuah keluarga, bahkan sebuah kerajaan.

Oleh sebab itulah manusia memburu para penyihir secara besar-besaran. Ras penyihir yang dahulu lebih suka menyendiri daripada berkoloni terpaksa mundur, bersembunyi demi keselamatan mereka.

Tahu apa yang paling menyedihkan?.

Bahkan, para manusia itu membunuh sesamanya, menuduh sesamanya sebagai penyihir. Miris, kan?. Tentu saja, oleh sebab itulah, kebencian kepada manusia, sudah mendarah daging di dalam diri para penyihir.

"Seharusnya Joana ada di sini. Aku sudah melindunginya dengan seluruh mana yang aku punya. Jadi mustahil tubuh Joana tertinggal di portal."

Lanjutku.

Chrissin dan Hans hanya menundukkan kepalanya, sama sekali tak menjawab asumsi liar diriku. Membuat amarahku semakin menjadi-jadi.

"Jawablah, Hans, Chrissin!,"

"Aku penasaran, sejak kapan para prajurit seperti kalian berani bertindak tak sopan begini kepada keluarga Tropika. Apa kalian sedang merendahkan kemampuanku hanya karena aku sudah lama berada di alam lain?."

Tanyaku, menggemeretakkan gigi menahan amarah.

Chrissin dan Hans seketika menyatukan dahinya dengan tanah.

"Maaf yang mulia, kami tak bermaksud menyinggung yang mulia."

Ucap Chrissin menyesal.

"Kalau memang begitu, jawab pertanyaanku. Dimana Joana?."

Aku mengulangi pertanyaanku lagi.

"Nona itu,"

"Saya rasa tersesat."

Ucap Hans.

Aku mengerutkan alisku dalam. Kemungkinan apa yang dikatakan Hans adalah hal yang memungkinkan, mengingat gerbang teleportasi penyihir adalah gerbang teleportasi paling keras.

Sial!.

Aku bisa membayangkan bagaimana takutnya Joana saat terbangun nanti, dia menyadari bahwa dia berada di tempat asing.

Atau..

Bagaimana jadinya jika Joana ditemukan oleh ras lain?, yang paling parah adalah kalau seandainya Joana ditemukan oleh ras penyihir, sudah pasti mereka akan melakukan hal paling buruk terhadap Joana.

"Lacak keberadaan Joana,"

"Secepatnya."

Perintahku kepada Hans, yang langsung dijawab Hans dengan anggukan kepala.

"Nuo yerevherwe ot dofun Joana."

Swisshh..

Tubuh Hans langsung menghilang, tepat setelah dia selesai mengucapkan mantra pelacakan.

Dalam hati, aku berharap Joana baik-baik saja. Dan semoga dirinya tak ditemukan oleh para penyihir..

***

Seorang pria berambut cokelat gelap memandang ke arah langit gelap. Tak ada bulan, hanya bintang yang menghiasi langit malam ini.

Tapi, bagi pria itu, ketiadaan bulan adalah hal yang sangat pria itu syukuri. Karena, bulan adalah simbol para penyihir. Terutama bulan berwarna merah.

"Bahkan malam ini, langitnya sangat cerah."

Pria itu menyeringai, mengelus seekor kucing yang kini berada di pangkuannya.

Dulu, setiap malam menjelang, pria itu akan was-was memantau langit, memantau apakah bulan merah muncul di langit.

Setiap bulan merah muncul, maka akan terdengar kabar bahwa pasukannya sudah dibantai oleh ras penyihir.

Pasukan yang dipimpin oleh seorang wanita cantik, yang kecantikannya sanggup membuat seseorang berdecak kagum sekaligus merinding ketakutan.

Dia masih ingat, bagaiamana elegannya langkah kaki wanita itu saat turun dari naga yang dia tunggangi.

Bola mata merah mudanya, selalu memantulkan indahnya cahaya bulan, dengan kulit putih pucat yang ditutupi oleh rambut merah pekat tergerai.

Wanita itu,

Dewi sekaligus iblis. Cleana Tropika, seseorang yang pria itu syukuri bisa dia habisi dengan taktik liciknya.

"Yang mulia!."

Pria itu menyipitkan matanya ke arah pengawal pribadinya, jenderal Muscho yang masuk ke dalam ruang bersantainya dengan terburu-buru.

Dalam hati dia bertanya-tanya, apalagi alasan Muscho memasuki ruang pribadinya tanpa izin seperti ini?.

Entahlah, sejak mereka berhasil memukul mundur kekuatan ras penyihir, sang jendral mendadak bertingkah arogan. Karena, berkat dirinya jugalah, mereka berhasil membunuh Cleana.

"Apa lagi?, apa permaisuri kembali berulah?."

Tanyanya dengan tatapan malas.

Muscho terhenyak saat mendengar pertanyaan raja. Amarah seketika menggelegak di dalam dirinya. Raja sialan ini, benar-benar tak tahu terima kasih.

Bahkan setelah permaisuri melakukan segala hal untuknya, dia masih saja bersikap dingin dan tak acuh kepada permaisuri.

Apa kurangnya permaisuri?, demi memenuhi keinginan sang raja, permaisuri sampai membahayakan dirinya sendiri, menyusup ke dalam sarang penyihir dan menghadapi Cleana secara langsung.

Seakan belum cukup, permaisuri bahkan berhasil melahirkan seorang anak laki-laki, putra mahkota yang menurut ramalan mampu menyatukan seisi dunia dan 4 ras di bawah kepemimpinannya.

Arrgghh..

Muscho benar-benar frustasi, merasa bahwa permaisuri, yang tak lain dan tak bukan adalah cinta pertamanya sudah salah langkah.

Kalau tak demi menjamin keselamatan permaisuri, Muscho sudah pasti melepaskan jabatannya sebagai jendral. Mengingat betapa menjijikkannya melayani raja sialan ini.

"Tidak yang mulia,"

Muscho berusaha menelan bulat-bulat amarahnya,

"Ini bukan menyangkut permaisuri."

Ucap Muscho lagi.

Sang raja mengerlingkan bola matanya malas,

"Ah?, apa ini tentangmu?, apa kau ingin memperingatkanku untuk tidak mengambil seorang selir lagi?,"

Dia tergelak, melangkah mendekati Muscho, menepuk bahunya berkali-kali,

"Ayolah jenderal, sudah menjadi hak seorang raja untuk memiliki banyak selir. Kau tahu kan?, kami butuh banyak keturunan untuk memperluas wilayah kekuasaan kami. Mungkin saja kan, dari rahim semua wanita itu, terlahir lagi anak-anak dengan kemampuan luar biasa seperti putra mahkota?."

Muscho menggemeretakkan giginya, berusaha keras untuk tidak melayangkan tinju yang bisa mematahkan gigi raja hingga tak bersisa.

Sial!, kalau tak karena permintaan permaisuri agar Muscho terus menjadi jenderal dan menjaga raja, sudah pasti Muscho akan menghunuskan pedangnya, menusuk pria itu hingga mati tak berbentuk.

"Bukan yang mulia,"

"Ada hal penting yang harus saya laporkan."

Sang raja mengerutkan alisnya,

"Oh ya?, apa?."

Tapi, belum sempat Muscho melanjutkan ucapannya, pantulan cahaya merah seketika berbayang di lantai balkon. Membuat mata raja seketika terbelalak, melihat berkas cahaya merah yang seperti menari-nari di atas lantai.

Dengan wajah penuh ketakutan, raja memutar kepalanya, menatap benda bulat yang muncul di langit dengan tatapan horor.

Bulan merah..

Di langit yang tadi hanya ditaburi bintang, kini bertahta si bulan merah, belum sepenuhnya purnama, tetapi hanya sabit. Tapi tetap membuat mata sang raja dipenuhi dengan sinar horor.

***

Di sisi lain..

Seorang wanita cantik dengan rambut hitam segelap malam menatapi berkas cahaya merah yang mengintip dari cela-cela jendela kamarnya.

Tangan wanita itu yang semula mengelus kepala lelaki remaja di pangkuannya itu terhenti. Senyum sedih terbentuk di sudut bibirnya. Dengan lirih dia berkata,

"Ah, dia kembali.."

"Clean sudah kembali.."