webnovel

Hati Seputih Salju

Ini email dari sahabatku Anoi yang seorang jurnalis. Aku berpikir alangkah bagusnya jika email darinya itu dapat dibaca banyak orang karena dapat menginspirasi. Aku minta izin kepadanya agar diperkenankannya memajang di jejaring facebook. Tentu saja diizinkannya. Email yang dikirim Anoi kuunggah apa adanya.

Ping sahabatku, apakakah kamu ingat dengan anak perempuan yang dulu selalu mengikuti ibunya yang gila? Anak seusia kita dulu itu kini menjadi pedagang kain yang terkenal. Aku bertemu dengannya dan dia masih mengingatku. Perjumpaan yang tidak sengaja.

Aku sedang berbelanja di Pasar Jatinegara, Jakarta, ketika tiba-tiba ada perempuan cantik mendekatiku. Dia bertanya apakah aku mengenalinya. Aku terkejut. Aku tidak mengenalnya. Kucoba mengingat-ingat tetapi tidak ingat juga. Lalu dia bertanya apakah aku ingat dengan anak gadis yang menangis di pinggir jalan dan aku memberinya penjepit rambut. Ketika aku terbelalak karena ingat dengannya dia langsung memelukku dan menangis. Aku pun ikut menangis. Kutanyakan keadaan ibunya. Ternyata ibunya sudah meninggal dunia. Katanya, setelah tinggal di pesantren dan diobati ibunya sembuh. Mereka tidak pulang ke desanya tetapi merantau ke Jakarta. Ibunya menikah lagi dan memberinya beberapa adik.

Dia itu yang kita sebut Gadis Berhati Seputih Salju. Aku ingat pada saat liburan sekolah kita mengikutinya dari kejauhan. Kita naik sepeda mini berboncengan. Kita sangat usil. Kita ingin mengetahui kehidupannya secara lengkap. Kita seperti detektif yang memata-matainya. Pagi-pagi sekali kita sudah bersepeda ke desanya. Kita ingin melihat di mana rumah perempuan gila dan anaknya itu. Ketika memergoki kita sedang mengawasi rumahnya, anak itu tersenyum. Kita tersipu-sipu dan jadi tidak enak hati.

Setiap hari perempuan gila itu berkeliaran dan anaknya selalu mengikuti. Anak itu dengan sabar mengajak ibunya pulang tetapi tidak mudah. Kalau ibunya ditarik diajak pulang selalu meronta da menjerit-jerit. Itu membuatnya kualahan. Seringkali ibunya pergi jauh dan sampai ke desa-desa lain. Anak-anak menjadi ketakutan dan bersembunyi. Tetapi kalau ibunya menjauh lalu anak-anak berteriak-teriak, "Orang gila! Orang gila! Orang gila!" Jika ibunya menoleh dan menatap anak-anak itu mereka berhamburan lari dan bersembunyi. Lalu mereka mengejek anaknya, "Anak orang gila! Anak orang gila!" Gadis kecil tidak mempedulikan olok-olok itu. Hanya saja jika ada anak yang melempar ibunya dengan batu atau lainnya maka menjadi marah. Anak yang menakali ibunya dikejar. Ibunya tidak boleh disakiti.

Kita terus menyelidikinya dengan bertanya kepada orang-orang sedesanya. Karena selalu mengikuti ibunya maka anak itu tidak bersekolah. Mereka hanya hidup berdua. Ayahnya pergi ke luar negeri sebagai TKI dan tidak pernah ada kabarnya. Gara-gara ayahnya tidak pernah pulang itulah, mungkin, ibunya menjadi sakit ingatan. Sedangkan kakek dan neneknya sudah meninggal dunia. Bagaimana mereka dapat bertahan hidup? Jika ibunya sudah berada di rumah dan bersikap tenang anak perempuan itu bekerja di pengepul kacang tanah. Dia membersihkan kacang dan mendapat upah. Atau, dia menggembalakan kambing tetangganya untuk mendapat nasi.

Dengan kasih sayangnya sang ibu dirawat. Jika ibunya pergi ke luar rumah dia selalu mengikutinya. Dia sudah hafal kalau ibunya belum ingin pulang maka tidak mau diajak pulang. Dia dengan sabar menunggu sampai ibunya menunjukkan tanda-tanda ingin pulang. Dia membawa bekal makanan dan air minum. Dia tidak ingin ibunya mengambil makanan di tempat orang. Ibunya pernah hampir dikeroyok orang karena disangka akan mencuri. Padahal saat itu ibunya hanya lapar saja. Bukankah saat itu kita diam-diam menangis mendengar kisahnya?

Apakah kamu bisa melupakan hari itu? Ketika kita diam-diam mengikuti mereka sampai ke wilayah kota. Ketika anak gadis itu sedang beristirahat duduk di bawah pohon dan tertidur ada beberapa petugas kertertiban kota yang menarik-narik ibunya dan hendak memasukkan ke dalam mobil. Anak perempuan itu terbangun dan berlari-lari mendapati ibunya. "Lepaskan ibuku! Lepaskan ibuku!" teriaknya dengan air mata bercucuran. Para petugas mendorongnya tetapi anaknya tetap berjuang agar ibunya dilepaskan.

"Apakah kamu tidak malu mempunyai ibu seperti itu?" tanya petugas.

"Tidak! Bagaimanapun dia itu ibuku," jawab anak itu.

"Kalau begitu izinkan kami membawa ibumu," kata petugas." Anak perempuan itu tidak mengizinkannya. "Kamu tidak repot jika ibumu tinggal di rumah sakit jiwa."

"Tidak apa-apa. Dulu ibuku juga repot merawatku. Aku menyayanginya demikian pula ibuku. Dia juga sangat menyayangiku. Aku akan merawatnya sendiri. Jika ibuku dibawa pergi aku akan sangat kesepian."

Mata petugas trantib menjadi berkaca-kaca. Ibunya tidak jadi dinaikkan ke mobil. Dengan sabar anak itu menuntun ibunya pulang. Banyak yang terharu melihat ketulusannya. Dia tidak peduli dengan tatapan mata orang-orang di jalanan. Di pinggir jalan desa yang sepi mereka beristirahat. Kita melewatinya. Saat itulah kita mendengar isak tangisnya. Dia menangis di pangkuan ibunya. Kita berhenti agak jauh darinya. Kita tidak punya apa-apa. Uang terakhir sudah kita belikan es.

Aku mengambil penjepit rambut hadiah ulang tahun dari ibuku dan kuberikan kepadanya. Anak itu menatapku. Aku masih teringat dengan tatapan matanya. Dia tidak mengatakan apa-apa. Tapi aku tahu dia mengucapkan terima kasih dengan tatapan matanya yang basah. Diam-diam kita menangis. Sesampai di rumah ibunya dimandikan dan diganti bajunya. Rambutnya disisir. Sambil melakukan semua itu ibunya diajak berbicara dengan lemah lembut. Dia tahu ibunya tidak akan pernah menjawab dan kalaupun menjawab pasti asal-asalan. Kata tetangganya anak itu sering bersenandung agar ibunya tertidur.

Karena tidak ingin menangis lagi kita memutuskan tidak mengikuti mereka lagi. Kita merasa kehilangan ketika perempuan dan anaknya itu tidak pernah melintas di desa kita lagi. Akhirnya, karena terus penasaran, kita pergi ke desanya dan mendapati rumahnya kosong. Kita bertanya kepada tetangganya dan mendapat kabar kalau mereka diajak tinggal di sebuah pondok pesantren. Kita tidak pernah bertemu lagi dengannya. Dan, setelah tiga puluh tahun lebih, dia masih mengenaliku. Dia hafal dengan tahi lalat di sudut bibirku.

Ping, seandainya kita menjadi dirinya, apakah kita bisa berbuat seperti itu? Apakah kamu pernah pura-pura menjadi dirinya? Yang tulus mengikuti ibunya yang sakit ingatan, yang kadang telanjang di tengah jalan? Bagiku, sungguh tidak berlebihan kalau kita menyebutnya Gadis Berhati Seputih Salju. Banyak pelajaran yang dapat kita petik darinya. Ping sahabatku, apakah kamu jadi mengirim orangtuamu ke panti jompo karena kesibukanmu?

Aku menangis membaca email dari Anoi. Akhirnya aku tidak pernah berpikir untuk mengirim orangtuaku ke panti jompo. Apa pun yang terjadi mereka akan bersamaku. Gadis Berhati Seputih Salju telah menyadarkanku. Kisah ini aku ceritakan agar kalian bisa mengambil hikmahnya. Bukannya aku berniat untuk menghakimi bahwa orang yang menitipkan orangtuanya ke panti jompo itu salah, maksudku bukan demikian. Hanya saja, jangan sampai pepatah yang berbunyi "kasih orangtua sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah" berlaku pada kita. Bahwa kita juga mengasihi kedua orangtua kita sepanjang jalan. (*)

Next chapter