webnovel

Mulai Curiga

"Zzrrrd.... Zzrrrd....." getaran ponsel terdengar jelas, Meskipun tersimpan dalam saku celana yang dikenakan mas Alan, bahkan ponsel itu pun terhimpit oleh tubuhnya yang kini mengeliat mencari posisi yang lebih nyaman. Dengan tidur sangat pulas.

Terdengar dua kali getar ponsel mas Alan membangun kan Dilla yang tidur dipangkuan ku, perlahan ku tepuk pelan pantat Putri kecilku satu- satunya itu ada dia kembali tertidur.

Tidak ada terbersit kecurigaan dihatiku, tentang sipengirim pesan masuk barusan. Aku percaya jika suamiku orang yang setia, terbukti selama ini dia tidak pernah menyembunyikan apapun padaku. Termasuk mengunci layar ponselnya.

Jam didinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam, aku tidak tega membangun kan suamiku yang baru pulang kerja dan langsung tidur. Kutatap wajah lelahnya yang mencari nafkah untuk aku dan Dilla.

Semenjak menikah, aku sengaja berhenti bekerja dipabrik, tempat yang telah mempertemukan aku dan mas Alan, hingga saling jatuh cinta dan memutuskan untuk menikah diusia yang sudah sangat matang. Aku sudah 26 sedangkan umur mas Alan saat itu sudah menginjak 32 tahun.

Suara getar ponsel, kembali membuat rasa penasaran ku untuk segera membuka isi pesan. Saat itu aku berfikir mungkin ibu mas Alan yang mengirimkan pesan, akhir-akhir ini ibu mertuaku sering mengeluh sakit-sakitan dan meminta uang untuk biaya berobat.

"No nyasar."

Merupakan nama sipengirim pesan, sehingga aku menarik nafas lega, dan terus berusaha untuk berfikir positif terhadap suamiku. yang susah payah bekerja untuk kami, terkadang juga harus membiayai pengobatan ibunya.

Tanpa sengaja aku membuka pesan masuk itu, yang isinya hampir membuat jantungku copot.

"Mas Alan, malam ini aku akan berangkat ke Bandung. Terimakasih udah menemaniku beberapa hari ini. besok aku akan mengurus kepindahanku pada perusahaan induk, agar kita bisa terus bersama setiap hari. seperti permintaan mu. Love You mas, uuups jangan lupa bekas ciuman panas kita barusan dihapus ya."

Tanganku langsung bergetar, berbagai pertanyaan buruk bermunculan dibenak ku. Meskipun aku sudah berusaha untuk menepisnya, namun aku gagal. Air mata tidak mau berhenti membanjiri kedua pipi ku.

"Ya Tuhan, semoga saja ini hanya pesan yang benar-benar nyasar masuk ke ponsel suamiku." Gumam ku berusaha untuk menguatkan hatiku yang mulai rapuh dan goyah. kupeluk erat Dilla berharap bisa memberikan sedikit kenyamanan agar aku ikut tertidur kembali, namun usaha ku sia-sia belaka.

Aku kembali bangkit lalu melaksanakan sholat malam, sambil merentangkan kedua tanganku meminta pada sang ilahi. Agar kebahagiaan rumahtangga ku ini tetap terjaga.

"Mungkinkah mas alan setega itu mengkhianatiku, pernikahan kami yang sudah masuk tahun ke enam, dengan anak yang sangat cantik meskipun dia terlambat hadir ditengah-tengah Rumah tangga kami yang belum pernah diterpa permasalahan yang berarti.

Wajah mas Alan yang selalu tersenyum manis pada kami berdua, seberat apapun permasalahan nya di pabrik. Mas Alan tidak pernah membawanya kerumah.

"Apa aku harus menanyakan permasalahan ini pada mas Alan, tapi? Tidak...tidak aku tidak ingin dia tersinggung dan marah. Bukankah dia juga sudah menulis nama dikontak ponselnya sebagai No yang nyasar masuk ke ponselnya, aku merasa. Mas Alan tidak akan mau untuk berterus-terang."

Anisa kembali menyeka air yang kembali meleleh dari mata nya.

"Aku tidak boleh gegabah, dan harus menyelidiki sendiri." Gumam Anisa kembali merebahkan tubuhnya disamping akan suaminya, sedangkan Dilla sudah dipindahkan ke Kadur bocah itu sendiri yang berdekatan dengan ranjang Anisa dan Alan.

Paginya Alan seperti tanpa dosa, sikap nya tidak pernah berubah. selalu hangat pada Anisa dan bahkan hati mereka Dilla yang Beru berusia delapan belas bulan. Yang madih membutuhkan ASI eksklusif dari sang Mama.

"Duh kesayangan papa, sudah bertambah aktif ya sekarang." Mengendong Dilla dan mengajar ke udara, membuat bocah imut itu tertawa lepas saking riangnya.

Semenjak berhenti bekerja, aku mulai berhemat dan mengatur keuangan dengan sebaik mungkin. Mengingat gaji mas Alan yang hanya buruh biasa cukup untuk kebutuhan kami dari bulan ke bulan, belum lagi cicilan motor, listrik, air yang harus aku keluarkan tiap bulannya.

Namun aku tidak pernah mengeluh, bahkan aku juga pernah meminta izin untuk bekerja lagi dan menitipkan Dilla pada ibu mertuaku yang tinggal tidak jauh dari sini. Tapi mas Alan tidak memberikan aku izin, dia ingin Dilla Putri kami satu-satunya tumbuh kembangnya terperhatikan dengan baik.

**

Tapi lama kelamaan aku mulai bertambah curiga, meskipun hati dan pikiran ku selalu bertolak belakang. Mengingat mas Alan yang lebih suka begadang dengan ponsel yang tidak pernah lepas dari tangan nya.

"Mas tidur lagi yuk, sekarang sudah sangat larut. Besoknya mas kan harus kerja juga." Aku menghampiri mas Alan yang tengah selonjoran di sofa dengan TV yang masih menyala, sedangkan tangan nya masih terlihat Asyik membalas chat yang masuk.

"Mas belum ngantuk, lagi ngobrol dengan teman lama Dika, kamu tentunya masih ingat dia kan? Teman satu Line dengan mu dulu dipabrik." Terangnya.

"Ooo Iya, aku masih ingat. Sudah lama juga ngak terdengar kabarnya ya mas." Balasku tanpa curiga dan percaya saja dengan apa yang terlontar dari bibir manisnya.

"Tentu, karena dia sudah lama pindah ke Padang." Terang mas Alan.

Aku kembali masuk Kekamar, dan tidur sambil memeluk tubuh Dilla yang sempat terbangun. Baru beberapa menit aku tertidur, aku seperti mendengar suara orang yang sedang telpon-telponan, tawa yang begitu renyah meskipun kelihatannya mas Alan berusaha untuk mengecilkan nada suaranya.

Aku bangkit, sambil berusaha untuk mempertajam pendengaran ku. Namun suara tv dan kipas yang menyala membuat ku tidak bisa dengan jelas apa yang mereka bicarakan.

Paginya, mas Alan terlihat begitu bersemangat untuk berangkat kerja. Meskipun agak kesiangan karena ketiduran.

"Mas ngak sarapan dulu?." Seperti biasanya, Aku sudah menyiapkan menu sarapan untuk mas Alan sebelum berangkat kerja. Setelah itu aku baru menyuapi Dilla bubur.

"Ngak usah dek, takut telat. Mas sarapan di kantin pabrik aja." Terang mas Alan, langsung naik keatas motor dan melajukan nya.

"Sepertinya papa begitu buru-buru berangkat kerja, sehingga dia tidak sempat mencium mu sayang." Ucap ku pada Dilla yang semula sempat bilang " dada.... dada...." melambaikan tangannya pada sang papa yang mengabaikan nya.

Sampai dipabrik Alan langsung memarkirkan motor nya, sejajar dengan motor buntut karyawan yang lainya.

Baru beberapa langkah Alan berjalan dari parkiran, Dina sudah berdiri menghadang langkah laki-laki yang menjadi bawahannya di dipabrik milik orang tuanya itu.

"Sayang, kenapa telat sih datangnya." Merajuk pada Alan yang memasang senyum terbaiknya ke arah Dina.

"Maaf sayang mas ketiduran sehabis telponan dan sayang-sayangan sama kamu semalam." Menoel hidung mancung Dina yang membuatnya Alan klepek-klepek. Sehingga lupa akan status nya sebagai suami dan seorang ayah.

Dina, gadis cantik dengan tubuh molek, dada yang besar. meskipun sudah pernah menikah tapi dia belum juga dikaruniai seorang anak, sehingga Rumah tangga nya putus ditengah jalan diusia pernikahannya yang menginjak tahun keempat. Suami Dina menceraikan nya karena Dina tidak mengizinkan suaminya untuk menikah lagi karena sangat menginginkan adanya anak. Di usianya yang masih muda Dina sudah penyandang status janda kembang.

"Sayang kamu sudah sarapan?"

"Belum yang, takut telat dan langsung berangkat." Terang Alan.

"Kalau gitu kita sarapannya diruangan ku saja yuk mas." Menarik tangan Alan.

"Dina, ngak enak jika dilihat karyawan lainnya." Tolak alan sedikit sungkan, karena teman-temannya di pabrik ini banyak yang mengenali anissa istri nya yang dulu juga pernah bekerja disini.

"Biarkan saja mas Alan, ini pabrik milik keluarga ku. Aku bisa saja memecat mereka jika berani macam-macam sama hubungan kita." Ucap Dina yang tidak mau melepaskan tangan Alan dan menariknya masuk keruangan kerja yang mewah dan sangat bagus bagi orang seukuran Alan untuk memasuki nya.