11 Toko di Dalam Hutan

Hari demi hari berlalu. Reiss sudah tidak mengingat hari ke berapa dia telah berada di Death Valley.

Setiap hari dia lalui dalam ketakutan. Kematian selalu berada di sampingnya. Mau itu pagi, siang maupun malam. Mendengar samar seekor monster saja sudah akan membuat dirinya bergidik lalu sembunyi dalam panik.

Reiss berjalan tanpa arah di dalam Death Valley. Dia tidak bisa menentukan arah di dalam sana. Ingin melihat bintang sebagai petunjuk pun tidak bisa dilakukannya, seolah langit di dalam sana selalu tertutupi kabut.

Badan dari Reiss sudah tampak lusuh dan kurus kering. Di bagian pundaknya, terlihat sebuah luka gigitan besar yang telah mengering. Luka gigitan dari serangan ular besar sewaktu hari pertama dia masuk kemari. Untungnya ular itu tidak beracun, sehingga setelah dia berhasil melepaskan gigitan itu, Reiss melarikan diri sekencangnya.

Selama ini Reiss hanya memakan jamur-jamur dan tanaman liar yang ditemuinya di jalan. Dia memakan sembari mempertaruhkan nyawanya, karena tidak tahu apakah makanan itu beracun atau tidak. Hasilnya, dia beberapa kali keracunan, namun keberuntungan masih ada padanya, karena dia masih bisa selamat.

Sebenarnya Reiss bukanlah orang lemah. Sebagai wakil kapten dari satu pasukan kota, dia memiliki kekuatan setara rank 5 menengah. Hanya saja, keletihan, keputusasaan, dan kegelisahan yang dialaminya di Death Valley membuat kekuatannya seperti tertekan.

Waktu terus berlalu, malam tiba. Kedua mata Reiss terasa begitu berat. Selama ini, dia tidak bisa tidur nyenyak. Jangankan nyenyak, untuk tidur selama satu jam pun sangat sulit dilakukannya.

Otaknya selalu aktif untuk mengawasi keadaan sekitar, membuat tidurnya bagaikan ilusi semata.

Reiss merasa dirinya tidak bisa lagi bertahan hidup seperti ini. Logika dan perasaannya sudah mulai lelah dan menyerah. Mungkin bila kemarin dia benar mati oleh racun, dirinya akan terlepas dari penderitaannya sekarang.

Kegelapan kembali menyelimuti hutan. Dalam pandangnya hanyalah dahan-dahan yang berdiri kaku terselimuti kegelapan. Suara-suara makhluk liar kembali mengiang-ngiang di telinga. Reiss kembali gemetar, dia berjalan perlahan, tanpa arah meraba-raba kegelapan mencari tempat untuk bernaung mengistirahatkan diri.

Lubang di pohon, batu besar, semak-semak tinggi, apapun tempat yang dia rasa aman itulah tempatnya untuk berhenti menjelajah.

Hingga tidak begitu lama dia mencari. Di ujung pandangnya, di kejauhan sana, Reiss melihat secercah cahaya yang menembus kegelapan.

Melihat cahaya tersebut serta merta membuat rasa hangat di hatinya timbul. Tanpa disadarinya, langkah kaki mulai berjalan ke arah cahaya dengan sendirinya. Dirinya seperti terhipnotis, bagai ngengat yang tertarik pada api dalam kegelapan.

Reiss terus mendekat tanpa menyadari kalau tubuhnya melewati sebuah lapisan tipis yang tidak terlihat.

Beberapa saat kemudian, kakinya berhenti ketika dia melihat sebuah kabin besar di depan matanya. Kedua mata dan mulutnya terbuka lebar, tidak dapat membayangkan akan menemukan kabin dalam Death Valley.

Reiss mengucek-ngucek mata serta menampar pipinya beberapa kali. Takut-takut kalau dia berhalusinasi, dan terperangkap di sebuah jebakan monster. Namun, beberapa kali dia mencoba keluar dari halusinasi pun, kabin besar itu masih berdiri kokoh di depan matanya.

"Toko Kirana…"

Gumam Reiss yang semerta membaca plang kayu yang menggantung dari atap teras. Seketika otaknya seperti berhenti berpikir. Dia melamun seperti orang bego dan sadar setelah beberapa detik kemudian.

"Huh?! Orang gila macam apa yang buat toko di dalam sini?!"

***

Beberapa menit sebelum Reiss tiba di depan Toko Kirana.

Cien sibuk di dalam workhouse, membuat anak panah spesial untuk busur yang telah sukses dibuatnya.

Untuk beberapa minggu ini, selain busur panah tersebut, Cien sudah menghasilkan dua pasang Fire Glove lainnya, menjadikan jumlahnya menjadi tiga pasang. Lalu dia juga membuat beberapa perabotan kayu untuk terasnya. Diantaranya, dua kursi kayu dan satu meja.

Selain itu, dia juga membuat bebarapa anak panah. Pertama jenis anak panah biasa yang berasal dari kayu yang diruncingkan. Kedua, jenis anak panah dengan ujung panah berasal dari kuku dan taring Inferno Bear dan ketiha, jenis anak panah dari bagian pundak Inferno Bear yang seperti batu.

Untuk jenis anak panak terakhir. Selama seminggu Cien mempelejari dasar menempa, dan berhasil menempa ujung panah itu setelah beberapa kali mengalami kegagalan. Jumlah anak panah yang ini tidak banyak. Hanya ada lima belas buah, namun ketajamannya dapat menembus kulit monster rank 6 sekalipun.

Sekarang, Cien ingin membuat jenis anak panah lain. Anak panah yang lebih kuat lagi serta mempunyai kekuatan magis. Yup, Cien akan membuat benda magis berikutnya, dengan menggunakan inti mana sebagai ujung panah.

Cien sudah membuat rancangan anak panah magis ini dari resep dan bahan yang tersedia saat ini. Serbuk monster core yang tersisa hanyalah tinggal sepersepuluhnya saja. Cien tidak yakin bisa membuat banyak jenis baru ini.

Namun, baginya ini hanyalah untuk membuat sebuah purwarupa. Bila berhasil, maka Cien akan memburu Inferno Bear lain di Death Valley. Sehingga dia bisa membuat anak panah magis lebih banyak.

Pemilihan mengapa dia membuat atau memakai senjata panah dikarenakan Cien sadar kalau dirinya itu lemah. Dia tidak bisa bertarung di garda depan seperti seorang ksatria, dia juga tidak bisa mengeluarkan mantra kuat seperti seorang penyihir tersohor.

Fisiknya kuat bila dibandingkan manusia biasa, tapi lemah bila disandingkan dengan para tentara berpangkat terendah.

Untuk itulah, Cien memilih anak panah sebagai senjata utamanya. Dia tidak tahu cara memanah, tapi dia bisa berlatih. Waktu adalah hal yang paling banyak dimilikinya saat ini, semakin lama dia berlatih, Cien yakin semakin mahir dia menggunakan panah.

Cien mengambil satu inti mana dari ruang penyimpanan. Dia bersiap untuk memotong inti mana tersebut menjadi sepuluh bagian.

Dia simpan inti mana di atas Meja Crafting. Tapi sebelum dia memulai untuk memotong, tiba-tiba ponselnya memberikan pemberitahuan.

Ding!

"Hmm?"

Cien raih ponselnya yang disimpan di atas meja jahit. Melihat pemberitahuan yang ada pada layar, matanya mulai berkedut.

[Seorang manusia telah memasuki wilayah Lapisan Pelindung Dewa Kala!]

"…"

Cien terdiam membaca pemberitahuan tersebut. Saking tidak percayanya, dia mencoba memijit-mijit glabelanya, berharap kalau pemberitahuan itu hanyalah ilusi belaka.

Namun, tidak lama, suara lonceng pintu depan toko terdengar. Seseorang telah masuk ke dalam kabin.

'…pelanggan? Tidak mungkin, orang gila macam apa yang mau berbelanja ke tempat terkutuk ini?'

Cien memasukkan ponsel ke sakunya. Dia lalu memakai Fire Glove yang ada di atas meja. Cien tidak takut terhadap orang asing yang datang. Selain dia memiliki formasi lapisan pelindung yang bisa menetralkan musuhnya kapan saja, dia juga kini sudah mempunyai Fire Glove.

Dengan langkah ringan, Cien pun berjalan untuk bertemu dengan tamu pertamanya sejak menjadi pemilik toko.

***

Reiss membuka pintu toko yang terlihat antik. Seiring pintu terbuka, suara gemerincing bel yang tertempel di atas pintu mengagetkannya. Cien terperanjat, langsung mematung di tempat.

Namun pada saat inilah, matanya seketika melihat ruangan toko yang terang bagai tempat itu bukanlah berada di hutan Death Valley.

Reiss menenangkan dirinya lalu mengambil napas dalam-dalam. Kemudian dia melihat isi toko yang kosong. Di dalam etalase dia hanya melihat dua sarung tangan yang berwarna hitam dan di salah satu rak yang berdiri tepat di belakang etalase tersebut, dia melihat tiga jenis ramuan. Masing-masing ramuan berjumlah tiga buah, membuat jumlah keseluruhan ramuan di rak tersebut ada sembilan buah.

"Apa ini beneran toko?"

Reiss langsung menggeleng menolak untuk percaya. Dia masih berpikir kalau tempat itu adalah jebakan. Dengan hati yang berdebar, Cien perlahan melangkah masuk dengan jalan menjinjit.

"He-hello… ada orang di sini…?" Tanyanya dengan nada rendah seperti berbisik.

"Aku di sini. Kenapa kau bertingkah seperti pencuri? Menjinjit dan berbisik seperti itu? Apa kau ini orang gila?"

"….huh?"

avataravatar
Next chapter