webnovel

Canggung

Prang!

Vas bunga yang terletak di nakas terjatuh saat Dara tak sengaja menyenggolnya. Wanita itu menjadi salah tingkah ketika melihat Dewa keluar dari kamar mandi dengan memakai handuk.

"Kamu kenapa?" Lelaki itu ikut berjongkok dan membantu istrinya membersihkan pecahan kaca.

"Itu tadi gak sengaja."

Wajah Dara memerah apalagi tubuh mereka berdekatan sehingga aroma sabun yang dipakai lelaki itu menguar hingga ke inderanya.

"Hati-hati. Jangan buru-buru." Tangan besar itu dengan cekatan memasukkan bekas pecahan kaca ke dalam plastik dan membuangnya di tempat sampah yang terletak di sudut kamar.

"Iya, Mas," jawab Dara. Kemudian dia mengambil tissue basah dan membersihkan lantai, khawatir masih ada sisa pecahan.

Mendengar Dara menyebutnya 'mas', senyum melengkung di bibir Dewa.

"Sana mandi. Gak gerah?" tanya lelaki itu sambil mencuri pandang.

"Udah."

Dara berdiri. Bersamaan dengan itu Dewa juga melakukan hal yang sama sehingga kepala mereka berbenturan.

Wanita itu meringis, sementara Dewa dengan refleks langsung menarik kepala istrinya dan mengusap pelan untuk mengurangi rasa sakit.

"Sakit?"

Dara mengangguk, lalu tersadar dan melepaskan diri. Rona wajah keduanya memerah dan menjadi salah tingkah.

Dewa berpura-pura terbatuk untuk menutupi rasa canggung. Apalagi ini malam pertama yang diidamkan para pasangan baru. Namun tidak untuk Dara.

"Sorry, mas gak bermaksud--"

"Gak apa-apa," jawab Dara lalu berpura-pura menarik koper dan memasukkan pakaiannya ke dalam lemari.

Acara pernikahan mereka selesai setelah waktu Isya tadi. Tadinya Dara masih ingin berada di rumah orang tua sampai besok pagi. Namun, Dewa malah memintanya untuk pulang ke rumah lelaki itu. Jadinya setelah berganti pakaian, mereka langsung berangkat. Wanita itu juga hanya membawa baju seadanya. Mungkin nanti, sedikit demi sedikit dia akan memindahkan beberapa barang.

"Mas laper," kata Dewa sambil memakai pakaian.

Dara menoleh dan lagi-lagi membuang wajah karena tak sengaja melihat.

"Ada lauk sisa acara tadi. Dibekalin sama ibu. Mas mau?"

"Boleh. Hangatkan aja. Mas tunggu."

Dara segera bergegas keluar kamar menuju dapur. Sebelum mereka menikah, lelaki itu pernah satu kali membawanya ke rumah ini untuk melihat-lihat. Sehingga dia sudah hafal beberapa letak ruangan dan barang-barang. Wanita itu mengeluarkan sebuah boks yang berisikan rendang juga sop ayam. Lemari es yang ukurannya cukup besar ini mendadak penuh karena bekal yang dibawakan ibunya tadi.

Saat Dara berpamitan untuk pulang ke rumah suaminya, ada rona kecewa dari wajah sang ibu. Untuk menghibur, dia berjanji jika weekend minggu depan, mereka akan berkunjung. Tangannya masih mengaduk panci saat Dewa masuk ke dapur. Lelaki itu memperhatikan istrinya yang sedang memasak dan berjalan mendekat.

Dara tidak sadar bahwa suaminya berdiri di belakang saat hendak berbalik badan. Tubuh mereka berbenturan kembali, tetapi kali ini Dewa dengan cepat merengkuh pinggang istrinya.

Beberapa saat mereka saling bertatapan dengan debar-debar di dada. Dara mencoba melepaskan rengkuhan itu, tetapi Dewa menahannya.

"Nanti gosong, Mas. Aku mau ambil piring di lemari."

Akhirnya dengan berat hati Dewa melepaskan tubuh istrinya dan membiarkan kaki kecil itu melangkah menjauh.

Setelah mengambil piring dan gelas, wanita itu menata semua di meja dan memindahkan lauk di dalam mangkuk.

Dewa menarik kursi dan duduk menatap sajian. Sepanjang acara tadi, mereka sibuk menerima tamu sehingga tak tentu makan. Setelah selesai, barulah terasa kalau perut minta diisi.

Dara mengambilkan suaminya nasi dan meletakkan di hadapan suaminya. Itu membuat Dewa terkejut. Selama berpacaran dengan Laura, dia belum pernah mendapatkan perlakuan seperti itu.

Sikap Dara kali ini, mirip sekali dengan Sarah, almarhumah istri pertamanya dulu.

"Kok bengong? Ayo dimakan."

Lelaki itu mengambil lauk dan mulai menyuap. Rumah ini sepi karena Ciara sudah tidur sejak dalam perjalanan pulang tadi.

Sehingga begitu sampai, Dewa menggendong putrinya masuk ke kamar dan mematikan lampu.

"Gak salah aku milih kamu sebagai istri," lirih lelaki itu sambil tersenyum.

"Apa, Mas?" tanya Dara bertanya karena ucapan suaminya hanya terdengar sekilas.

"Eh ini makannya enak banget," katanya berbohong.

"Pesan di katering langganan mama. Menu yang dipesan ini kesukaan Laura dulu," ucap Dara yang seketika langsung sadar bahwa dia sudah mengungkit masa lalu.

"Iya memang kesukaan Laura. Sop ayam." Dewa ikut mengenang kebiasaan mantan kekasihnya.

Banyak bisik-bisik tak nyaman mengenai pernikahan mereka. Laura baru saja dimakamkan. Harusnya ini masih masa berkabung. Namun, mereka malah tetap melangsungkan pernikahan.

Suasana menjadi hening. Jika mengingat almarhumah Laura, hati Dara terasa sakit. Dia seperti penghianat yang telah merebut kekasih adiknya. Tidak Dara, kamu tidak merebut. Hanya menggantikan posisinya karena dia sudah tidak ada. Begitulah bisikan yang bergaung di benaknya.

"Eh, kamu tetap mau ngajar?" tanya Dewa memecah keheningan.

"Iya, Mas. Selama Ciara sekolah aku tetap ngajar. Nanti pulangnya aku jemput."

"Apa kamu gak capek kalau bolak-balik?"

"Gak apa-apa, udah biasa. Aku kan cuma pegang satu mata pelajaran. Jadi santai."

Dara memang bekerja sebagai seorang guru di sebuah sekolah menengah pertama milik swasta. Sehingga jadwalnya tidak terlalu padat. Dewa mengangguk mendengarkan penjelasan istrinya. Ada banyak hal yang mereka tidak ketahui tentang kehidupan pribadi masing-masing.

Sepanjang dia berpacaran dengan Laura, dia hanya tahu pekerjaan. Mereka tidak pernah berbincang lama, paling hanya say hello saat mengantar atau menjemput kekasihnya dulu. Alasan mengapa dia meminta wanita ini menjadi istrinya hanya semata-mata demi Ciara. Lalu, mengapa sekarang ada denyar di hati? Dia tak tahu jawabannya. Naluri sebagai laki-laki yang mulai bekerja, dan dia hanya mengikuti.

Setelah selesai makan, Dewa masuk ke kamar. Sementara itu, Dara masih berkutat dengan cucian piring. Kata Dewa ada seorang bibik yang akan membantu pekerjaan rumah. Namun, tidak menginap hanya datang pagi-pagi dan pulang setelah magrib.

Dara membuka pintu kamar dan melihat suaminya sedang duduk di ranjang sambil memutar channel favorit.

Dia jadi serba salah. Matanya sudah mengantuk, tapi kalau tidur disebelah lelaki itu rasanya tidak enak. Jika begini, apa baiknya dia tidur di kamar Ciara saja? Dara jadi bingung.

"Tidur sini kalau udah capek." Dewa menepuk bantal di sampingnya.

"Tapi--"

Melihat kegugupan istrinya, Dewa tahu apa yang ada dipikiran wanita itu.

"Kan aku udah janji, gak bakal nyentuh kamu. Tidur aja. Aku masih mau nonton."

Tanpa menjawab, Dara melangkah pelan lalu membaringkan tubuh. Dia menarik selimut hingga ke leher. Itu membuat Dewa menahan tawa. Kedua kelopak mata wanita itu mulai terpejam karena rasa lelah yang melanda.

"Cantik."

Dewa menatap wajah istrinya dan mengusap pipi itu dengan lembut saat dengkur halus Dara terdengar. Lelaki itu mendekatkan wajah mereka dan hendak mendaratkan ciuman, ketika ketukan pintu terdengar disertai tangisan kencang.

"Cia mimpi hantu. Takut, mau tidur sama mama aja," ucap gadis kecil berusia delapan tahun itu dengan penuh permohonan.

Dewa menarik napas panjang lalu menggendong putrinya naik ke ranjang dan meletakkan tubuh mungil itu di tengah. Lalu, dia mengusap wajah berulang kali karena niat untuk menyentuh Dara jadi pupus dengan kehadiran putrinya.