1 Mendambakan Seorang Pria

Citra sudah menyukai Miko sejak lama. Akhirnya, bulan lalu, sebagai putri dari seorang walikota, Citra menentukan tanggal pernikahannya dengan Miko, seorang bos dari perusahaan bernama Montana.

Malam ini, Citra membuat keputusan besar. Dia mengikuti Miko yang sedang menginap di sebuah hotel mewah. Miko menyewa sebuah kamar tipe presidential suite di Oceana Hotel. Hotel itu tidak hanya mewah dan mahal, tetapi juga menawarkan pengalaman baru bagi para pengunjungnya karena bangunannya yang berada di bawah laut.

Begitu Miko memasuki kamar, sosok wanita bergegas berlari ke pelukannya. Pria itu tidak punya pilihan lain selain mengulurkan tangannya untuk menangkapnya. Dia mengerutkan kening, dan berbisik, "Citra, apa yang kamu lakukan?"

Citra melingkarkan tangannya di leher Miko. Dia mencondongkan tubuhnya ke arah Miko untuk mengikis jarak di antara mereka dan menciumnya. Dia juga berbisik dengan genit, "Miko…"

Miko memiringkan kepalanya, berusaha menghindari bibir merahnya. Usahanya berhasil, ciuman itu jatuh di pipinya. Dia mencoba menarik Citra agar lepas dari pelukannya, tetapi tangan gadis itu justru memeluknya lebih erat.

"Miko, aku merasa sangat tidak nyaman sekarang. Tolong aku," ucap Citra dengan suara parau dan wajah memelas. Dia menyentuh Miko. Miko pun bisa merasakan suhu tubuhnya yang panas, dan wajah gadis ini yang hanya seukuran telapak tangannya juga sangat merah. Miko terdiam karena merasa terpesona. Dia bertanya, "Citra, apakah kamu baru saja minum obat? Atau kamu habis dibius?"

Citra berjinjit di hadapan Miko. Dia berniat untuk menciumnya. Cara ini berdasarkan pengetahuan yang dia dapat dari internet untuk menggoda pria. Tangannya kini perlahan turun, melepaskan ikatan sabuk pria itu dengan kasar. Lalu, dia mengulurkan tangan untuk menarik ritsleting celana Miko.

Ekspresi Miko berubah menjadi panik. Dia meraih tangan kecil Citra yang lembut dan menegur gadis ini, "Citra, jangan main-main!"

Citra menatap wajah menawannya yang sedikit cemas, dan berkata dengan sedih, "Bukankah kita akan menikah? Kenapa kamu tidak mau melakukannya denganku? Kita akan menikah, Miko."

Miko menatap Citra dalam. Dia juga tahu bahwa sebentar lagi, dia akan menikahi wanita ini. Bagaimanapun, dia sudah berjanji kepada keluarganya untuk menikahinya, jadi pernikahan ini pasti akan terjadi cepat atau lambat.

Citra yang melihat keraguan di mata Miko, segera membujuknya lagi, "Jika kita tidak mencobanya sebelum menikah, bagaimana aku bisa tahu jika kamu bisa melakukannya dengan baik? Bagaimana jika ternyata kamu tidak bisa memuaskanku? Tentu saja aku akan rugi."

Tidak ada pria yang bisa menahan diri saat mendapatkan rayuan maut seperti yang baru saja dikatakan Citra, termasuk Miko. Dia melihat bibir merah Citra sekilas, lalu menundukkan kepalanya dan berniat untuk menciumnya. Saat bibir keduanya berjarak tidak lebih dari selembar kertas, telepon berdering tiba-tiba. Nada deringnya memang tidak keras, tetapi di kamar yang tenang dan romantis ini, bunyi itu sangat mengganggu.

Citra yang mengetahui bahwa Miko berniat untuk mengangkat telepon itu, segera mencengkeram lengan baju pria itu, dan dia berkata dengan suara lembut memohon, "Miko, jangan menjawab telepon itu. Nanti saja. Sekarang aku merasa sangat tidak nyaman."

Miko tidak menghiraukan gadis itu. Dia mengambil ponselnya yang bergetar dan muncul sebuah nama di layarnya. Nama itu adalah Yulia. Citra yang melihat nama itu langsung mengulurkan tangannya untuk mengambil ponsel Miko darinya dan menolak panggilan dari Yulia, "Panggilan ditolak."

Citra sudah menyukai Miko selama beberapa tahun, bagaimana mungkin dia tidak tahu siapa wanita ini. Yulia adalah mantan pacar Miko. Mereka sebenarnya saling mencintai, namun karena keluarga Miko, Keluarga Manurung, tidak menyukai asal dan latar belakang Yulia, mereka secara paksa memisahkan Miko darinya tiga tahun lalu. Setelah itu, Yulia segera menikah dengan seorang pengusaha lokal setelah pergi ke luar negeri. Tapi setelah tanggal pernikahan Citra dengan Miko ditentukan, Yulia memutuskan untuk kembali ke Sumatera.

Miko melirik Citra sejenak. Dia segera merebut ponselnya dari tangan Citra dan menelepon Yulia, "Yulia? Ada apa?"

"Miko, tolong aku. Tolong selamatkan aku, dia akan membunuhku. Dia bilang dia akan membunuhku. Miko, cepat selamatkan aku," ucap Yulia di telepon dengan tergesa-gesa.

Wajah Miko berubah drastis. Dia sangat cemas terhadap mantan kekasihnya itu, dan bertanya, "Di mana kamu? Aku akan segera datang ke sana."

Citra yang berada di dekat Miko menggigit bibirnya. Tadi tubuhnya jelas terasa panas, tapi dia tidak tahu sejak kapan tubuhnya itu menjadi dingin. Dia dalam keadaan setengah tidak sadar. Dia tidak mendengar apa yang Yulia katakan di telepon, yang dia tahu hanya kini Miko telah menutup telepon dan berkata padanya, "Citra, aku harus pergi."

Citra panik. Bukan hanya panik, tapi sangat panik. Dia tidak hanya panik karena Miko pergi menemui wanita lain, tetapi juga karena obat yang masih bereaksi di tubuhnya.

Dia pergi, apa yang harus aku lakukan? Tanya Citra dalam hati.

Citra meraih lengan Miko dengan keras, "Tidak, kamu tidak bisa pergi, apa yang harus aku lakukan jika kamu pergi?" Pria itu dengan tenang berkata, "Kamu panggil ambulans, atau pengawalmu akan membawamu ke rumah sakit."

Wajah Citra masih merah, entah karena obat atau karena marah. Dia berteriak, "Miko, kamu meninggalkanku karena wanita lain? Akulah yang akan kamu nikahi, bukan dia!"

Miko berhenti. Dia berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman Citra, "Suami Yulia sering melakukan kekerasan padanya. Jika aku tidak pergi sekarang, Yula mungkin akan dibunuh oleh suaminya sendiri."

"Mengapa kamu tidak menyuruh dia memanggil polisi saja? Itu lebih cepat!" jawab Citra dengan nada tidak sabar. Miko meliriknya. Dia segera melepaskan tangannya dari genggaman Citra. Dia pergi tanpa menoleh ke belakang.

Citra mendengar pintu ditutup. Kini dia satu-satunya yang tersisa di kamar besar itu. Panas di sekujur tubuh menyebar lebih hebat. Sangat tidak nyaman bagi Citra. Tapi, dia tidak tahu apakah itu karena obat atau karena rasa cemburunya. Citra berbalik dan hampir terhuyung-huyung saat menuju ke meja kopi. Saking lemahnya, dia bahkan hampir jatuh ke karpet.

Gadis itu mengambil ponsel dari tasnya. Tetesan air mata membasahi layar. Lalu, dia dengan cepat mencari kontak seseorang dan meneleponnya. Suara laki-laki yang dingin terdengar, "Ada apa nona?"

"Kamu… Kemarilah, datang ke kamarku," perintah Citra pada pengawalnya. Ada jeda yang hening untuk sesaat, dan perintah Citra segera dikabulkan oleh pengawalnya. Telepon ditutup.

Ayah Citra secara khusus menyewa pengawal pribadi untuknya dengan gaji yang tinggi. Bisa dibilang bahwa pengawal Citra adalah pria yang paling dia benci sekaligus pria yang paling dia percayai di dunia ini. Citra membencinya karena karakternya yang dingin dan keras. Tapi, dia mempercayainya karena dia selalu ada di setiap Citra membutuhkannya.

Dalam waktu kurang dari tiga menit, seorang pria ramping dengan tinggi 1,87 meter masuk ke dalam kamar. Dia mengenakan pakaian hitam dan celana panjang hitam sederhana. Dia terdiam di pintu kamar. Setelah mengamati keadaan untuk beberapa saat, dia berjalan ke arah gadis yang meringkuk di lantai, berjongkok, dan bertanya, "Nona Citra, saya di sini."

Citra tidak mendengar apa yang dikatakan oleh pengawalnya itu. Dia hanya tahu bahwa seorang pria sedang mendekatinya, dan aroma napas pria yang menggoda itu menyeruak ke ujung hidungnya. Pengawal Citra

mengulurkan tangannya untuk memeriksa keadaan gadis itu. Aroma harum gadis itu menguar, dan detik berikutnya, tubuhnya yang langsing dan panas jatuh ke pelukannya. Dia tidak menduga akan menjadi seperti ini. Otot-ototnya menegang dalam sekejap. Terlebih, kini bibir merah Citra telah melekat di bibirnya.

Saat ini Citra masih di bawah pengaruh obat. Satu obat sebenarnya sudah cukup untuk membuatnya bergairah, tapi dia justru minum dua sekaligus. Sekarang obatnya bereaksi tanpa bisa dikendalikan dan membuat Citra sangat mendambakan sentuhan pria. Terlebih lagi, pengawalnya ini memiliki sesuatu yang disukainya. Tubuh yang bersih dan wangi maskulin.

avataravatar
Next chapter