webnovel

Pendekar Lembah Damai

Suro terdiam dibalik tubuh kaku Ki Ronggo, satu-satunya jalan supaya nyawanya bisa bertahan lebih lama adalah dengan diam tidak bergerak. Padahal ia berharap bisa mellihat wajah dan mengingat para penyerangnya, hingga kelak jika ia masih hidup dan berumur panjang, akan menuntut balas atas semua yang terjadi malam itu. “Kang Wulung!” seru satu suara lainnya, “Apa tindakan selanjutnya?” Sejenak tak ada suara, hanya langkah-langkah kaki yang berderap kesana kemari. “Anak-anak! Bakar tempat ini!!!” perintah dari orang yang dipanggil dengan sebutan Kang Wulung, yang disahut dengan suara gemuruh banyak orang. Tak lama, suasana malam menjadi terang benderang dengan cahaya merah, Suro terdiam dibalik tubuh kaku Ki Ronggo, satu-satunya jalan supaya nyawanya bisa bertahan lebih lama adalah dengan diam tidak bergerak. Padahal ia berharap bisa mellihat wajah dan mengingat para penyerangnya, hingga kelak jika ia masih hidup dan berumur panjang, akan menuntut balas atas semua yang terjadi malam itu. Perjalanan seorang remaja, hingga dewasa di negeri yang jauh dari tempat kelahirannya. Takdir memaksanya menjalani hidup dalam biara Shaolin. Suatu saat ketika ia akan pulang ke kampung halamannya, ia harus bisa mengalahkan gurunya sendiri dalam sebuah pertarungan.

Deddy_Eko_Wahyudi · Action
Not enough ratings
112 Chs

Keluarga Baru

Matahari pagi menyeruak dibarengi udara pagi yang segar masuk dari jendela ruangan yang terbuka. Sinarnya yang menyilaukan tepat menimpa kepala remaja yang sedang terbaring di pembaringan. Merasa adanya rasa hangat dan silau, perlahan remaja itu membuka matanya, dan seolah baru menyadari kalau ia sedang berada di atas dipembaringan dalam keadaan berselimut. Tampak Ia termenung sejenak, berusaha mengumpulkan kesadaran antara mimpi dan kenyataan, kepalanya sedikit pening.

Meskipun pandangannya masih kabur, samar-samar ia dapat melihat keadaan sekeliling ruangan dimana ia terbaring saat itu. Semerbak bau wewangian rempah-rempah yang dibakar tercium dihidungnya.

"Oh, aku belum mati?" Pikirnya.

Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, masih terasa berat dan ngilu, ia mengernyitkan dahi ketika dirasakannya bekas luka tusukan anak panah dibahu kirinya berdenyut. Spontan dipegangnya bahunya dan Ia terkejut, bahunya yang terluka sudah dalam keadaan dibalut kain.

"Ada yang menyelamatkanku?" Pikirnya lagi.

Nampaknya, Suro sedang berada di sebuah kamar yang cukup lega, dengan sebuah meja yang diatasnya terdapat sebuah mangkuk dan tepat disebelahnya terdapat sebuah kendi yang mengeluarkan asap putih tipis. Dari asap putih yang keluar inilah bau wangi rempah itu berasal.

"Pak!" satu suara perempuan terdengar berseru.

Lalu memasuki kamar dan berjalan cepat ke pembaringan Suro. Hal itu tentu saja mengagetkan Suro yang tengah asyik mencari kesadaran keadaannya.

"Anak itu sudah sadar!" serunya lagi dengan raut wajah tersenyum gembira.

"Oh, sebentar!" satu suara lelaki terdengar, lalu disusul suara langkah kaki mendekat ke kamar.

"Sudah sadar rupanya," ucapnya diiringi senyum gembira

Pandangan Suro mulai membaik, ia melihat sesosok lelaki setengah baya ditemani seorang perempuan yang juga berumur tak jauh beda mengambil sebuah mangkuk di atas meja, lalu menarik kursi yang ada di dekat meja lalu duduk disamping pembaringan dekat kepalanya.

"Bapak menyelamatkan saya?" tanya Suro.

"Mari, bangunlah secara perlahan dan hati-hati, lalu minum obat ini," katanya tanpa membalas pertanyaan Suro.

Suro menurut, perlahan ia beringsut duduk dipembaringan dibantu oleh lelaki itu, dan ketika posisi sudah tegak, lelaki itu mendekatkan bibir mangkuk ke mulut Suro sambil memberi isyarat untuk minum cairan yang berada dalam mangkuk.

Pahit.... tapi tetap saja ia paksakan untuk meminumnya hingga habis. Ia yakin, cairan yang diberikan kepadanya itu adalah semacam obat.

"Sudah tiga hari ini kamu pingsan. Bapak lihat, kamu terkena anak panah yang dibubuhi racun. Badanmu demam tinggi. Untunglah belum terlambat, dan kebetulan banyak tanaman obat disekitar sini yang bisa digunakan untuk menetraslisir racun," ucap perempuan itu kemudian.

"Bapak lihat pagi itu tubuhmu tersangkut batang pohon ditepi sungai, sepertinya kamu terhanyut dari sungai dekat padepokan di Lembah Damai." Sambung si lelaki.

Suro menarik nafas panjang, rasa pahitnya mulai menyebar dan memenuhi saluran nafasnya. Untuk mengatasinya, ia mengubah posisi duduknya agar dadanya terasa lebih nyaman.

"Tiga hari?" batinnya,"pantas aku merasa lapar."

Tiba-tiba, ia teringat kejadian malam itu. Suro berhasil menyeret tubuhnya sedikit-demi sedikit dari tindihan jasad Ki Ronggo, sesaat sebelum bangunan padepokan habis terbakar, lalu berguling sejauh-jauhnya menghindari kobaran api. Dalam perjuangannya menyelamatkan diri, tubuhnya sempat terbakar, namun tak begitu parah. Ia berhasil melarikan diri, hingga sampai di tepi sungai, ia tak sadar bahwa ia menggulingkan diri tanpa tahu bahwa dirinya sudah terjatuh ke dalam sungai dan saat itulah batas ia mampu mengingatnya.

"Maaf, Bapak dan ibu ini siapa, nggih?" tanya Suro.

"Panggil saja saya pak Dawung dan ini istri saya," jawabnya,"Saya kebetulan sedang mencari ikan dipinggir sungai waktu itu...."

"Saya Suro, pak," katanya, "Suro Bawu"

"Lho, apakah kamu anaknya Ki Ronggo Bawu?"

Suro memandang wajah pak Dawung, rupanya lelaki itu mengenal Ki Ronggo, gurunya.

"Bukan, pak. Beliau guru saya. Cuma saya ingin menambahkan namanya dibelakang nama saya sebagai kenangan atas kematiannya?"

"Wafat?" tanyanya spontan, "Beliau itu sungguh orang yang baik."

Sambil berkata demikian, pak Dawung nampak menghela nafas, "Lalu bagaimana beliau bisa wafat?"

Suro pun secara runtut menceritakan peristiwa yang terjadi sampai akhirnya ia terjatuh ke sungai dan ditemukan oleh pak Dawung.

Sambil mendengarkan penuturan Suro, lelaki itu berkali-kali menggeleng-gelengkan kepalanya, tanda turut merasakan peristiwa yang terjadi malam itu, berkali-kali pula ia menghela nafas panjang, seolah ada rasa marah yang menimbulkan sesak dadanya.

***

Rumah keluarga pak Dawung tidak terlalu besar, berbentuk panggung berdinding potongan-potongan bambu dan beratapkan daun rumbia. Letaknya tidak jauh dari sungai dimana tubuh Suro ditemukan.

Di halaman belakang, Pak Dawung bercocok tanam berbagai macam sayuran dan buah-buahan yang tumbuh dengan subur dan disitulah pak Dawung bekerja sebagai petani.

Sudah beberapa hari Suro tinggal di rumah pak Dawung. Keadaannya kini sudah semakin membaik. Bekas luka bakar dan tusukan anak panah juga sudah mulai kering dan menutup. Rupanya pak Dawung, selain bertani juga ahli dalam pengobatan menggunakan tanaman sekitar, jadi sangat beruntunglah Suro kala itu bisa selamat dari kematian akibat racun yang dibubuhkan pada anak panah.

Pagi itu cuaca sangat cerah, Ia membantu pak Dawung dan istrinya membersihkan tumbuhan pengganggu pada ladang atau kebun yang sedang dikerjakan oleh keluarga pak Dawung.

"Dua pekan lagi, tanaman ini bisa dipanen, dan akan dijual ke kota," ujar pak Dawung sambil tangannya bergerak lincah mencabuti beberapa tanaman semak pengganggu.

"Seberapa jauh menuju kota, pak?" tanya Suro.

"Jika berangkat tengah malam, pagi hari sudah sampai di kota," katanya,

"Kalo sebanyak ini, sayuran yang akan dipanen, bagaimana mengangkutnya?"

"Menggunakan perahu." Jawab pak Dawung.

Suro berfikir, setelah padepokan tempat ia tinggal hancur terbakar, tak ada lagi tempat baginya untuk berteduh. Saat ini, ia tak ingin mejadi beban keluarga pak Dawung. Suatu saat, jika kondisi memungkinkan, ia berniat untuk tidak berlama-lama tinggal ditempat itu. Maka sementara menunggu apa yang harus dilakukan selanjutnya, ia harus membantu keluarga itu.

"Bolehkah saya ikut ke kota, pak?" tanyanya.

Pak Dawung menghentikan kegiatannya, lalu memandangi tubuh Suro dari ujung kaki sampai kepala. Pakaiannya nampak basah kuyup dengan keringat.

"Saya ingin membantu bapak membawakan hasil panen ini nantinya."

"Apakah kondisimu sudah baikan?"

Suro tersenyum,"Alhamdulillah, Saat ini nyerinya sudah sangat jauh berkurang, ramuan yang bapak berikan mempunyai efek yang bagus buat luka dan kesehatan saya. Saya yakin, begitu saat panen tiba, kondisi tubuh saya sudah pulih total."

Pak Dawung tertawa ringan, tampaknya ia senang mendengar jawaban Suro.

"Tentu saja boleh," jawabnya, "Bapak akan sangat bersyukur jika ada yang menemani. Malah bapak berharap kamu bisa tinggal disini, itu pun jika kamu tidak ada rencana lain."

Suro tak langsung menanggapi perkataan pak dawung. Sekali lagi, jelas ia tak bisa tinggal menetap bersama keluarga itu. Fikirannya, suatu saat ia harus mencari orang yang telah membakar padepokan Kantil Putih untuk membalas dendam.

"Saya belum ada rencana lain, pak. Tapi sementara, saya minta izin akan tinggal di sini untuk beberapa waktu..."

Pak Dawung memegang bahu Suro, lalu berkata, "Tinggallah disini bersama kami, seberapa lama kamu suka. Kami tidak keberatan."

Suro tersenyum, dia hanya mengangguk ringan.

***

Malam itu langit cerah, bulan tampak memancarkan penuh cahayanya dan bintang pun bertebaran memenuhi langit.

Setelah Isya, Suro berdiri di halaman depan rumah keluarga pak Dawung. Dia berdiri tegak dan diam, mengatur irama nafas, berkonsentrasi pada rasa dan telinganya berusaha mendapatkan suara degup jantunngnya. Perlahan ia mulai bergerak, sangat lembut seperti orang sedang menari.

Gerakan ini bertujuan mencari dan menelusuri titik-titik sendi yang terasa nyeri. Jika ditemukan titik nyeri, ia hentikan gerakannya dan kembali diam mengalirkan tenaga dalam hangat ke titik itu. Demikian terus menerus dilakukannya.

Sekira beberapa saat setelah semuanya teratasi, Ia pun kembali diam dengan posisi berdiri seperti diawal sambil menghela nafas pendek, lalu menyeleraskan irama nafasnya.

Tiba-tiba, ia menggerakkan tubuhnya, tangannya memukul dan menyabet kesana kemari, sesekali dibarengi dengan tendangan yang sangat cepat dan penuh tenaga. Ada sepuluh gerakan yang ia lakukan, lalu ia ulangi lagi beberapa kali. Demikian seterusnya.

Gerakan ini merupakan jurus dasar tingkat pertama, terdiri dari sepuluh gerakan kombinasi pukulan dan tendangan dengan posisi kuda-kuda berbeda. Tujuannya adalah melatih seseorang terbiasa untuk melakukan serangan dalam bentuk kuda-kuda apa pun.

Jurusnya sederhana dan tidak panjang, sekitar sepuluh gerakan yang terangkai. Jika seseorang sudah menguasai gerakan ini, dan hatinya tidak sabar, tentu ia akan merasa bosan mengulang-ulang jurus ini.

Pertama kali latihan, Suro pun merasakan hal yang demikian, tidak hanya dia, rekan-rekannya yang lain juga merasakan hal itu. Bosan dan ingin melanjutkan jurus berikutnya. Tapi ia teringat pesan Almarhum Ki Ronggo, gurunya. Buat apa belajar ratusan jurus tetapi hanya mendapatkan satu keahlian, lebih baik belajar satu jurus tetapi mendapatkan seratus keahlian.

Setelah cukup lama Suro memainkan jurus itu berulang-ulang tanpa putus, di akhir gerakan ia kembali ke posisi diamnya semula dan mengatur nafasnya yang tersengal-sengal.

Beberapa saat kemudian, ia kembali bergerak, tapi dengan jurus yang berbeda. Kali ini, gerakannya lebih banyak dan bervariasi, turun naik, kadang cepat kadang lambat, dan ketika lembut, selalu dilanjutkan dengan serangan mendadak. Bentuk dan gerakan telapak tangannya pun berbeda. Pada jurus sebelumnya, posisi tangan selalu mengepal dan kaku. Tetapi kali ini nampak luwes membentuk seperti kelopak bunga yang mekar, dan berayun tertiup angin.

Ada sesuatu yang membuat jurus ini berbeda, setiap Suro melakukan gerakan menyerang, dari tangannya membentuk udara padat yang kemudian keluar sesuai arah dimana sasaran serangan itu. Kini tubuh Suro penuh diliputi tenaga dalam.

Jurus ini pun ia lakukan berulang-ulang tanpa putus.