10 Keangkuhan Pangeran Ansell!

Azura terkejut bukan kepalang saat melihat sosok Pangeran yang ada di depannya. Dia adalah Pangeran. Dia, adalah, Pangeran!

Gadis itu pun mengutuki dirinya sendiri. 'Bagaimana mungkin aku tak menyadari kalau dia adalah seorang Pangeran? Ah, ya ampun! Bagaimana ini!' Azura menggigit bibirnya sendiri.

Sontak, dia pun menunduk dalam. Sebagai tanda penghormatan! "Maafkan atas kekhilafan diri ini. Tak menyadari keberadaan Pangeran!!" ujar Azura.

Pangeran Parker tertawa. "Tenang saja. Kamu tak perlu khawatir. Lagipula, seorang pangeran juga manusia. Sama sepertimu. Hanya saja, orang tuaku raja dan ratu. Itu saja."

Azura mengangguk. Dia buru-buru langsung pamit undur diri sebelum seorang prajurit yang berlari tergopoh-gopoh tiba di hadapan mereka. "Maafkan aku, Pangeran. Aku pamit undur diri terlebih dahulu."

Sementara itu, Pangeran Parker terkekeh. Ia menggelengkan kepalanya. "Ada-ada saja."

* * *

Azura langsung pergi dari hadapan Pangeran Parker. Lelaki tersebut masuk ke dalam Paviliun Pangeran Ansell. Di kala itulah … lamat-lamat Azura mendengar sebuah suara. Suara dari Pangeran Ansell. Nadanya dalam dan berat. "Kenapa kamu memberikan seorang pelayan untukku?"

Langkah Azura terhenti. Dia bersembunyi di balik pilar, perlahan-lahan menjulurkan kepalanya, melihat situasi yang tengah terjadi. Dan ternyata, Pangeran Ansell tengah berhadapan dengan Grritos. Lelaki usia 30 tahunan itu menunduk dalam.

"Raja yang memerintahkan untuk menempatkan Azura sebagai pelayan Pangeran Ansell."

Pangeran Ansell menatap tajam ke arah Grritos. "Usir dia dari sini! Aku tidak mau ada seorang pelayan baru!!"

Azura yang semula diam, dia menutup bibirnya sendiri. Pangeran Ansell bersikeras untuk mengusirnya …

Padahal, Pangeran Ansell memiliki wabah yang sama dengannya! Mereka adalah sosok yang senasib seperjuangan! Tidak semestinya Pangeran Ansell bertindak semaunya sendiri, seperti ini!

Dengan demikian, Azura maju beberapa langkah. Langkahnya tegap dan penuh keberanian! "PANGERAN ANSELL!"

Pangeran Ansell balas menatap ke arah Azura. Lelaki tersebut mengisyaratkan tatap penuh kebencian kepada Azura. Dia bahkan mendesis tajam!

"Pangeran Ansell! Atas dasar apa Pangeran Ansell mengusirku?!" teriak Azura.

Pangeran Ansell memandang ke arah Azura. Kesadaran lelaki itu tampaknya sudah kembali. Efek samping dari wabah Horrendum sudah menghilang. Dengan nadanya yang sangat kejam, Pangeran Ansell berkata. Tutur katanya menggelegar. "PERGI KAU DARI SINI. AKU TIDAK MEMBUTUHKANMU."

Azura balas memandang Pangeran Ansell dengan wajah yang sarat dengan kebencian. "Apa yang Pangeran maksud? Apakah perilaku Pangeran kemarin sungguh-sungguh tak membutuhkan pertolongan?"

"Tidak. Aku bisa mengurusnya sendiri." ujar Pangeran Ansell dengan cepat.

"Aku tidak yakin, Pangeran Ansell bisa mengurusnya sendiri. Kalau bisa mengurusnya sendiri, kenapa Pangeran Ansell tidak bisa mengendalikan diri?" tanya Azura menusuk.

"Itu bukan urusanmu."

Azura menghembuskan napas panjang. "Hah… Bukan urusanku? Bagaimana mungkin itu bukan urusanku? Aku adalah pelayan Pangeran Ansell! Orang yang ditunjuk menjadi pelayan di sini!"

"Memangnya, Pangeran pikir, kalau misalkan aku berada dan tinggal di paviliun ini, setiap harinya mendapati Pangeran Ansell menggila, aku akan diam saja? Membiarkan Pangeran Ansell begitu saja?"

Azura kembali mengomel panjang lebar. "Dan nantinya, ketika aku keluar dari tempat ini, aku akan dicap sebagai pelayan dari Pangeran yang tidak waras?!"

"Nona Azura! Sudah!" ucap Grritos.

Azura balas memandang tajam ke arah Grritos.

Kemarahannya membabi buta. Gadis itu amat benci kepada Pangeran Ansell. Lelaki itu adalah orang yang tidak bisa diberitahu sedikit pun!

"Baiklah kalau itu keinginanmu, Pangeran Ansell. Aku tidak akan peduli kepadamu. Sedikitpun."

Azura meninggalkan ruangan kamar Pangeran Ansell dengan marah. Sementara Grritos segera menunduk meminta maaf kepada Pangeran Ansell. "Maafkan Azura, Pangeran Ansell. Dia masih berusia 17 tahun. Pengelolaan emosinya belum terkontrol dengan begitu baik."

"Lupakan saja. Toh aku tidak membutuhkannya." ujar Pangeran Ansell.

* * *

Azura masuk ke loteng. Perempuan itu menghempaskan tubuhnya sendiri di atas tempat tidur.

Dia tahu, sikapnya ini sangat amat tidak profesional. Dia bukan pelayan yang baik. Dia terlalu mengedepankan emosi.

Tetapi, bagaimana mungkin dia tidak sebal kepada Pangeran Ansell? Dia ingin membantu Pangeran Ansell, meskipun dia juga sadar, kalau dirinya itu takut tatkala Pangeran Ansell mengalami serangan.

Namun setidaknya, Azura pernah mengalami hal yang sama. Gadis itu juga pernah mengalami wabah Horrendum.

Dan kini, dia berhasil melewatinya.

Gadis itu memandang ke luar jendela di loteng.

Pada saat itu, hari hujan. Cukup deras. Di hari itu, Azura memutuskan untuk tidur saja. Bergelung di dalam tempat tidur.

* * *

Gelap. Gelap gulita. Tempat ini gelap gulita.

Azura mencoba untuk mencari-cari pilar lampu di kanan kirinya. Tetapi … tak kunjung ditemukan. Dia malah mendengar cekikik-cekikik perempuan yang tertawa.

Dia mendengar orang yang menertawainya.

"Hikikiki."

"Hikikikiki."

"Lihatlah perempuan malang ini."

"Dia sangat menjijikkan. Tak pantas hidup."

"Hikikiki. Sudah sepantasnya dia mati!"

Azura berteriak di antara kegelapan itu. "Pergi sana! Pergi!!"

Suara itu masih saja ada. Suara itu membahana di telinga Azura. Mengetuk-ngetuk telinga Azura. Sampai Azura pusing karena semua suara yang ada di sana.

"Hikikikiki."

Azura memandang pada sekeliling. Dia menghempaskan tangannya ke segala arah pada kegelapan. "PERGI!!!"

Dia berteriak … Dan tiba-tiba saja, semuanya buyar.

Azura terbangun begitu saja. Dia terduduk di tempat tidurnya. Napasnya terengah-engah tak stabil. Dadanya turun naik.

"Ya ampun … itu mimpi buruk." ujar Azura membatin.

Dia memandang ke arah jendela. Tampaknya hari sudah menjelang malam. Dia bahkan tertidur sampai sore.

Kertap hujan masih tersisa di sana. Azura turun dari loteng, dia menemukan sosok Pangeran Ansell yang sedang makan malam, ditemani oleh Grritos.

Azura hanya menunduk pelan kepada Grritos, tak memberikan sedikit rasa hormat kepada Pangeran Ansell.

Dengan wajah songongnya, Azura malah berlalu. Dia berjalan-jalan di paviliun. Mengamati setiap sisi paviliun.

Sampai akhirnya … dia menemukan sebuah ruangan bernama Perpustakaan.

"Apakah mungkin … aku menemukan tentang wabah Horrendum di sini?" batin Azura.

Dengan rasa penasaran yang menyelubungi hatinya, Azura pun masuk ke dalam perpustakaan, tanpa izin siapapun.

* * *

Azura mengedarkan pandangannya ke perpustakaan. Tempat itu sangat megah dan mewah. Banyak sekali buku-buku yang berjajar di perpustakaan.

Azura mendongak … "Wah … Ini … banyak sekali …"

Di saat Azura menjelelajahi perpustakaan, gadis itu tercengang. Dia kaget. Dia… bisa membaca aksara!

Dia bisa membaca tulisan tulisan dari negeri ini!

Azura punn menengok ke sekelilingnya.

Kerajaan Arthus … Wabah Horrendum … Apa … apa yang sejatinya terjadi di sini?

* * *

avataravatar
Next chapter