webnovel

Pendekar Lembah Damai

Suro terdiam dibalik tubuh kaku Ki Ronggo, satu-satunya jalan supaya nyawanya bisa bertahan lebih lama adalah dengan diam tidak bergerak. Padahal ia berharap bisa mellihat wajah dan mengingat para penyerangnya, hingga kelak jika ia masih hidup dan berumur panjang, akan menuntut balas atas semua yang terjadi malam itu. “Kang Wulung!” seru satu suara lainnya, “Apa tindakan selanjutnya?” Sejenak tak ada suara, hanya langkah-langkah kaki yang berderap kesana kemari. “Anak-anak! Bakar tempat ini!!!” perintah dari orang yang dipanggil dengan sebutan Kang Wulung, yang disahut dengan suara gemuruh banyak orang. Tak lama, suasana malam menjadi terang benderang dengan cahaya merah, Suro terdiam dibalik tubuh kaku Ki Ronggo, satu-satunya jalan supaya nyawanya bisa bertahan lebih lama adalah dengan diam tidak bergerak. Padahal ia berharap bisa mellihat wajah dan mengingat para penyerangnya, hingga kelak jika ia masih hidup dan berumur panjang, akan menuntut balas atas semua yang terjadi malam itu. Perjalanan seorang remaja, hingga dewasa di negeri yang jauh dari tempat kelahirannya. Takdir memaksanya menjalani hidup dalam biara Shaolin. Suatu saat ketika ia akan pulang ke kampung halamannya, ia harus bisa mengalahkan gurunya sendiri dalam sebuah pertarungan.

Deddy_Eko_Wahyudi · Action
Not enough ratings
112 Chs

Kuda-kuda itu?

"Adik Luo," Cheng Yu berkata malam itu di atas kapal, sebelum mereka berpisah. Suro meminta kepada Cheng Yu agar menganggapnya sebagai adik, hingga tak perlu lagi menyebut namanya dengan gelaran kehormatan pendekar atau tuan muda. "Carilah tempat di tanah Jawa ini sebagai tempat tinggalmu bersama keluarga. Aku akan memberimu bekal yang lebih, bahkan separuh dari harta yang kupunya akan kuberikan padamu agar kalian bisa hidup layak. Hanya saja, berikan kepadaku informasi mengenai posisimu, hingga nanti ketika aku datang kemari, aku akan bisa dengan mudah menemukanmu."

Suro tersenyum, ia merasa sangat terharu atas perhatian yang diberikan Cheng Yu padanya, sampai-sampai dadanya terasa sesak untuk membalas kalimat Cheng Yu.

"Kakak Cheng Yu tak perlu seperti itu. Aku akan berusaha dengan kemampuanku sendiri. Aku berniat ingin kembali ke Lembah Damai, tempat dimana aku dulu mulai belajar hidup sebagai seorang santri. Membangun kembali padepokan Cempaka Putih milik guruku, sekaligus membangun tempat pengobatan bagi masyarakat sekitar," katanya.

Suro dari awal memang sudah berencana, ketika ia kembali ke tanah Jawa, ia berniat untuk menetap di Lembah Damai dan meneruskan apa yang sudah dibangun oleh Ki Ronggo. Karena ia adalah satu-satunya pewaris aliran beladiri Pencak Silat Cempaka Putih yang masih hidup. Di tambah lagi dengan keahliannya yang sekarang dalam bidang pengobatan, ia juga akan membuka pelayanan pengobatan bersama kedua isterinya.

Cheng Yu mengangguk, matanya berkaca-kaca.

"Aku hanya menginginkan agar engkau fokus pada niatan muliamu, dan aku hanya bisa membantu adik Luo dalam hal keuangan atau harta yang tak perlu kau fikirkan lagi sebagai modal. Tentu untuk mewujudkannya, kau membutuhkan biaya yang sangat banyak," ucap Cheng Yu.

Suro termenung sejenak, dahinya menunjukkan kalau apa yang disampaikan oleh Cheng Yu adalah benar. Agar bisa segera terwujud, tentunya dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dengan modal yang sudah ada, ia tak perlu lagi memikirkan dari awal.

Akhirnya ia pun menganggguk setuju sambil tersenyum.

"Baiklah, Kakak Cheng. Jika suatu hari kau datang ke tanah Jawa ini, temui aku di Lembah Damai," ucap Suro.

Cheng Yu merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, "Beri aku pelukan sebelum kita berpisah!"

Suro pun langsung memeluk Cheng Yu dengan erat, air mata mereka pun sama-sama tumpah. Tak menyangka kalau ternyata hari perpisahan sudah di depan mereka.

Setelah cukup lama, Cheng Yu pun memandang ke arah Li Yun, Rou Yi dan Huang Nan Yu. Mereka pun tak dapat menahan kesedihan yang tergambari dari tetesan air mata mereka yang mengallir deras.

"Aku hanya bisa mendo'akan kalian dari jauh. Semoga kalian diliputi kebahagian, dikaruniai anak cucu yang banyak, hidup sejahtera sesuai dengan apa yang kalian impikan. Saling menjaga satu sama lain," katanya sambil sesekali mengusap air matanya.

Li Yun, Rou Yi dan Huang Nan Yu membungkuk sambil mengepalkan kedua tangannya.

"Adik disini juga mendo'akan kakak Cheng, semoga berhasil atas apa yang dicita-citakan," Li Yun berkata.

"Semoga kakak Cheng selalu dalam perlindungan Allah SWT, dijauhkan dari marabahaya," Rou Yi menyambung.

Cheng Yu mengangguk.

"Rasanya, jika Allah mencukupkan rezekiku hingga detik ini pun aku sudah cukup puas. Hatiku merasa sangat damai," sahut Cheng Yu kemudian.

***

Kereta kuda itu berjalan santai melewati jalan setapak, hingga melewati sebuah perkampungan kecil, ia bertemu dengan seorang petani yang lewat dari arah berlawanan berjalan kaki dengan membawa cangkul di pundak.

Kala itu, hari sudah hampir menjelang waktu magrib. Sepatutnya Suro harus memikirkan tempat untuk menginap, tetapi masalahnya sepanjang yang ia tahu, tidak ada penginapan di perkampungan ini, jadi ia memutuskan untuk mencari rumah makan untuk kemudian kembali melanjutkan perjalanan.

Mereka masih bisa berteduh dan beristirahat semalam dalam kereta kudanya.

"Mohon maaf, nggih," Suro turun dari kereta kudanya, lalu menyapa sopan petani itu yang membuat si petani menghentikan langkahnya sambil balas tersenyum.

"Oh, ya. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya.

Matanya menatap Suro dari ujung kaki sampai ujung kepala, lalu beralih pada kereta yang digunakan Suro. Melihat pemuda itu dirasakan bukan orang jahat, ia kembali tersenyum.

"Saya bersama keluarga sedang dalam perjalanan menuju Lembah Damai, kira-kira di desa ini apakah ada rumah makan?" tanya Suro kemudian.

Si petani terdiam sejenak, tampak ia kepalanya celingukan sambil terlihat berfikir. Kemudian mengangguk.

"Ada. Di ujung desa ini ada rumah makan. Tetapi entah apakah saat ananda sampai di rumah makan itu masih buka atau tidak. Memang jalan ini adalah jalan para pelancong menuju pasar, hanya saja waktu sekarang sudah pada sepi. Alangkah baiknya menginap saja dahulu," petani itu memberi saran.

Suro memang masih ingat jalan yang ia lalui dulu bersama Yang Meng dan Tan Bu. Setelah ujung desa, ia akan menemui pasar yang berada di sepanjang sungai, lalu menaiki perahu setengah harian maka ia akan tiba di Lembah Damai. Atau Jalan lainnya adalah menyusuri jalan setapak yang mengikuti alur lekukan Sungai.

Tetapi, waktu sudah tidak keburu lagi. Makanya ia memutuskan untuk mencari warung makan terdekat dan kemudian melanjutkan perjalanan semalamnya. Mendengar jawaban si petani, nampaknya memang ia tak bisa menemukan warung makan terdekat. Sama saja ia musti menuju sungai, dimana warung makan itu berada.

"Begitu, ya?" Suro menanggapi saran si Petani, "Sepertinya saran bapak memang bagus. Tetapi saya coba dulu ke sana. Jika ternyata tutup, maka terpaksa kami akan menginap di kereta."

"Di dalam kereta?" si Petani terlihat terkejut, wajahnya seperti kebingungan dan was-was begitu mendengar kalau mereka akan menginap di dalam kereta.

"Benar, pak," jawab Suro. Tiba-tiba ia merasa raut wajah si petani nampak bingung, "Ada apa, pak?"

Agak lama si petani tak menjawab. Bibirnya agak tergagap-gagap seperti hendak menyampaikan sesuatu.

"Kalau mau menginap, lebih baik menginaplah di tempat saya. Cukup berbahaya tidur dalam kereta di tempat terbuka."

"Memangnya ada apa, ya, pak?"

"Apakah berita kejahatan ini tidak sampai ke telinga sampeyan?" petani itu malah balik bertanya.

Suro berfikir sambil menggelengkan kepala, tanda ia belum pernah mendengar berita tentang adanya berita kejahatan yang diucapkan si petani.

"Apakah ananda mau lewat jalur pinggir sungai menuju Lembah Damai?" tanyanya lagi.

Suro mengangguk.

Untuk menuju ke Lembah Damai, memang ada dua pilihan jalan. Jalan pertama adalah memutar hingga melewati 3 desa dan itu membutuhkan waktu berhari-hari. Tetapi, jika lewat Sungai atau tepi sungai seperti pada waktu Yang Meng membawanya, waktu yang dibutuhkan hanya sehari. Perkiraan Suro, besok sore ia sudah tiba di tempat itu.

Si Petani kini terdiam, ia seperti ragu untuk meminta Suro agar tak melanjutkan perjalanan mengingat waktu malam akan tiba tak lama lagi.

"Memang rawan ya, pak?" Suro bertanya.

"Memang tidak selalu ada, tetapi sekedar berjaga-jaga dari kejahatan para pembegal yang berkeliaran. Banyak sekali dimasa ini orang-orang yang malas dan memilih jalan pintas hanya untuk bisa makan. Apalagi saya lihat ananda lebih terlihat sebagai orang yang berada," Petani itu menjelaskan.

Suro tersenyum mendengar keterangan dari petani. Kemudian ia menghela nafas panjang.

"Baiklah bapak, sepertinya saya harus memburu waktu agar bisa tiba lebih cepat. Barangkali saja tempat makan itu masih buka."

Petani itu langsung memegang tangan Suro dengan sigap, mencoba menahan Suro dari posisinya yang akan berbalik.

"Ananda saya lihat bukan orang jahat. Dari pada terjadi sesuatu hal di jalan, alangkah baiknya jika makan dan menginap di tempat bapak saja," kalimatnya terdengar tulus pada Suro, membuat pemuda itu ragu.

Tetapi dalam hati sebenarnya ia merasa tidak enak, apalagi ia membawa rombongan keluarganya tentunya akan menjadi beban lelaki itu.

"Terima kasih, pak. Saya tak bisa merepotkan bapak. Saya sangat menghargainya," Suro berusaha mencari kalimat yang sopan agar lelaki itu tidak tersinggung karena tawaran baiknya ia tolak.

Melihat Suro kukuh menolaknya, si petani hanya bisa menggelengkan kepalanya beberapa kali. Walau pun pemuda dihadapannya adalah orang yang baru dilihatnya, ia merasa kasihan dan khawatir.

"Hmm," si petani menghela nafas, memandang Suro sebentar sebelum berkata lagi, "Baiklah jika demikian, bapak tak bisa menahanmu. Berhati-hatilah di jalan, semoga ananda selamat sampai tujuan."

Tak lama kemudian, mereka pun berpisah di waktu yang sudah hampir-hampir gelap.

Tanpa Suro sadari, ada satu sosok tubuh berada tak jauh selalu mengiringi perjalanan Suro. Wajahnya sebagian tertutup kain berwarna hitam secara menyilang, hingga menyisakan satu bagian mata kanannya yang terlihat, bersama hidung dan mulutnya.

Selama menempuh perjalanan, Suro merasakan suasana yang berbeda dengan suasana sewaktu ia masih di negeri China. Waktu-waktu demikian, dinegerinya ini suasana lebih gelap dan sepi dengan hanya penerangan obor dari rumah warga yang agak berjauhan.

Maka wajar saja jika banyak kejahatan di saat-saat seperti ini.

Di saat kereta Suro yang ia bawa berjalan perlahan menyusuri jalanan yang memotong kebun sayur-sayuran, beberapa bayangan muncul dari kiri-kanan jalan dengan gerakan santai, lalu berdiri menghadang hingga Suro pun langsung menghentikan kendaraannya.

Dari pandangan matanya, samar-samar ia masih bisa melihat 5 sosok tubuh tinggi besar berwajah sangar dengan masing-masing golok di tangan mereka, berdiri menyeringai menatapnya.

Mereka bergerak mendekat sambil memutar-mutar goloknya kesana kemari dibarengi suara tawa seringai yang berat mereka untuk menakut-nakuti Suro.

Suro tersenyum, ia sudah terbiasa menghadapi pertarungan.

Ia menoleh ke belakang, "Tetaplah santai dan jangan menampakkan diri, ya."

"Mau kemana sampeyan?" tanya salah satu dari mereka, tangannya bersandar pada sisi kereta.

"Mau ke pasar, kang," jawab Suro tenang.

"Owh..... Kalau mau ke pasar, boleh saja. Tetapi harus bayar upeti dulu biar selamat," katanya lagi.

Pemuda itu tertawa kecil, kesannya meremehkan membuat para lelaki yang menghadangnya menampakkan raut wajah tak senang.

"Kamu ini mau menantang, ya!?" bentaknya, "Ditanya malah cengengesan!"

Ah, pembegal kroco! Barangkali demikian Suro mengumpat dalam hati. Ia juga agak dongkol karena perjalanannya terganggu. Niatnya terus melakukan perjalanan adalah agar cepat sampai, tak mengira kalau ada orang-orang yang menghambat perjalanannya.

"Jika kakang sekalian mau merampok saya, mohon maaf. Saya sedang buru-buru, jadi tidak ada barang rampokan yang bisa kakang ambil dari saya!" jawab Suro sekenanya.

Mereka saling pandang, memberi isyarat satu sama lain untuk melakukan tindakan.

"Turun kau! Tak sopan berbicara di situ denganku!" perintah lelaki yang dari awal berbicara.

Suro pun dengan segera langsung turun dari keretanya, lalu berdiri sangat dekat dengan lelaki itu.

Tanpa bicara lagi, lelaki perampok itu langsung menusukkan goloknya ke perut Suro. Suro Cuma melakukan gerakan memegang tangan lelaki yang memegang golok itu dan memutarkannya dengan cepat hingga golok itu terlepas. Lalu menggeser kakinya ke samping dan kaki lainnya menjegal kaki lelaki itu, dan...

Buk!

Si pembegal terbanting ke depan dengan wajah mencium tanah, buru-buru kaki Suro menginjak punggung si lelaki itu hingga tak dapat bangkit dari jatuhnya.

Melihat kawannya ditaklukkan begitu mudah, membuat empat kawannya saling pandang dengan wajah pucat ketakutan. Mereka salah memilihi korban.

"Mau seperti kakang ini?" Suro berkata sambil tersenyum sinis, menjejakkan kakinya lagi lebih kuat hingga lelaki yang diinjaknya itu berteriak kesakitan dan terlihat sesak nafas.

"Ampun tuan! Ampun!" erangnya dengan suara tertahan dan berat.

Merasa tak ingin panjang lebar meladeni para perampok itu, Suro pun langsung mengangkat kakinya. Kesempatan itu tak disia-siakan oleh lelaki itu yang segera menggulingkan diri menjauh dari Suro.

Dari jarak yang cukup aman, ia langsung berdiri dan memandang Suro ketakutan. Lalu tanpa basa-basi lagi mereka serempak berbalik arah dan melarikan diri dengan cepat.

"Kakak," terdengar suara dari dalam kereta, "Apakah bermain-mainnya sudah selesai? Kami lapar."

Suro menoleh ke arah kereta, itu adalah suara Yang Li Yun.

Ia pun tersenyum sambil menggelengkan kepala, lalu membatin, "Bermain-main?"

"Ia sayang!" jawabnya sembari melangkah mendekati kereta.

Lalu, satu sosok kepala berkerudung mencuat dari jendela kereta, "Apa tidak lebih baik kita bermalam di sekitar sini. Sekaligus memasak makanan dengan bahan yang ada?"

Suro langsung memencet hidung Li Yun dengan gemas sambil tertawa.

"Baiklah kalau begitu," katanya.

Setelah menepikan kereta kudanya, mereka pun beristirahat dengan membuat api unggun untuk memasak.

Baru saja api yang dinyalakan Suro menyala, tiba-tiba Rou Yi berteriak histeris sambil menunjuk sesuatu dengan wajah ketakutan dan menutup wajahnya dengan kerudung. Sontak Suro terkejut dan langsung mengarahkan pandangan matanya ke tempat jari Rou Yi menunjuk.

Satu sosok tubuh lelaki berambut panjang terurai dan sebagian matanya tertutup kain warna hitam tiba-tiba berdiri tak jauh dari tempat mereka membuat api unggun.

Nyala api unggun cukup jelas untuk menerangi sosok tubuh itu dengan senyum datarnya. Matanya memandang ke arah mereka dengan pandangan mata tajam.

Suro pun berdiri dengan tenang, terpisah jarak mereka sekitar 5 atau 6 langkah.

Tanpa bicara, sosok lelaki itu langsung membuka kaki dan tangannya membentuk sebuah persiapan pertarungan.

"Oh! Kuda-kuda itu?... Kain hitam itu?" Suro membatin, matanya agak terbelalak.