webnovel

TG VS Voulturi

Bugh!

Aku tersentak kaget saat sebuah bantal terjatuh tepat di atas wajahku. Kulempar asal benda sialan itu dan meneggakkan tubuhku. 

Sial!

Dea sudah berdiri bersandar pada jendela kamarku dengan tangan terlipat di dada, dan tatapan tajam yang tertuju padaku. 

"Jam segini masih tidur, nggak subuhan dong kamu, Chang?" tanya Dea dengan ketus. 

Kuhirup udara sedalam mungkin untuk mengisi ulang paru-paruku dengan udara yang baru. Setelahnya, aku melirik jam digital yang terleas di atas nakasku. 

"Masih jam tujuh loh De!" protesku. 

Belakangan ini aku selalu tidur di dini hari. Bukankah wajar jika jam segini aku baru bangun?

"Subuhan nggak tadi?" ketus Dea. 

"Udah, tadi abis subuh tidur lagi! Udah sana ergi, ngantuk aku!" 

Bukannya pulang, Dea malah duduk di kursi yang ada di bawah jendela. Ia termenung, entah apa yang dia pikirkan pagi-pagi begini. 

"Mikirin apa sih De?" tanyaku pelan. 

"Tebak, tadi aku ketemu siapa?"

"Malah main tebak-tebakan ni anak pagi-pagi!" gerutuku kesal. 

Aku turun dari kasur lalu duduk di kursi yang ada di sampingnya. 

"Aku ketemu sama Ratih pas beli bubur ayam di alun-alun tadi, dan dia senyum ke arahku lho Chang! Bayangin deh, baru beberapa hari yang lalu dia terlihat kayak orang yang udah begitu frustrasi dan gak ada hasrat untuk hidup, tiba-tiba sekarang terlihat happy, dan biasa aja seolah nggak pernah terjadi hal buruk sebelumnya." 

Aku hanya tersenyum tipis mendengar cerita Dea. Syukurlah kalau memang Ratih sudah terlihat biasa saja seperti sebelumnya.  

"Tapi kenapa kamu kelihatan bingung kayak gitu? Kan bagus kalau memang Ratih udah sembuh, dia nggak trauma berkepanjangan! Apalagi masalahnya?" Aku sungguh tidak mengerti apa yang sedang dipikirkan gadis yang satu ini. 

"Masalahnya itu TG!" serunya kesal. 

"Kenapa sama TG?"

Dea menggelengkan kepalanya pelan. 

"Tadi Ratih cerita kalo TG bawa para pelakunya ke dia sama keluarganya, habis itu baru di penjara, karena itu Ratih udh ngerasa jauh lebih baik. Masalahnya itu aku gak puas sama cara kerja TG!" gerutunya. 

Tidak puas dengan cara kerja TG? Well, dia tidak puas dengan cara kerjaku? 

"Nggak puas gimana?"

"Harusnya ya, si TG itu siksa dulu dong para pelakunya, di culik, disiksa sampai mereka bener-bener menyesali perbuatannya, sampai mereka mohon-mohon buat di habisi aja sekalian saking frustrasinya, baru jeblosin penjara." seru Dea dengan penuh emosi. 

Aku langsung mengelus dada, dan menghela napas sepanjang mungkin. 

"De. TG itu pendekar, bukan psikopat!" ucapku menahan kesal. 

"Iya tahu, tapikan kesalahan mereka itu fatal, masa gitu doang hukumannya? Atau enggak, bakar aja hidu-hidup, buat pelajaran untuk yang lainnya, biar nggak ada yang berani melecehkan perempuan sesuka hati seperti itu. TG kurang sadis, gak like ah!" 

Untuk yang kesekian kalinya, aku mengelus dadaku. 

"Untung kamu bukan anggota TG ya, coba kalo iya, banyak pendekar di sini yang tiba-tiba diculik, disiksa, terus mati mendadak!" seruku pelan. 

Mendengar ucapanku, Dea langsung tersenyum lebar, menunjukkan deretan gigi putihnya yang tersusun rapi bak model iklan pasta gigi.

"Ide bagus, kenapa ya TG nggak ngerekrut aku aja? Kalau aku tahu cara daftar jadi anggota mereka, aku udah daftar kali, Chang! Kayaknya keren aja gitu ngasih hukuman ke pendekar-pendekar jahat. Berasa Volturi di film twillight gitu kan, keren abis kan. Terus siapa tahu aja pemimpinnya kayak Aro, nanti aku bisa kelihatan kayak Jane. Wuuu keren." 

Kepalaku langsung berdenyut nyeri mendengarkan kata demi kata yang keluar dari mulut Dea. Mas Reza itu sangat jauh berbeda dengan Aro. Apa sih yang Dea pikirkan. Seperti apa sih TG di pikirannya itu? Astaga!

"Pertama, kamu nggak punya kekuatan kayak Jane, kedua pimpinan TG juga nggak kayak Aro!" seruku kesal. 

"Tahu dari mana kalau pimpinan TG gak kayak Aro?" desak Dea. 

Sial!

"Karena aku yakin, dia bukan vampir, dan mustahil punya kekuatan kayak Aro yang bisa melihat semuanya hanya dengan menyentuh tangan seseorang!" sahutku cepat. 

Dea berpikir sejenak, ia lalu mengangguk pelan, setuju dengan ucapanku. 

"Dan kayaknya, menjadi TG itu nggak selamanya harus bar-bar kayak yang kamu pikirin deh De! Mereka itu kan kumpulan pendekar yang bersatu memperjuangkan perdamaian pendekar tanah Jawa, jadi harusnya mereka memiliki welas asih, meskipun sama pendekar yang bersalah. Iya nggak sih?" 

Mendengar pendapatku, Dea langsung menggeleng tegas. 

"No! Nggak bisa gitu! Seperti Volturi, TG harusnya menjadi Pendekar tanpa ampun, biar ditakutin gitu!"

"Sekali lagi nih ya Dea, beda antar TG sama Volturi. Dari tujuan terbentuknya aja beda. Volturi ada untuk menjaga kerahasiaan eksistensi mereka. Jangan disamain juga sama TG!"

"Kok kamu belain TG terus sih?"

"Bukannya ngebelain, cuma mau meluruskan pikiran kamu yang ngawur pagi-pagi!" 

Dea merengut, ia lalu menghela napas berat. 

"Tau ah! Sana cuci muka, terus kita berangkat!" seru Dea lalu berdiri, hendak beranjak meninggalkan kamarku, namun aku menahan tangannya. 

"Berangkat ke mana?"

"Lupa ingatan apa gimana? Gotong royong renovasi padepokan Selendang Putih!" 

Ah, aku melupakan yang satu itu. 

***

Di padepokan sudah cukup ramai anggota yang hadir untuk membantu. Dea langsung menghampiri para pendekar putri, dan membantu mereka memasak, sementara aku langsung menghampiri pendekar putra yang lainnya. 

"Kalian ini pacaran apa enggak sih? Penasaran aku, tiap ada Dea pasti ada Bayu, begitupun sebaliknya!" celetuk Bagus sambil melirik ke arahku. 

"Bener tuh Gus, aku pun penasaran. Mereka itu pacaran apa gimana? Kan kalau enggak, ada gitu kesempatan buat yang lain buat deketin Dea!" imbuh Cakmin. 

Pertanyaan sama yang selalu mereka tanyakan setiap kali aku dan Dea terlihat bersama. 

"Halah, nggak perlu ditanya guys, aku mah udah hapal Bayu mau bilang apa!" sela Yustinus. 

"Apa Nus?"

"Dia pasti mau bilang, kalau dia itu tukang ojek pribadinya Dea!" sahut Yustinus sambil memindahkan batu bata yang ada di tanah ke gerobak dorong. 

Ya, memang jawaban itu yang selalu kuberikan kepada mereka. Aku adalah tukang ojek pribadi untuk Dea. Alasannya, tetu karena aku suka dia, tapi setiap kali kunyatakan perasaanku ini, Dea hanya tertawa dan menganggapku sedang bercanda. Aku tahu dia hanya tidak ingin mengambil resiko dengan berpacaran, takut jika sesuatu terjadi, akan mempengaruhi hubungan baik kami. Ya, terserahlah, asal dia nyaman saja. 

Apalagi sekarang aku sudah bergabung dengan TG, mungkin akan sulit jika harus menjalin hubungan yang lebih dengan gadis itu, mungkin suatu saat aku harsu pergi dari sini, meninggalkan dia dan keluargaku untuk menjalankan misi demi misi dari TG. 

Mas Reza bilang, karena aku baru, aku hanya perlu menjalankan misi untuk kota ini saja, namun setelahnya, tidak menutup kemungkinan aku harus berkeliling tanah Jawa seperti anggota lainnya.