1 1| Diusir dari Apartemen dan Kehilangan Pekerjaan

Dua buah tas perjalanan besar warna hitam dilemparkan ke jalanan beraspal yang baru selesai diguyur hujan. Salah satu tas itu menggelinding dua kali sebelum berhenti tepat di depan sepasang kaki seorang gadis.

Gadis bermantel hitam selutut yang berdiri di tengah jalan itu menunduk dan memeriksa tas di depan kakinya.

"Ini tasku, brengsek!" geramnya. "Siapa yang berani melakukan ini pada barang-barangku?" ujarnya kesal sambil berdiri lagi menatap ke arah pintu apartemennya yang sudah terbuka.

Sejumlah buku, pakaian, dan benda lain terlihat masih dilemparkan ke jalanan begitu saja. Omelan dan umpatan terdengar dari apartemen tua milik sang gadis.

Karena kesal barang-barang pribadinya dibuang ke jalanan, gadis itu segera berlari untuk memeriksa pelakunya. Dari dalam apartemennya muncul seorang perempuan gemuk yang sedang marah dan mengumpat sambil membawa benda terakhir milik si gadis.

"Nyonya Puff? Apa yang Anda lakukan di rumah saya?" protes gadis itu kesal.

"Apa yang aku lakukan, katamu? Apa matamu buta? Jelas kau melihat aku tengah membersihkan apartemen ini untuk kusewakan pada orang lain!" teriak Puff dengan tangan menuding.

Gadis itu sampai kesulitan berbicara saking terkejutnya. "Anda sudah melanggar privasi saya. Anda masuk ke rumah saya tanpa izin dan menghancurkan barang-barang pribadi saya!" protesnya.

"Dasar gadis tolol! Kau sudah menunggak biaya sewa selama enam bulan berturut-turut dan sekarang kau mengeluh padaku?"

"Tapi, Nyonya Puff, tidak seperti ini seharusnya! Aku pasti akan membayar uang sewa!" ujar gadis itu sambil memunguti kembali barang-barang agar tak basah.

"Setiap hari selama sebulan terakhir, kau selalu mengatakan hal yang sama padaku! Semua janjimu palsu! Aku sudah muak padamu, Babi Kecil! Sebaiknya singkirkan barang-barang menjijikkanmu itu dan angkat kakimu dari sini!"

Braak!

Pintu apartemen tua itu dibanting oleh Nyonya Puff di depan mata sang gadis dan menguncinya dari luar. Perempuan gemuk itu berjalan dengan susah payah meninggalkan si gadis seorang diri dengan air mata yang berderai.

"Rain?" tegur salah satu tetangga gadis itu. "Kau baik-baik saja?" Pemuda yang datang dengan sepeda itu membantu memunguti barang-barang Rain yang berserakan di jalanan.

Rain hanya bisa menangis sesenggukan. "Ya, aku baik-baik saja, Ben! Abaikan saja aku," ujar Rain sambil memungut kembali barang-barangnya dan memasukkan ke dalam tas.

Seluruh penghuni apartemen tua itu memperhatikan Rain dengan tatapan datar. Tak ada satupun dari mereka yang merasa iba atau turun tangan untuk membantu gadis itu.

"Kamu bisa menginap di tempatku malam ini," tawar Ben.

"Tidak, Ben, terima kasih. Aku sudah terlalu banyak merepotkanmu. Nyonya Puff pasti tak akan suka jika masih melihatku berkeliaran di sekitar sini."

"Dia tidak berhak melakukan itu!" seru Ben. "Aku sudah menyewanya. Aku bebas membawa siapa saja ke sana termasuk kau!"

"Ya, justru itu tidak akan bagus untukmu, Ben. Apa kata kekasihmu nanti saat tiba-tiba dia berkunjung dan melihat aku dengan seluruh barang-barangku ada di apartemenmu?"

"Astaga, Rain, kau tahu aku tak ada kekasih atau wanita manapun yang akan datang ke tempat bobrok ini! Ayolah, aku bantu membawa barang-barangmu ke tempatku!"

Ben berdiri dan memunguti tas serta benda-benda Rain yang berserakan di jalan. Ben membawanya masuk ke apartemennya sendiri. Pemuda itu tak peduli meski Rain terus menolak dan berusaha mencegahnya untuk mengangkuti barang-barang itu ke apartemennya.

Rain hanya berdiri mematung di tengah jalan sambil menatap punggung Ben yang menjauh. Pemuda itu berjalan susah payah dengan dua tas besar di tangannya. Di langit, awan mendung masih bergayut. Angin yang mengandung uap air tiba-tiba berhembus sangat kencang.

Rain memaki karena rok selututnya hampir tersingkap. Dia tahan ujung rok itu dengan kedua tangan. Rambut ikal panjangnya yang kecokelatan juga awut-awutan.

"Astaga, jika tak ada Ben, mungkin malam ini aku akan menjadi gelandangan dan harus tidur di emperan toko."

Sejumlah sampah bergulung-gulung karena tersapu angin. Saat Rain mencoba berlari menyusul Ben ke apartemen, langkah Rain sekali lagi terhenti. Selembar surat kabar lama yang tersapu angin membelit kakinya.

Rain memungut surat kabar itu dan menyelipkan ke kantung mantelnya begitu saja. Akan aku buang saat menemukan tempat sampah, pikirnya.

Rain melongok ke balik pintu apartemen Ben. Ruangan sempit itu seketika menjadi semakin sempit dengan tumpukan barang-barang milik Rain.

"Aku berjanji akan segera menemukan tempat baru!" Rain mengucapkannya dengan nada malu-malu dan rasa sungkan pada Ben.

"Oh, ayolah, Rain. Kau seolah-olah berhadapan dengan orang asing saja? Kita sudah lama berteman. Aku mengerti kesulitanmu. Kau bebas tinggal di sini sampai kapan pun kau mau."

Rain segera mengangkat tangan. "Tidak, Ben, aku tak akan merepotkanmu sejauh itu. Jika boleh, aku hanya akan titip beberapa barangku saja di sini. Jika aku sudah mendapat tempat baru, aku pasti akan mengambilnya."

"Di mana kau akan tinggal malam ini?"

"Ah, itu mudah. Aku bisa tidur di tempat kerja. Besok jadwalku kerja pagi. Jadi, malam ini aku bisa kembali ke sana dan numpang tidur."

"Kau yakin?" Ben sangat khawatir.

"Ya. Besok aku pasti akan dapat tempat baru."

"Baiklah, aku hargai keputusanmu. Kau pasti belum makan, kan? Aku ke bawah untuk membeli beberapa bahan. Aku akan masak untuk kita. Kau istirahatlah dulu."

"Aku pinjam kamar mandimu."

"Pakailah sesukamu."

Rain masuk ke kamar mandi dan membuka keran air. Dia embuskan napas lega hingga terbentuk embun di permukaan cermin. Dia benar-benar tak tahu harus ke mana malam ini. Dia hanya basa basi soal menginap di tempat kerja.

Sebenarnya, hari ini dia sudah dipecat dari tempat kerja. Rain sungguh ditimpa kesialan bertubi-tubi. Tinggal di tempat Ben juga tidak mungkin dia lakukan. Ben terlalu baik. Rain tidak ingin memanfaatkan pemuda itu.

Rain mengosongkan kantung mantel sebelum membukanya. Itu kebiasaan yang selalu dia lakukan. Segumpal kertas dia keluarkan dari kantung

"Ah, surat kabar bekas tadi."

Rain sudah akan melemparkannya ke tong sampah saat matanya yang tajam menangkap sesuatu.

"Lowongan pekerjaan? Di koran? Pada tahun seperti ini?" kernyitnya sambil membuka gumpalan kertas itu di samping wastafel.

Rain membuka potongan surat kabar kusam itu dan membaca baik-baik.

"Tidak terlalu buruk. Aku sudah cukup banyak pengalaman menjadi pramusaji."

Dia baca lagi alamat tempat pekerjaan itu berada.

"Ini terlalu jauh. Ini di luar kota. Yang benar saja. Kota itu bahkan belum pernah aku datangi. Memang mustahil menemukan pekerjaan yang baik dan masuk akal melalui selembar koran bekas di tahun ini."

Rain sudah akan membuangnya lagi, tapi urung saat melihat deretan angka gaji yang ditawarkan oleh pekerjaan itu. Rain baca ulang koran bekas itu.

"Apa? 500 Coll perhari? Apa mereka salah membubuhkan angka di sini?" Rain tergelak. "Ini setara dengan gajiku selama dua bulan. Perhari? Mungkin mereka memang salah menulis angka."

Rain menatap pantulan wajahnya di cermin dengan putus asa.

"Tapi, tunggu, kenapa tidak aku hubungi nomor yang ada di sini dan bertanya langsung? Mungkin masih ada kesempatan untukku meski tanggal terbit koran ini sudah beberapa bulan yang lalu."

Rain meraih ponsel dan menghubungi agen penyelia pekerjaan yang memasang iklan di koran itu. Dia juga mencatat alamatnya. Pada dering kelima, seseorang menjawab panggilannya.

"Selamat malam. Keluarga Dauntess di sini. Ada yang bisa saya bantu?" ujar suara perempuan di sambungan telepon.

"Ah, maaf. Sepertinya saya salah menekan nomor. Karena seharusnya yang menjawab panggilan adalah agen penyelia pekerjaan," ujar Rain menahan malu karena kebodohannya.

"Anda mencari pekerjaan, Nona...?"

"Saya Rain. Ya, apa pekerjaan yang Anda tawarkan masih ada? Untuk posisi pramusaji?" balas Rain asal.

"Ya, kami belum menemukan kandidat yang sesuai. Pekerjaan itu masih terbuka untuk siapa saja."

"Bagaimana dengan gajinya? Apa kalian tidak salah menulis angka di koran?" kernyit Rain.

"Kami menuliskan 500 Coll perhari. Jika itu terlalu rendah, Anda bisa menegosiasikan dengan kami."

Rain menganga di depan cermin tanpa suara. "Kapan saya bisa melakukan wawancara?"

"Bagiamana kalau malam ini?"

"Apa? Tapi, jaraknya…."

"Anda bisa datang malam ini atau besok. Kabari saya jika sudah siap. Saya akan mengirim orang untuk menjemput Anda di stasiun Westlake, Nona Rain."

Saking girangnya, Rain keluar kamar mandi dengan ponsel masih di telinga. Dia melupakan surat kabar di wastafel.

Rain menutup pintu kamar mandi. Surat kabar yang terbuka di samping wastafel berisi lowongan pekerjaan itu tiba-tiba memudar. Setiap huruf dan angka yang tertulis menguap menjadi asap hitam. Kertas surat kabar bekas itu kosong dan berubah menjadi selembar kertas polos biasa.

avataravatar
Next chapter