1 Ketahuan Selingkuh

"Selamat sore. Selamat datang di Diana Florist. Masnya mau cari bunga apa?" Begitu ramahnya Windy menyapa seorang pengunjung pria yang datang pada petang ini.

"Eum, saya mau cari bunga yang disukai oleh florist-nya. Biasanya, yang biasa merangkai bunga itu tau bunga apa yang paling indah," jawab si pria dengan kemeja berwarna navy tersebut.

Windy menduga kalau pria tersebut akan memberikan bunga yang indah itu untuk sang kekasih.

"Kayaknya Mas mau kasih hadiah bunga untuk pacarnya ya? Harusnya Mas cari bunga yang sesuai dengan kesukaan pacar Mas. Kalau bunga kesukaan saya, takutnya nanti nggak cocok sama pilihan pacar Mas," jelas Windy.

"Pacar saya bunga apa aja suka kok, Mba. Di sini bunganya bagus-bagus. Makanya saya bingung mau pilih yang mana." Tatapan pria yang petang ini mengenakan masker kain berwarna hitam itu kini beralih menjelajahi vas demi vas yang terdapat bermacam-macam bunga di depannya. Ia tidak tahu saja, kalau saat ini Windy tengah asyik menatap dirinya dari samping. Windy menduga kalau pria itu sangat tampan, meski ketampanan itu terhalangi oleh masker. Apalagi aroma wangi yang berasal dari parfum pria itu, membuat Windy jadi salah tingkah. Namun sayangnya, sang pria tampaknya memang sudah punya pacar. Windy hanya sanggup mengagumi seperlunya.

"Akh, saya terlalu bingung untuk memilih." Setelah puas memerhatikan bunga-bunga nan cantik itu, sang pria akhirnya putus asa karena ia tak bisa memilih mana bunga yang paling cantik.

"Oke, biar saya coba pilihkan untuk Mas. Eum, gimana kalau tulip putih? Ini bunga favorit saya, cantik banget." Windy menunjuk salah satu vas yang berisi bunga tulip putih yang terletak di tengah-tengah bunga yang lain.

"Oke. Saya setuju."

"Oke. Saya rangkai dulu bunganya ya, Mas. Mau dikasih kartu ucapan atau bagaimana?" tanya gadis berusia dua puluh enam itu.

"Nggak perlu. Saya mau lamar pacar saya malam ini. Jadi menurut saya nggak perlu pakai kartu ucapan atau apa pun."

Windy sempat tersanjung dengan ungkapan pria itu yang ingin melamar sang pacar malam ini juga. Andai Windy punya pacar, jelas saja ia tidak akan menolak kalau pacarnya akan melamar dengan memberi hadiah sebuket bunga kesukaannya.

Windy lalu merangkai bunga tulip tersebut dengan kertas cellophane kemudian menyematkan pita putih di bagian bawahnya. Setelah selesai, Windy lalu meminta pria itu menemuinya di meja kasir.

Setelah melakukan pembayaran, tampak si pria begitu senang menatap sebuket bunga tulip yang sudah Windy rangkai dengan indah.

"Semoga acara lamarannya berhasil, Mas. Jangan lupa ya, besok kalau nikah, pesan bunganya ke sini." Windy masih sempat-sempatnya berpromosi ria.

"Pasti, Mba. Doakan, semoga tahun ini saya bisa menikah dengan pacar saya. Terima kasih banyak, Mba. Saya permisi." Pria tersebut pun pamit. Windy hanya sanggup menatap punggungnya yang makin ke sini makin terlihat jauh.

"Hah, wanginya dia. Betapa beruntung pacarnya yang mau dilamar nanti malam," gumam gadis yang mengenakan t-shirt merah muda dipadukan dengan celana jeans panjang tersebut.

"Win." Diana--si pemilik toko bunga sekaligus sahabat karib Windy baru saja turun dari tangga dan tengah bergerak menghampiri Windy. Diana sepertinya tengah terburu-buru.

"Apaan, Bos?"

"Gue mau nyalon dulu. Soalnya ntar malam mau ada kondangan gitu ke rekan bisnisnya Rain. Lo nanti yang tutup toko ya?"

"Iya, iya. Emang biasanya gue yang nutup toko kan? Lagian lo rajin banget kondangan. Giliran dikondanganin balik entah kapan," sindir Windy, karena sejauh ini Diana masih betah berpacaran dengan sang pacar yang bernama Rain itu.

"Idih, bilang aja lo iri. Dasar kaum jomblo, sok ngenes kalau temennya punya gandengan." Diana pun balik menyindir Windy. Mereka nyaris saja berantem kalau Diana tak kabur dulu.

"Awas lo, Di. Gue sumpahin malam ini Rain ngelamar elo, biar kerjaannya nggak kondangan mulu ke nikahannya orang!" teriak Windy. Dan respons Diana hanya melambaikan tangan ke arahnya ketika ia sudah sampai di parkiran.

Windy kembali duduk di kursi kasir sambil menanti pembeli datang. Dan entah kenapa, bau wangi parfum pria itu masih tertinggal di sini. Membuat Windy jadi teringat lagi dengan pembeli bunga yang tadi.

"Udah wangi, penyayang pacar, dan pastinya orangnya pasti ganteng. Sayang banget kegantengannya tadi harus ketutup masker." Windy menyayangkan karena ia tak diberi kesempatan untuk melihat wajah itu secara keseluruhan.

***

Gery memarkirkan mobilnya di parkiran sebuah apartemen. Malam ini ia berniat mengunjungi sang pacar--Aira--yang tinggal di apartemen tersebut. Sebelumnya, Gery sempat mengabari Aira kalau malam ini ia ada lembur di kantor. Namun, itu semua hanya akal-akalan Gery saja. Malam ini Gery ingin membuat kejutan dengan datang diam-diam ke apartemen Aira, lalu melamar gadis yang sudah dipacarinya dua tahun tersebut.

Gery masih memakai maskernya saat turun dari mobil. Ia lalu bergerak memasuki badan apartemen, kemudian menuju lantai dua. Ia mencari-cari unit apartemen nomor 92 yang merupakan tempat tinggal Aira. Saat sudah menemukannya, Gery lantas memasukkan password untuk membuka pintu apartemen Aira karena sebelumnya ia sudah terbiasa keluar masuk apartemen kekasihnya itu.

Gery baru saja masuk dan melepas kedua sepatunya kemudian memakai sandal selop yang sudah sering ia gunakan di sini. Ia dibuat terkejut karena ada sepasang sepatu pria di sana. Mungkinkah Aira sedang ada tamu pria? Gery mulai merasa ada yang tidak beres. Kondisi apartemen minimalis ini tampak sepi. Sebelumnya Aira memberi tahu Gery kalau sedang tidak enak badan. Gery berpikir kalau saat ini Aira sedang beristirahat di kamar. Lalu, bagaimana dengan pemilik sepatu itu? Di manakah keberadaannya?

Lelaki dengan tinggi 183 cm itu bergegas menuju kamar Aira karena ia mulai merasa firasatnya tidak enak. Namun, baru saja menekan gagang pintu, ia mendengar suara Aira tengah bercengkerama dengan seorang pria di dalam sana.

"Udah ah, Rio, geli."

"Geli tapi kamu suka kan?"

"Ya, aku suka. Aku merasa beruntung bisa sama kamu. Gery mana ada waktu buat begini."

"Dahlah, kenapa nggak kamu putusin aja sih dianya? Dia cuma cinta sama pekerjaannya. Boro-boro cinta sama kamu."

"Tapi aku masih sayang Gery, dan aku juga butuh kamu yang selalu ada buat aku."

"Tapi cuma aku yang bisa kasih kepuasan di atas ranjang kan? Kamu harusnya lebih milih aku daripada dia."

Tangan Gery lantas mengepal. Ia baru saja mendengar percakapan Aira dengan seorang pria yang ia duga bernama Rio itu. Entah, Gery tidak mengenal siapa Rio. Yang Gery tahu saat ini ia ingin sekali menghajar seorang pria bernama Rio tersebut.

Gery segera membuka pintu kamar kekasihnya itu dengan kasar. Aira dan Rio sangat kaget dan syok ketika melihat pintu tiba-tiba terbuka dan di depan sana sudah ada Gery.

"G-Gery?!"

avataravatar
Next chapter