1 Bab satu

Part 1

Prangg!!!

jelas suara gelas jatuh di lantai.

Bergegas para pelayan segera memungut gelas itu.

"Nona, berapa gelas lagi yang akan anda minum ini sudah terlalu banyak?" ucap Lucas seorang pelayan keluarga besar Monata.

Alicia bergeming, melihat matanya tersorot benci yang sangat dalam.

Tanpa memperhatikan ucapsm Lucas ia pergi begitu saja, berjalan melangkahkan kaki menuju garasi mobil.

Langkah berhenti tepat di depan sebuah mobil mini Cooper hadiah ulang tahun dari sang papa.

Namun, sesuatu yang terjadi saat dia hendak membuka pintu mobil.

Seseorang menahan tanggannya dengan kuat.

"Kamu habis minum dan bahaya jika kamu mengendarainya sendiri," kata Gabriel lelaki tampan tangan kanan keluarga Monata.

"Apa urusanmu? Bahkan aku mati saja siapa yang peduli?" desis Alicia sembari menatap tajam ke arah Gabriel.

Mendengar kata itu Gabriel tak bisa berkata-kata. Ia tak bisa melawan ucapan Alicia anak dari keluarga Monata.

Alicia mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, berkali-kali ia menyalip mobil-mobil yang menahannya.

Beberapa orang juga berteriak karena ulahnya.

Telinga Alicia seolah tuli ia tak peduli dengan orang-orang yang mengatakan apapun tentang dirinya.

Sepuluh menit berlalu kini Alicia sudah berada di halaman perusahaan ekspor impor yang ia bangun.

Dengan langkah gontai ia berjalan mendekati pintu utama.

Brug....

Tubuhnya terjatuh tepat di depan pintu, para karyawan langsung menolong dan membawanya ke klinik.

Ya, perusahaan ini memiliki sebuah klinik di dalamnya.

Bertujuan untuk mengantisipasi jika ada karyawan yang sakit.

"Bagiamana keadaan Bu Alicia, Dok?" tanya Mikael salah satu staf di perusahaan Alicia. Wajahnya terlihat sangat cemas.

"Sepertinya ibu Alicia mengunsumsi alkohol," terang dokter lalu melepas kacamatanya.

"Maksud dokter?" tanyanya lagi.

"Ibu Alicia habis meminum alkohol," ulangnya kembali.

Mikael menggelengkan kepala ia sungguh tak percaya. Mungkinkah atasannya begitu?

bagaimana pun sifat Alicia yang sedikit kasar dan katanya yang begitu menyakitkan.

Tak heran jika dirinya mengonsumsi minuman itu.

Kabar tentang Alicia berdedar cepat, bahkan tak sedikit dari mereka mencibir atasannya.

"Huh, aku enggak nyangka masa iya atasan kita gitu," ujar Arum sembari bermain ponsel.

"Haduh gue mah enggak kaget tahu sendiri gimana ucapnnya nyakitin dan banyak gaya," imbuh Lidia.

"Untung aja dia anak orang kaya. Coba sekelas kita udah gua jadiin perkedel itu orang," ucap Arum tak henti-hentinya berucap.

"Ehm, sedang apa kalian? Dari pada gosipin atasan kalian. Ingat pekerjaan kalian sudah selesai belum?" tanya Gabriel membuat mulut kedua wanita itu terdiam.

"Ah, iya pak. Ayo!" Arum menarik tangan Lidia membawanya masuk ke dalam ruang masing-masing.

Tak lama sebuh mobil mewah terparkir di halaman perusahan.

Bergegas lelaki itu berjalan masuk menuju kantor.

Didapatinya putri bungsunya sedang tertidur di atas ranjang klinik.

"Kenapa dia?" tanya Abraham pemilik perusahaan sekaligus ayah Alicia.

"Maaf, Pak. Ibu Alicia sepertinya mabuk," ucap sang dokter dengan menunduk.

"Alicia bangun!" Abraham mengoyang tubuh Alicia.

Alicia yang sedang lelap merasakan sesuatu yang menyetuh tangankan.

Perlahan ia membuka mata, penghilahatnnya masih samar-samar.

Ia seperti melihat seorang lelaki yang wajahnya sangat ia kenal.

"Au, siapa?" tangan memang kepala.

Saat ini rasanya sangat sakit, efeknya terlalu banyak meminum alkohol membuat kepalanya terasa berat.

"Bagus, mau jadi apa kamu? Perempuan tapi suka mabuk!" bentak Abraham ingin rasanya memanjakan wajah anaknya.

Alicia memilih diam, bibirnya tersenyum menyeringai kearah Abraham.

"Kalau aku beri tahu kelakuanmu kepada mamamu akan jadi apa nanti? Demi mama tolong berubahlah Alicia," pinta Abraham lelaki yang sudah tak muda lagi memohon kepada anaknya.

Alicia sama sekali tak mendengarkan sama sekali ucapan Abraham, ia bangun dari posisi tidur dan mengubah posisinya menjadi duduk.

melihat sifat Alicia Abraham menghela nafas panjang.

Tak pernah terbayangkan seorang Alicia bisa menjadi wanita yang dingin.

Dalam angan putrinya akan menjadi tubuh gadis yang manis dan penurut.

Alicia beranjak pergi dari dalam klinik dan berjalan menelusuri lobby kata-kata Abraham membuatnya merasa muak.

Mungkinkan dalam fikirannya hanya ada uang uang dan uang.

Apakah dia pernah memberikan kebahagiaan keluarganya sedikit saja.

Setibanya ia di dalam ruangan, Alicia langsung mendarat di bokongnya di sofa, karena terlalu banyak mengonsumsi alkohol membuat kepalanya terasa sakit.

Tok...tok

Pintu di ketuk dari luar.

"Iya masuk," ujar Alicia sambil memijit kepalanya.

"Maaf, Bu. Ini ada Riza calon penganti saya," kata Deri wanita dengan kaca mata besar yang akan melahirkan lagi.

"Selamat siang, Bu."

"Ehm, ya sudah kau beri tahu saja apa tugas dia kepala saya sedang sangat sakit." Alicia sambil memegangi kepalanya.

"Oh baiklah, Bu. Permisi," pamit Deri,salah satu staffnya dan juga Riza.

Ketika hendak menutup pintu pandangan Riza terhenti.

wajah Alicia tampak tak asing.

Dari bentuk wajah dan suaranya saja masih sama tetapi, mungkinkah itu dia?

Secepatnya Riza segera menangkis pikiran itu tak mungkin bertemu dengannya lagi.

***************

Tepat pukul empat sore segera Alicia meninggalkan ruangan.

Sepanjang jalan tak henti-hentinya para karyawan menatap Alicia dengan penuh tanya.

Tiba-tiba langkah berhenti kala melihat seorang wanita berdiri di depan meja resepsionis.

Wanita penganggu yang tak tahu malu.

"Hai, Baby, lama tidak bertemu," dia mendekat ke arah Alicia lalu menciba memeluknya.

Namun, sebelum dia memeluk tubuhnya. Secepatnya Alicia menghindar.

"Ada apa kamu kesini?" tanya Alicia ketus, ia sama sekali memandang wajah wanita itu.

"Aku rindu kamu ayolah kita senang-senang."

"Cukup, Zena. Apa maumu sebenarnya?"

"Oh aku ingin bertemu dengan papamu siapa lagi?" terangnya tanpa malu.

Benar dugaan Alica wanita yang menjadi kekasih gelap papanya tak lain adalah dia.

Zena, sahabat yang kini menjadi bumerang bagi Alicia.

Alicia muak ketika melihat Ayahya yang menghampiri wanita pengganggu itu.

Tanpa malu kedua pasangan itu saling berpelukan, dalam hati ada sedikit amarah.

Alicia mengamati tingkah laku mereka berdua, papanya terlihat sangat bahagia ketika bertemu dengan Zena.

Mungkinkah Zena juga mencintai dan menyanyangi Abraham sepenuh hati.

"Dasar tak tahu malu," cibir Alicia ia melanjutkan kembali langkah kakinya.

Hari ini entah mengapa perasaan begitu kacau. Mulai kejadian tadi pagi hingga sore ini.

Sejenak ia terdiam memirkan nasib hidup.

Tak pernah terlintas dalam pikirannya akan seperti ini.

"Mas, aku mau beli skincare terbaru ya," Zena berjalan sambil mengandeng tangan Abraham.

"Pasti jangankan skincare pabriknya aku beli," bisik Abraham di telinga.

Mereka berjalan berdua melalui Alicia tanpa melihat pemandangan itu.

Alicia menarik nafas dalam-dalam, rasanya ingin sekali mengungkapkan perasaannya tapi apalah daya tak mungkin mengatakan jujur ​​pada Laura mama kandungnya.

Kring....

Ponsel milik Alicia tertera nama mama di layar ponsel.

"Mama," senyum terlukis indah di wajah beraharap sebuah kegagalan terjadi.

"Halo, Mama," serunya semangat tapi ia tak mendengar suara apapun di ujung sana.

Rasa khwatir seketika mendera.

Bersambung

avataravatar
Next chapter