webnovel

Pengabdi 3

Arfan baru sampai di rumah berdinding putih itu ketika hari sudah menjelang sore. Ia melirik jam di pergelangan tangan kirinya, jarum pendek menunjuk ke arah angka empat. Cuaca tampak mendung, pertanda akan turun hujan. Setelah memarkir motornya di teras depan, ia pun langsung mengetuk pintu.

Tok, tok, tok Arfan mengetuk pintu

"Iya, sebentar." Dari dalam terdengar suara seorang perempuan menyahut.

Arfan pun menunggu sambil melihat keadaan di sekitar rumah. Rumah itu berada di ujung gang yang sangat sepi. Tidak terlihat anak-anak kecil yang sedang bermain atau ibu-ibu yang ngerumpi di teras rumah. Mungkin mereka sudah masuk ke rumah masing-masing karena langit yang kian gelap karena awan hitam yang bergelayut.

"Eh, Arfan. Apa kabar?" Seorang perempuan berbaju kuning muncul dari balik pintu. Arfan pun berbalik dan langsung menjawab pertanyaan perempuan yang sepertinya baru berusia 24 tahun tersebut.

"Baik, Wid," jawab Arfan kepada perempuan yang ternyata bernama Widia tersebut. "Rezgy sudah datang?"

Daaarrr

Tiba-tiba terdengar bunyi petir yang begitu keras. Arfan dan Widia pun sama-sama menutup telinga mereka. Bersamaan dengan itu, turun hujan yang seketika langsung deras.

"Aduh, keras banget yah petirnya," ujar Widia setelah suara petir mereda.

"Hee, iya neh. Jadi, Rezgy sudah datang, Wid?" Tanya Arfan lagi.

"Nah, itu dia. Rezgy tidak jadi datang karena di rumahnya hujan. Jadi, kita ke mall-nya minggu depan aja. Gak apa-apa kan, Fan?" Jawab Widia dengan senyum yang begitu manis.

"Owh, yaudah gak apa-apa. Ke mall bisa lain waktu. Kalau begitu aku langsung pulang lagi yah," balas Arfan sambil berbalik kembali menuju motornya. Sejenak ia memandang ke arah hujan yang cukup deras.

"Yakin mau pulang, Fan? Hujannya mulai deras lho. Gak mau nunggu sampai hujannya reda dulu?" Tanya Widia yang memakai baju cukup ketat.

'Benar juga yah,' pikir Arfan. "Boleh deh, Wid." Jawab Arfan.

Widia pun mempersilakan Arfan masuk dan duduk di ruang tamu rumahnya. Arfan langsung merebahkan tubuhnya di atas sofa yang terasa sangat empuk itu. Karena posisi duduknya yang sedemikian rupa, perut buncitnya kini jadi terlihat jelas dari balik kaos.

"Mau minum apa, Fan?"

"Gak usah repot-repot, Wid."

"Gak ngerepotin kok. Namanya tamu kan harus dijamu," ujar Widia sedikit memaksa.

"Hmm, apa aja deh, Wid. Yang penting enak, hehe," jawab Arfan sambil nyengir.

Ketika Widia berjalan ke dapur, Arfan pun bisa melihat jelas bkongnya berlenggak-lenggok ke kiri dan kanan. Terlebih Widia hanya mengenakan celana jeans yang juga cukup ketat.

Untuk sesaat, Arfan pun lupa kalau Widia adalah pacar Rezgy, sahabat baiknya. Namun sedetik kemudian, Arfan pun mengingat lagi kenyataan yang ada, dan berusaha menghapus lamunan kotornya.

Hari ini Widia, dan Rezgy berencana pergi ke mall untuk mencari buku yang sudah lama dicari Rezgy. Namun seperti apa yang dikatakan Widia, Rezgy justru tidak datang dan rencana untuk pergi bersama ke mall pun batal.

Tak lama Widia pun kembali sambil membawa dua gelas minuman dingin yang berwarna kuning. Arfan menebak kalau minuman itu pasti sirup jeruk. Ketika Widia meletakkan minuman di meja, lalu dia kembali melihat pemandangan yang menggiurkan.

Payudara Widia tercetak jelas di kaosnya yang ketat. Sepertinya ia masih memakai bra, karena putngnya tidak tampak menonjol juga. Arfan pun sedikit tercekat. Dia bahkan nyaris kesulitan menelan ludahnya sendiri.

"Ada apa, Fan?" tanya Widia.

"Ahh, Tidak ada apa-apa. Terima kasih minumannya, Wid," jawab Arfan sambil menutupi kenyataan kalau adik kecil di balik celananya sudah mulai memberontak tidak karuan.

Widia pun duduk di hadapan Arfan sambil menyilangkan kakinya. Posisi tersebut makin membuat Arfan deg-degan.

"Kamu sendiri saja di rumah, Wid? Kok sepi banget?" tanya Arfan.

"Iya nih. Papa masih di kios, sedangkan adikku lagi main ke luar. Paling jam tujuh baru pada pulang," ujar Widia.

Widia memang hanya tinggal bertiga di rumah tersebut, bersama papa dan adiknya. Ibu Widia sudah meninggal sekitar dua tahun yang lalu karena sakit.

Arfan pun mulai mengambil minumannya dan menengguk sedikit. Ini adalah pertama kalinya ia datang ke rumah Widia, karena itu ia pun mencoba melihat kondisi di rumah tersebut. Di ruang tamu terdapat beberapa foto Widia bersama adik dan papanya. Di foto tersebut Widia menggunakan kebaya ketat dan hijab berwarna krem, terlihat anggun dan cantik sekali. Di sebelah foto tersebut pun ada foto mendiang ibu Widia. Tidak banyak perabotan di rumah yang terkesan minimalis tersebut.

"Bagaimana kerjaan kamu di kantor, Fan?" tanya Widia sambil meminum sirup jeruknya.

"Masih gitu-gitu aja, Wid. Maklum, posisi juga masih bawahan," ujar Arfan yang sehari-hari bekerja sebagai pegawai administrasi di sebuah perusahaan leasing motor.

"Ya, disyukuri saja, Fan. Siapa tahu bisa berkembang lebih baik lagi nantinya."

"Kamu sendiri bagaimana, Wid?"

"Ya, kamu sudah tahu kan aku sudah resign dari perusahaan konsultan yang kemarin. Jam kerjanya kadang gak masuk di akal. Makanya aku lebih milih buat fokus bantuin papa di kios. Hitung-hitung meneruskan usaha keluarga," ujar Widia.

Keluarga Widia mempunyai sebuah kios pakaian di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta. Usahanya sudah lumayan besar. Tidak jarang mereka harus mengirim barang jualan mereka dalam jumlah yang banyak ke Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.

"Kalau pacar gimana, Fan? Sudah dapat?" Tanya Widia.

"Tampang beginini mah susah cari pacar, Wid," ujar Arfan sambil tertawa.

"Jangan begitu, kalau sudah jodoh mah gak akan kemana-mana," ujar Widia bijak.

Sesaat Widia membetulkan posisi kausnya yang langsung menarik perhatian Arfan. Mata Arfan pun sesaat fokus ke wajah cantik Widia, dan kemudian beralih ke payudara Widia yang membusung. Arfan pun menyadari bahwa kemaluannya sudah mulai tidak bisa dikontrol.

Arfan mengenakan celana panjang dengan celana boxer di baliknya, tanpa celana dalam. Itulah mengapa kemaluannya bisa terlihat jelas dari luar. Ia pun memutuskan untuk pergi ke toilet sebelum Widia melihat hal tersebut.

"Wid, boleh numpang ke kamar mandi?"

"Boleh, kamu lurus saja ke arah belakang, toiletnya ada di sebelah kiri," tunjuk Widia.

Di dalam toilet, Arfan langsung membetulkan posisi adiknya. Namun ia baru menyadari bahwa toilet tersebut masih berbau sabun yang segar, tanda baru saja ada orang yang mandi di situ. Bau sabun tersebut serupa dengan aroma yang ia hirup ketika Widia keluar dari pintu tadi. Artinya, toilet tersebut baru saja digunakan oleh Widia untuk mandi.

Arfan pun langsung membayangkan yang tidak-tidak. Bukannya mengecil, kemaluan Arfan justru makin membesar. Ia pun tidak bisa lama-lama di toilet tersebut, karena nanti Widia pasti curiga. Dalam keadaan selangkangannya yang masih membesar Arfan memberanikan diri keluar kamar mandi, sambil berharap Widia tidak menyadari perubahan yang terjadi pada tubuh bagian depannya.

Saat Arfan tengah berada di kamar mandi, Widia pun bergerak ke arah jendela untuk melihat ke arah luar rumah, apakah hujan telah berhenti atau belum. Sebenarnya dia mengalihkan pikirannya yang sempat kaget saat melihat tonjolan yang besar di selangkangan Arfan.

Meski Widia selalu berpakaian tertutup saat keluar rumah. Namun dia merupakan perempuan yang sudah terpapar akan kenikmatan seks. Meski masih bisa menjaga keperawanannya, namun tidak berarti tidak tahu apa-apa. Widia telah beberapa kali melihat dan menyentuh kemaluan pria, terutama milik Rezgy, pacarnya.

Jemarinya yang lentik pernah mengocok-ngocok kemaluan Rezgy, dia juga pernah memberikan blowjob dengan cara memasukkan kemaluan Rezgy ke dalam mulutnya hingga kjantanan Rezgy memuntahkan sepermanya.

Setelah melihat petampakan tonjolan Arfan sebelum masuk ke kamar mandi tadi, pikiran Widia tiba-tiba menerawang jauh membandingkan ukuran tonjolan itu dengan selangkangan Rezgy kekasihnya yang dia rasa sepertinya biasa-biasa saja.

Selama ini Widia menganggap ukuran kjantanan Rezgy besar dan memang itu ukuran normal untuk orang Indonesia. Namun ternyata tonjolan selangkangan Arfan terlihat jauh di atas normal. Widia pun mulai menimbang-nimbang jika ukuran kejantantanan Rezgy pasti kalah jauh oleh punya Arfan.

'Hmm tonjolan di balik celana Arfan terlihat sebesar itu. Bagaimana kalau melihat dan menyentuhnya langsung. Sepertinya akan sangat berbeda sensasinya jika mengulum yang ukuran lebih panjang dan besar. Benarkah rasanya berbeda? ' tanya Widia dalam hati.

Hati Widia pun tiba-tiba berdesir. Fantasinya melayang dan merasa tersanjung karena dia yakin tonjolan selangkangan Arfan yang mendadak membesar itu akibat sahabat pacarnya itu memandangi dirinya yang seksi, molek dan menggoda.

'Tidak mungkin tidak! Di rumah ini hanya ada aku dan Arfan. Jadi selangkangan dia membesar murni karena diriku. Oh, apakah selangkangan itu masih bisa membesar lagi jika aku terus menggodanya?' Pikiran-pikiran Widia semakin nakal.