webnovel

Masalah Ratih

Aku baru saja menginjakkan kakiku di rumah saat suara tangis terdengar begitu lirih dari ruang tengah. Rasa penasaran membuatku melangkah cepat ke arah suara itu. Dan aku hanya bisa terdiam di ambang pintu ruang tengah saat melihat ibuku sedang menenangkan seorang wanita paruh baya di hadapannya. 

Aku mengenalnya, dia adalah seorang Ibu dari seorang siswa dari Perguruan Selendang Putih yang kukenal.  

"Itu, kebetulan Bayu sudah datang."

Aku tersenyum tipis lalu mendekat ke arah mereka. Kuletakkan tasku di lantai dan duduk di sofa.

"Mas Bayu, tolongin Ratih!" lirih Ibu Fatimah.

"Ratih kenapa Bu?"

Dengan suara yang begitu lemah dan serak, Ibu Fatimah pun bercerita bahwa sepulangnya Ratih dari latihan tiga hari yang lalu, gadis itu mengurung dirinya di kamar dan tidak mau keluar sama sekali. Ibu Fatimah sampai harus memberikan makan Ratih dari sela-sela jendela kamar anak gadisnya itu. Dan yang membuat Ibu Fatimah sangat khawatir adalah anaknya itu terdengar selalu menangis di dalam bilik kamarnya. 

Ratih tidak mau berbicara sedikit pun dengan orang tuanya. 

Jadi, kedatangan Ibu Fatimah ke sini adalah untuk meminta bantuanku, mencaritahu apa yang terjadi pada Ratih saat latihan. 

Tentu saja ini sangat mencurigakan. Kenapa gadis yang setahuku sangat sopan, dan bersemangat dalam setiap latihannya itu tiba-tiba bersikap seperti itu setelah pulang latihan?!

"Kalau kamu bisa, tolong cari tahu Bayu, kasihan anaknya Bu Fatimah, kita kan ndak bisa memberi solusi kalau ndak tahu masalahnya." Ibu menatapku penuh harap. 

***

Aku sudah menghubungi setiap pelatih di rayon tempat Ratih latihan. Namun menurut mereka, latihan pada malam itu berlangsung seperti biasa. Mereka juga mengatakan bahwa Ratih sama bersemangatnya seperti latihan-latihan sebelumnya. Tidak ada keanehan sama sekali dalam diri Ratih. 

Jadi, aku simpulkan bahwa terjadi sesuatu saat Ratih pulang dari latihan. 

Dari rayon tempatnya berlatih, dan juga rumahnya tidak terlalu jauh, dan jalannya juga cukup terang, jadi apa yang bisa terjadi saat itu? 

Aku tidak ingin menyimpulkan terlalu jauh, jadi aku mengajak Dea untuk langsung ke rumah gadis itu, siapa tahu kami beruntung dan bisa membuatnya bercerita. Untuk sesuatu yang seperti ini, Dea adalah ahlinya. 

"De, bisa cepetan nggak?" seruku setengah berteriak dari luar kamarnya. 

Dia baru bangun tidur, dan memerlukan sedikit waktu untuk bersiap. Serius, dalam kamus perempuan, tidak ada kata sedikit. Dia membutuhkan begitu banyak waktu. 

Setelah Dea keluar dari kamarnya, kami pun bergegas menuju rumah Ratih. Di tengah perjalanan, kami bertemu dengan salah satu anggota Selendang Putih, yang juga adalah pelatih dari Ratih. 

"Mau ke mana kalian?" tanya Ridho pelan. 

"Ke rumah Ratih." sahut Dea cepat.

"Percuma, aku baru dari sana sama anak-anak yang lain. Si Ratih nggak mau keluar dari kamar, dan nggak mau bicara sama siapa pun." 

Ridho terlihat sangat prihatin dan juga bingung. 

"Udah jauh-jauh sampai di sini, lanjut aja, Chang!" ucap Dea sambil menepuk pundakku. 

"Ya udah, kalau tetep nekat mau ke sana, kalo dapet info sekecil apa pun, kabarin kita!"

Aku hanya mengangguk pelan, lalu kembali melajukan motorku menyibak jalanan. Setelah kami sampai di rumah Ratih, Bapak dan Ibu Ratih langsung menyammbut kami dengan hangat. Mereka terlihat sangat buruk dengan mata bengkak dan wajah pucat mereka. 

"Mana kamar Ratih, Bu?' tanya Dea tanpa basa-basi. 

Ya, seperti itulah dia. Kami menyebutnya etika jeblok. 

Seharusnya kami sedikit berbasa-basi dengan Ibu Fatimah dan suaminya dulu, mengapa gadis itu langsung ke inti?

"Itu Mbak, di sana," ucap Bu Fatimah sambil menunjukkan kamar Ratih. 

Pertama, Dea mengetuk pintu kamar Ratih dengan pelan. 

"Ratih, ini Mbak Dea! Masih inget nggak? Itu loh, Mbak cantik yang ngasih kamu telor rebus waktu pertandingan di Kejurda dulu!" Dea setengah berteriak di depan pintu kamar Ratih. 

Mbak cantik dia bilang? Terserah!

"Gini, kamu pilih aja, Mbak dobrak pintunya pakai jurus andalan Mbak, atau kamu buka aja? Sayang lho pintu kamu bagus, di sini ada Mas Bayu juga, nanti kamu malu lho kalau pintu kamu Mbak dobrak, terus dia bisa lihat kamu dan kamar kamu!" ancam Dea dengan santainya. 

Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya gadis itu pikirkan. Namun, apa pun itu sepertinya berhasil karena tak lama setelahnya, pintu tersebut terbuka. 

Tangan Ratih ia keluarkan untuk menarik Dea masuk ke dalam, kemudian kembali tertutup begitu keras. 

Ibu Fatimah dan suaminya tampak cukup bingung dengan pemandangan di depan mereka itu. 

"Tenang saja Bu, si Dea itu cukup berpengalaman nanganin yang seperti ini."

Setelah mendengar ucapanku, mereka pun tersenyum tipis, lalu mengajakku mengobrol di ruang tamu. 

Cukup lama kami menunggu Dea keluar, hingga satu setengah  jam setelahnya, gadis itu keluar dari kamar, dan menghampiri kami, sementara kamar Ratih kembali tertutup. 

"Gimana Mbak?" tanya Bu Fatimah dengan mata berkaca-kaca.

Wajah Dea tampak merah, gadis itu hanya terdiam, lalu menggelengkan kepalanya pelan. 

"Ratih cuma nangis aja di dalam, besok Dea ke sini lagi ya Bu, siapa tahu Ratih mau bicara," ucap Dea lirih. 

No! Aku tahu benar gadis itu sedang berbohong. Apa yang ia sembunyikan sebenarnya? 

Bu Fatimah kembali menangis, Dea bergegas mengajakku pamit dan keluar secepat mungkin dari rumah itu. 

Begitu keluar dari sana, aku pun membawa Dea ke warung cilok langganan kami. 

"Kamu nyembunyiin apa, De?" tanyaku begitu Mbok Siti--Penjual cilok pergi meninggalkan kami yang duduk di kursi kayu depan warung. 

"Aku bingung, aku nggak tahu harus gimana ceritanya!"

Aku menggeleng cepat, dan menatap manik mata gadis itu dalam. 

"Saat perjalanan pulang dari latihan, ada segerombol anggota Perguruan Kembang Pitu, menghadang Ratih. Mereka mengganggu Ratih, dan menyeret gadis itu ke sawah yang deket perempatan dekat SD, terus ..." Dea tidak melanjutkan ucapannya. Setetes air mata jatuh dari mata sayunya. 

"Terus apa?"

"Mereka menggilir Ratih!" ucap Dea dengan suara yang begitu lemah. 

Biadap! 

Tubuhku langsung terasa panas menahan emosi karena mendengar cerita dari Dea tersebut. 

Oh Tuhan, bagaimana mereka bisa sekeji itu? Pantas saja Ratih jadi seperti itu. Ia pasti mengalami trauma yang begitu dalam. 

"Chang, kita harus gimana? Aku nggak tega nyampein ini ke orang tua Ratih!" lirih Dea yang kembali berlinang air mata. 

Tentu saja, si cengeng itu tidak akan berani menyampaikan hal ini, karena ia pasti tahu bahwa mereka akan sangat hancur mendengar keadaan Ratih yang sesungguhnya. 

"Chang, kita harus apa? Jawab dong! Lapor polisi? Atau langsung cerita ke anak-anak Selendang Putih yang lain?" Dea menatapku dengan tatapan tajam. 

Aku sendiri hanya menggelengkan kepalaku pelan. Melaporkan ini pada polisi, sama saja dengan membuka aib Ratih, aku hanya takut jika dia akan merasa malu kepada orang-orang jika ini tersebar, dan mentalnya bisa terganggu. Dan jika anak-anak Selendang Putih tahu, mereka akan langsung mengumpulkan masa untuk menghabisi mereka. Ah, kami bahkan tidak tahu siapa mereka. Yang ada, kami hanya akan menyerang perguruan mereka membabi buta. Ini tidak bisa terjadi. 

"De, untuk sekarang, kamu jangan kasih tahu siapa-siapa dulu ya. Ada begitu banyak hal yang harus dipertimbangkan!"

"Mempertimbangkan apalagi? Mereka harus mendapat balasan dari kelakuan bejad mereka!" seru Dea penuh emosi. 

"Aku tahu, tapi biar aku mikir dulu balasan yang setimpal untuk mereka. Jangan buat keributan dulu, pikirin nama baik Ratih dan keluarganya juga, betapa hancurnya mereka jika semua orang tahu kalau Ratih sudah dinodai para bajingan itu! Tahan dulu, okey?"