webnovel

Pendekar Dewa Abadi

Ho Chen ditakdirkan memiliki kekuatan di atas alam Dewa, dia berguru kepada Feng Ying yang menjadi legenda di masa lalu. Namun untuk mencapai kekuatan tersebut tidaklah mudah. Dengan berlatih di bawah bimbingan Feng Ying, Ho Chen telah berhasil menjadi pendekar hebat di usia yang masih muda. Pada saat itulah gurunya memberi ujian untuk pergi berpetualang, petualangan yang akan memulai semuanya...

ASSS · Eastern
Not enough ratings
9 Chs

Penyerangan Desa Air Bukit

"Suara apa itu...?" Ho Jun bangun saat mendengar teriakan di luar rumah.

Saat dia berniat keluar untuk memeriksa asal suara itu dan sebelum sempat melangkah, terlihat 5 orang masuk kedalam rumah.

"Sayang ada ap...!?" suara Wei Shuan terhenti ketika sebuah pedang mengarah padanya.

"Jangan sakiti dia!" seru Ho Jun saat menyadari istrinya dalam bahaya.

"Tidak perlu khawatir, kalian semua akan kami bunuh..!" salah seorang berbicara sambil menatap ke arah pintu kamar.

Dia berjalan ke arah pintu kamar untuk memeriksa ke dalam. Sebelum dia sampai ke pintu kamar, Wei Shuan langsung berlari dan mendorong orang itu sekuat tenaganya sehingga orang itu yang belum siap langsung terdorong mundur dan menabrak sudut meja.

"Kau..!" pria itu bersuara geram.

Tentu Wei Shuan tidak akan membiarkan orang itu masuk ke kamar, karena Ho Chen ada di dalamnya.

Demi melindungi anaknya, Wei Shuan akan melakukan apapun, biarpun nyawanya sebagai taruhannya.

Tanpa basa basi pria bertopeng yang didorong tadi mengayunkan pedangnya ke leher Wei Shuan. Seketika itu darah segar menyembur keluar dengan deras, bahkan Wei Shuan belum sempat menghindar atau berteriak.

"Matilah kamu wanita ******...!"

tidak puas dengan menebas leher Wei Shuan, pria itu menebas ke seluruh tubuh Wei Shuan, sehingga tubuhnya koyak dan berlumuran darah. Wei Shuan jatuh dan tewas seketika itu juga.

"Tidaak..!" Ho Jun yang melihat semua itu berteriak histeris.

Ho Jun mengamuk kehilangan akal sehatnya, dan menyerang secara membabibuta. Dan mereka segera berusaha melenyapkan Ho Jun.

Dengan kondisi Ho Jun yang seperti kesurupan, dia berhasil membunuh salah satu yang paling dekat dengannya.

Siapa sangka Ho Jun akan mengamuk sehingga orang yang paling dekat tidak siap dengan pergerakan Ho Jun yang menyerang secara tiba-tiba.

"Kurang ajar..!" pria yang membunuh Wei Shuan segera maju dan menyerang Ho Jun dan diikuti oleh ketiga temannya.

Perbedaan sangat jelas terlihat. Ho Jun hanyalah orang biasa, sedangkan mereka adalah pendekar. Dalam waktu singkat, Ho Jun mendapatkan luka tebasan yang sangat banyak, salah satu kakinya terpotong. Ho Jun pun tumbang karena kehabisan darah dan rasa sakit akibat lukanya.

"Kakak kenapa kamu membunuh wanita itu? Wanita itu sangat cantik, kalau kita bawa dan memberikan kepada ketua pasti ketua sangat senang," salah seorang melihat kembali tubuh Wei Shuan yang sudah tidak bernyawa.

"Kamu pikir Darah Iblis seperti ketua suka sama wanita murahan seperti itu," pria yang membunuh Wei Shuan membantah omongan rekannya.

"Kalau ketua tidak mau, kan masih ada kita-kita yang bisa menikmatinya! Hihihihi," yang lain juga berseru.

"Sudah-sudah, ayo kita pergi! Sepertinya rumah ini tidak memiliki apa apa untuk di ambil. Jangan lupa sekalian bakar rumah ini!." pria itu meninggalkan Ho Jun yang masih hidup namun sangat kritis.

Mereka membakar rumah Ho Jun dan bergegas pergi untuk mencari rumah-rumah yang lebih besar.

Dalam kondisi kritis, Ho Jun berusaha merayap mendekati jenazah istrinya, dengan sekuat sisa tenaganya.

"Kenapa tiba-tiba rasanya panas?" Ho Chen yang tidur di kamar merasakan hawa panas. dia segera membuka mata dan bangun.

Dia masih bingung menatap dinding kamarnya yang terbakar. Beberapa detik kemudian dia baru tersadar dan kaget. "Oh tidak rumahku kebakaran,"

Ho Chen segera bangkit dari tempat tidurnya, dan berlari keluar sambil memanggil ayah dan ibunya.

"Ayah...!! Ibu....!! Kalian di mana..?" Ho Chen membuka pintu dan berlari keluar kamar. Karena api belum terlalu besar Ho Chen masih bisa bergerak dengan leluasa.

Dia berlari keluar dari pintu menoleh ke kamar orang tuanya, baru beberapa langka, dia tersandung benda lembut. Ho Chen langsung terjatuh dan wajahnya jatuh tepat di samping muka ibunya yang sudah tidak bernyawa.

"Ibu....!?" Ho Chen diam beberapa saat sambil menatap wajah ibunya yang sudah tidak bernyawa, sebelum memanggil ibunya kembali.

"Ibu...! Bangun bu...! Ibu...!" Ho Chen mengguncang-guncang tubuh Wei Shuan, berharap ibunya agar bangun, walaupun itu tidak mungkin terjadi. Ho Chen tahu kalau ibunya sudah meninggal, namun dia belum siap untuk melihat kenyataan secepat itu.

"Chen..'er..!" Ho Jun dengan susah payah baru bisa sampai ke samping istrinya, dia melihat anaknya yang memegang tubuh Wei Shuan.

"Ayah...!" belum selesai Ho Chen menerima kenyataan atas kematian ibunya, kini dia melihat ayahnya juga mengalami hal serupa.

"Chen..'er.. maaf kan..Ayah tidak.. bisa menemani mu... lebih.. lama.. lagi," suara Ho Jun terputus putus, namun masih berusaha untuk berbicara kepada anaknya.

Ho Jun merasa sedih. Sebab setelah ini, Ho Chen yang masih anak anak dan membutuhkan bimbingan kedua orang tuanya untuk hidup, kini harus menjalani hidupnya seorang diri.

Ho Jun mengambil kalung yang ada dijubah Wei Shuan. Kalung itu adalah kalung mahar saat melamar Wei Shuan.

"Chen..'er bawa.. lah kalung ini..! Ini.. seba... gai pengganti.. Ayah dan Ibu,"

Ho Jun meraih wajah anaknya sekali lagi, dia tidak rela meninggalkan anaknya seorang diri.

"Ayah.... Ayah akan baik baik saja, bertahan lah!" Ho Chen meneteskan air mata, berusaha memberi semangat kepada ayahnya agar tetap hidup.

"Pergilah.. chen'er, jangan sam.. pai anggota.. darah iblis.. mem.. bunuh mu!"

"Tidak Ayah, aku.. aku.. aku tidak akan meninggalkan Ayah...!" Ho Chen tidak mau berpisah, biar maut menjemputnya sekalipun.

"Uhuk.. uhuk.. uhuk," Ho Jun batuk dan mengeluarkan banyak darah dari mulutnya, nafasnya semakin lemah, dia memegang tangan Ho Chen.

"Chen'er.... kami.. menya.. yangi.. m...!" genggaman Ho Jun terlepas, tangannya terjatuh, dan matanya tertutup. Terlihat air mata mengalir dimatanya saat tertutup,

"Ayah!!!" Ho Chen berusaha membangunkan ayahnya kembali.

"Ayah bangun Ayah..! hik.. hiiik.. Ayah bangun. ayah berjanji mau pergi memancing denganku besok, bangun Ayah...!" Ho Chen berusaha membangunkan ayahnya dengan mengatakan janji yang ayahnya katakan. Namun seperti apapun usaha yang dilakukannya tidak ada perubahan.

Situasi jadi hening. Ho Chen duduk melihat wajah kedua orang tuanya. Dia mengingat kembali kenangan beberapa saat ketika bercanda.

Saat sang Ayah membelah kayu, saat bertanya cita-cita masa depan, dan saat ingin berangkat pergi memancing bersama ke sungai. semua sungguh indah.

Terlintas kembali bayangan ibunya yang tersenyum lembut, dimana saat sang Ibu mengelus rambutnya, memeluk hangat dan penuh kasih sayang yang diberikan ibunya, sampai Ho Chen tersadar ucapan ibunya.

"Selamat malam nak, tidur yang nyenyak, saat kamu bangun nanti jangan pernah ada kesedihan diwajahmu," tidak Ho Chen duga kalau itu kata-kata terakhir yang akan dia dengar dari ibunya.

Ho Chen merasa dadanya sangat sakit, rasa sakit yang tidak pernah dirasakan sebelumnya. Hatinya terasa hancur bagai di sayat-sayat oleh ratusan pedang. Ho Chen tidak peduli dengan api yang semakin membesar.

"Aaaaaaaaa....!" Ho Chen berteriak sekuat tenaga untuk mengeluarkan semua rasa sedihnya. Dia menangis sangat keras, sampai terdengar oleh para pembunuh bertopeng.

"Hei..! Kenapa masih ada yang hidup? Cepat kalian periksa, kalau memang ada yang masih hidup segera bunuh..!" perintah salah satu orang yang terlihat seperti ketua rombongan.

"Biar saya saja tuan yang memeriksanya." salah satu menawarkan diri untuk pergi.

"Hem.. pergilah dan selesaikan dengan cepat!" pria itu mengibaskan tangannya.

Segera orang yang diperintahkan pergi meninggalkan kelompok itu, dia bergerak cepat menuju rumah yang sedang terbakar sebagian.

"Ternyata hanya seorang bocah kecil," begitu sampai di dalam, dia melihat Ho Chen yang duduk sambil memegang wajah kedua mayat yang terbaring.

"Tidak perlu bersedih bocah kecil, kamu akan segera menyusul mereka," Pria itu mengangkat pedangnya dan berniat menebas leher Ho Chen, sedangkan Ho Chen tidak peduli terhadap situasi yang dihadapinya.

"Matilah kau bocah! Hahahaha," pria itu tertawa lantang, dan dengan cepat dia mengayunkan pedang itu ke leher Ho Chen.

Namun sebelum pedang itu sampai dileher Ho Chen, pandangan pria itu menjadi gelap, dan tubuhnya jatuh, sedangkan kepalanya terlepas. Terlihat jelas dari matanya kalau dia bingung apa yang terjadi terhadap dirinya.

Seorang pria sepuh, janggut putih sedikit panjang, memakai jubah putih dan 3 garis warna hijau tipis dilenganya sedang berdiri di belakang mayat pria bertopeng.

Dia melirik anak laki-laki yang sedang duduk menangis. Tidak lama anak itu tidak sadarkan diri akibat asap dan kelelahan mental.