webnovel

Di Balik Sebuah Perang

Terpaksa mengikuti keinginan Cien, Jamie pun akhirnya duduk di samping sang pemilik toko dan mendengarkan arahan dari pria paruh bayu tersebut.

Cien berencana membuat rumah kayu, namun karena kurang banyaknya jumlah paku yang dia miliki saat ini, Cien harus memakai cara lain untuk membuat bangunan penginapannya.

Sebagai seseorang yang pernah hidup di Bumi zaman modern. Cien mengingat akan suatu serial dokumenter yang mempertontonkan teknik pembangunan rumah kayu tanpa paku dari Jepang. Teknik Kigumi, teknik di mana mereka membuat sambungan dan ruas pada setiap balok kayu.

Well, pada dasarnya Cien hanya akan membuat rumah bagai permainan balok. Hal terpenting di sini hanyalah satu, yaitu membuat ukuran setiap sambungan itu cocok dan pas antara satu dan yang lainnya.

Cien tidak pernah melakukan ini, sehingga dia hanya bisa melakukan teknik ini dengan trial dan error.

Jamie, sebagai orang yang kini bisa membantunya, disuruh oleh Cien untuk menancapkan balok-balok kayu besar ke dalam tanah sebagai pondasi bangunan. Luas bangunan yang akan dibuat Cien adalah 120 meter persegi, dengan panjang dua belas meter dan lebar sepuluh meter.

Dalam bangunan nanti akan terdapat enam buah kamar, di mana masing-masing kamar memiliki ukuran 5x3 meter. Tiga kamar di bagian kanan banguan, dan tiga lainnya di bagian kiri, yang dipisahkan dengan lorong selebar dua meter. Untuk kamar mandi, Cien akan membuat terpisah di luar.

Sebagai seseorang yang awam, Cien dan Jamie melewati hari demi hari dengan berbagai kegagalan. Bahkan setelah satu minggu berlalu pun, bangunan tersebut baru setengah jadi.

Selama seminggu itu, keseharian keduanya hanyalah tidur, makan, lalu kerja. Dengan banyaknya daging di dalam ruang penyimpanan, Cien tidak perlu memikirkan akan kekurangan makanan untuk sementara waktu.

Hanya saja, membangun penginapan itu agak membuatnya frustasi. Pada awalnya, Cien berpikir kalau membangun penginapan itu tidaklah sulit. Bahkan bisa dibilang, Cien terlalu meremehkannya.

Namun pada kenyataannya, seminggu ini dia harus memutar otaknya terus menerus. Tanpa paku, dia benar-benar harus mengukur tepat. Walaupun sudah diukur tepat pun, terkadang Cien akan lupa untuk membuat sambungan pada satu balok sebelumnya, membuat dia harus mengulang lagi.

Jamie di sebelahnya tidak mampu mengukur dengan baik. Sehingga tidak banyak bantuan yang bisa diharapkan.

Setelah seminggu, setidaknya Cien sudah dapat mengerti dan terbiasa. Namun tetap saja dia tidak mengira akan menghabiskan waktu lama.

"Dari kecepatan saat ini, mungkin butuh sekitar dua minggu lagi untuk selesai. Ugh, ini menyebalkan."

"Sabar saja, Tuan Millard. Toh, gak akan yang berkunjung ke tempat ini juga."

"Hah?!"

Cien merasa tersinggung dengan perkataan Jamie, dia memberikan tatapan sinis pada lelaki yang numpang gratis itu.

Jamie merasa bulu kuduknya berdiri mendapatkan tatapan itu. Dia hanya bisa tersenyum kaku, lalu memalingkan muka, mengutuk dirinya sendiri yang tidak bisa berpikir sebelum mengucap.

"Aku tahu tidak akan banyak orang berkunjung."

"Hm?"

"Bahkan penginapan ini bisa saja menjadi bangunan terbengkalai selama bertahun-tahun. Tapi, sebelum itu terjadi, kau akan menjadi orang pertama yang memakai bangunan ini. Dan, temanmu, oh! Atasanmu yang akan datang menjemputmu nanti, dia juga akan istirahat di sini dulu. Setidaknya itu yang ada di pikiranku saat ini."

"..."

Jamie yang mendengarkan itu seketika terdiam berpikir sebelum akhirnya sadar akan satu hal.

"Umm… apa Tuan Millard benci saya tidur di dalam toko?"

Tanpa pikir panjang, Cien langsung mengangguk mengiyakan. Dengan senyum lebar dia berkata.

"Yup! Aku sungguh ingin mengenyahkan suara dengkuran yang membuat orang ingin mencekikmu hingga diam di malam hari."

"..."

Jamie tidak bisa berkata, dia hanya bisa diam lalu barulah menyadari adanya kantung mata di wajah sang pemilik toko.

"Apa seburuk itu?"

Cien tersenyum semakin lebar, namun matanya tidak memperlihatkan senyum sekali.

"Hehehe, saking buruknya, membuat yang tadinya hanya 'ingin' mungkin akan menjadi tindakan nyata."

"Gulp, ayo kita percepat pembangunan ini, Tuan Millard."

Ucap Jamie yang langsung mengambil balok kayu yang baru saja selesai dibuat Cien dan berlari untuk menyambungkannya dengan balok kayu yang terlah tersusun.

Cien menggeleng melihat tindakan Jamie. Walaupun dengkuran orang itu memang mengesalkannya tiap malam. Kurangnya tidur Cien bukan karena Jamie, namun lebih karena dia belajar resep setiap malam untuk membuat senjata dan benda-benda lain dari ponselnya.

Alasan utama Cien membuat penginapan memang lebih karena hal ini adalah hal yang harus dilakukannya. Dia tidak bisa membiarkan para tamunya selalu menginap di dalam toko. Dan Cien yakin, Jamie dan Legia bukanlah tamu terakhir yang akan berkunjung.

Selama sepuluh tahun, Cien hanya sendiri di Death Valley. Namun dalam beberapa minggu terakhir, hal ini berubah drastis. Setidaknya setelah dia hidup kembali dan mengingat kehidupan masa lalunya, Cien sadar akan perubahan di sekitarnya.

Lalu mendengar cerita tentang aktivitas bangsa iblis di Abyss yang meningkat, dan kemungkinan konspirasi di setiap kerajaan. Cien yakin kalau waktu di mana kekacauan dan kekisruhan di Benua Kastia telah mendekat.

Lalu mengingat misi yang diberikan ponselnya. Cien melepaskan napas panjang.

'Sigh… entah bagaimana, tapi aku merasa tinggal di sini tidak menjamin kalau aku tidak akan terlibat dalam kekacauan di masa mendatang nanti.'

Cien lalu mengambil ponsel di sakunya, "Kalau ini memang dari Tuhan. Tujuan apa yang diinginkan-Nya, memberikan ini padaku?"

***

Di lain tempat, sekitar sepuluh kilometer dari gerbang utara Kota Blackwinter.

Malam hari, di atas sebuah batang pohon yang menjulang tinggi di hutan luar Kota Blackwinter. Seorang lelaki dengan rambut pendek dan paras pucat sedang mengamati cahaya-cahaya jingga di kejauhan sana.

Cahaya-cahaya jingga yang bagai kunang-kunang di malam hari itu berasal dari kobaran api perkemahan para prajurit yang tengah beristirahat dari perang.

Melihat jumlah cahaya perapian yang banyak, pria tersebut mengernyitkan kedua alisnya. Dia lalu melompat turun dan mendarat dengan mudahnya di depan dua orang perempuan yang telah menunggunya.

"Bagaimana situasinya, Ian?" Ucap satu orang perempuan yang tidak lain adalah Putri Sravati.

"Terlalu jauh untuk tahu pastinya. Tapi dari jumlah perapian dan tenda yang terlihat, bisa dikatakan pihak kerajaan telah mengirim sekitar empat hingga lima ribu orang untuk mengambil alih kembali Blackwinter," jawab Ian, mengira-ngira dari apa yang dilihatnya barusan.

Sravati tampak berpikir sejenak, "Perkiraan perang telah dimulai?"

"Cukup besar. Tapi mungkin baru terjadi satu atau dua hari terakhir. Belum terlihat banyaknya korban perang di tenda. Atau mungkin lebih tepatnya, masih belum jelas terlihat. Kita perlu mendekat untuk melihat lebih jelasnya lagi."

"Apa ada tenda untuk keluarga kerajaan di sana?" Tanya Sravati.

Tenda untuk kerajaan kerajaan seperti dirinya akan sangat berbeda dengan tenda seorang jenderal militer apalagi pasukan biasa. Tenda itu akan terlihat besar dan mewah dari semua tenda yang ada. Dengan simbol keluarga kerajaan di depannya. Bila ada tenda tersebut di perkemahan sana, berarti yang memimpin pasukan adalah salah satu dari kakak Sravati.

Mendengar pertanyaan itu, Ian menggeleng.

"Tidak ada. Sejauh yang kulihat, tidak ada tenda untuk royalti sama sekali."

Sravati kembali dalam pikirannya, "Apa yang memimpin jenderal militer, letnan atau mungkin penguasa Kota Skaldia?"

"Mungkin. Kurasa yang memimpin adalah Earl Frieren dari Skaldia."

"Kalau itu benar, itu artinya pasukan saat ini bukanlah pasukan utama."

Ian mengangguk, "Tampaknya pemerintah kerajaan mengerahkan banyak tenaga untuk mengambil alih Blackwinter. Pasukan jenderal kemungkinan sedang dalam perjalanan kemari. Jumlahnya tidak diketahui, tapi pastilah tidak mungkin kurang dari pasukan yang ada saat ini."

Mendengar itu Sravati menggigit bibir bawahnya, dia merasa kalau situasi bertambah absurd semakin waktu berjalan. Kalau situasi terus seperti ini, tentu saja kerajaan akan berhasil mengambil alih Blackwinter.

Tapi…

Bagaimana dengan nasib penduduk Blackwinter yang akan menerima serangan penuh dari Huntara? Bagaimana dengan situasi di timur kerajaan bila pendapat Cien benar adanya? Kalau benar pasukan jenderal dimobilisasi, berapa banyak pasukan yang akan melindungi timur kerajaan?

Sravati sungguh tidak tahu harus berbuat apa saat ini. Dia seketika teringat akan perkataan Cien sebelum pergi dari Death Valley.

"Tuan Putri, perang bukanlah hal sederhana seperti yang terlihat. Bukanlah dua kubu yang sekadar saling membenturkan senjata. Di balik itu banyak hal lain yang bisa mempengaruhi jalannya perang. Hal-hal yang tidak terlihat yang bisa membuat satu kubu lebih menguntungkan dari yang lainnya.

"Rencanamu dengan Reiss, mungkin akan berhasil. Tapi, sebelum rencana itu berjalan. Bagaimana kalau situasi berbeda dengan yang kau bayangkan? Bagaimana kalau perang telah terjadi dan melebihi ekspektasi? Apa yang akan kau lakukan? Tuan Putri, kekuatanmu sangat kecil untuk dapat mempengaruhi jalannya perang. Tapi, kau punya hal lain yang bisa membuat orang mendengarmu. Aku harap kau bisa berpikir dingin bila tiba di medan perang nanti. Aku harapkan keselamatan anda. Semoga kita bisa bertemu kembali."

Mengingat perkataan Cien. Sravati mengambil napas dalam-dalam. Dia memutar otak akan situasi yang sedang dihadapinya saat ini.

"Reiss berjanji akan menyerang selatan Blackwinter tiga hari dari sekarang. Apakah pasukan utama akan datang sebelum itu?" Tanya Sravati.

"Kemungkinannya, iya, Tuan Putri."

"Itu artinya, tujuan saat ini adalah meminimalisir korban di Blackwinter dan juga menghadapi situasi di timur kerajaan yang mungkin akan terjadi…" gumam Sravati yang kemudian memperlihatkan sinar tajam di matanya.

"Ian, ikut aku ke perkemahan sekarang," titah Sravati yang kemudian berpaling ke perempuan lainnya, Legia, yang sedari tadi hanya diam mendengarkan.

"Letnan Legia. Terima kasih sudah mengantarkan kami sejauh ini. Namun dari sini, adalah masalah internal Kerajaan Huntara. Saya tidak mau merepotkan anda untuk ikut dengan kami, jadi ini adalah selamat tinggal. Sekali lagi terima kasih, dan semoga kita bisa bertemu kembali."

Legia tidak berkata banyak dan hanya membalas ucapan perpisahan dari sang putri. Di dalam hutan yang gelap, dia melihat siluet sang putri yang semakin menjauh, mendekati cahaya-cahaya jingga di kejauhan.

Misi Legia dari atasannya hanyalah mengantarkan sang putri ke tanah Huntara dengan selamat. Kini misi itu telah selesai dijalankannya.

Tapi, tidak ada sedikit niat pun dalam diri Legia untuk pergi dan kembali menjemput Jamie di Death Valley.

Ketika dua siluet telah hilang dari pandangannya. Legia merogoh ke dalam baju zirahnya, mengambil sebuah surat di dalamnya.

Dia melihat surat itu dengan penuh pendirian, sembari mengingat perkataan seorang pemilik toko yang memberikan surat ini padanya.

"Kau dan aku tidak punya urusan untuk memikirkan akan situasi Huntara. Tapi... kalau kau berniat menolong gadis kecil itu. Kirimkan suratku ini padanya."