1 Still

Sudah musim yang baru.

Udara malam telah jadi dingin.

Bagaimana kabarmu? Apa kau sehat?

Aku melewati rumahmu dan memikirkanmu lagi.

.

Aku tidak mendengar apapun selain gonggongan anjing dan desiran mesin penghangat dari tiap rumah yang ku lewati. Angin turut meramaikan, seolah tau bahwa aku sebenarnya takut berjalan sendiri di tengah malam ini.

Musim dingin sudah di penghujung namun udara masih saja menggigiti kulit hingga ke tulang. Mantel tebal berbulu yang ku kenakan seakan menjadi bahan ejekan di cuaca seperti ini. Aku menggigil sendirian.

Aku masih berjalan. Menyusuri tiap jengkal aspal tak berseni yang sunyi. Tembok-tembok rumah kadang melambai, menyuruhku mempercepat langkah untuk sampai ke tembok hangat milikku sendiri. Tapi aku tidak terhasut. Meski takut, aku masih ingin berlama-lama di sepanjang jalan ini.

Dulu, tawa kami menjadi yang paling ramai di kesunyian malam. Hanya kami berdua kadang. Aku tidak pernah takut karena tak hanya gema kakiku yang terpantul, langkah-langkah lebar darinya menemaniku. Aku tidak pernah merasa sedingin ini meski saat itu salju pertama telah mendesak sebagian bumi.

Aku menghela nafas. Kepulan uap putih menyapa keluar dari celah bibirku. Mengingat hal lalu seolah tak akan ada habisnya. Tidak bosan. Sebanyak apapun yang ingin di ceritakan. Sama halnya ketika hanya jejak kakinya yang terlintas, maka segala titik kenangan yang pernah terjalin menggebu untuk diulang.

Tidak akan ada rindu jika tidak ada hal yang terlewat.

Aku merindukannya sebanyak yang sudah kami alami bersama. Aku rindu. Disini kami membagi banyak cerita. Aku tidak pernah lupa apa saja yang terucap dari bibirnya. Di sepanjang jalan ini.

Aku rindu. Bagaimana kabarnya? Apa yang sedang ia lakukan? Sudahkah ia makan sup tahu hari ini? Dan tanya lain yang bergantungan di tiap helai rambutku. Begitu banyak hingga menyakiti kepala.

Suara anjing dan suara tidak jelas dari kresek di pinggir tong sampah semakin dekat di telinga. Aku meremas gulungan kertas di dalam saku mantel, mencari pegangan untuk rasa takutku selain pacuan langkah yang semakin cepat.

Lampu jalan di tikungan pada ujung jalan tidak pernah mendapat perhatian. Aku menggerutu untuk keseribu kali sejak lampu itu terus berkedip. Hidup namun mati. Atau mati tapi ia masih dianggap hidup hingga tidak dihiraukan.

Lampu.

Aku seharusnya takut. Tapi nyatanya malah terpekur di samping tiang lampu yang berkarat.

Dia pernah sekali memarahiku karena masalah yang sama. Lampu di rumahku padam saat malam itu ia berkunjung dengan seporsi sup tahu. Ia memperbaiki lampu rumahku sambil mengoceh. Aku tertawa. Bagaimana ia terlihat seperti ibu daripada ayah.

Dia tau aku tidak takut gelap. Dan aku lebih tau bagaimana kegelapan lebih mengerikan dari rasa takut itu sendiri.

Ada alasan lain mengapa aku masih terdiam bersama siulan nyamuk dan lambaian dahan pohon yang tercetak pada aspal. Diseberang sana, rumah itu masih kokoh. Menjulang angkuh diantara rumah lainnya. Berdiri dalam kegelapan tanpa penghuni. Sepi. Dinginnya sampai pada tempatku berdiri.

Rumah yang kembali mengingatkanku padanya. Rumah yang kembali membuatku bertanya dimana dia sekarang. Yang hanya di balas dengan kekosongan.

Kosong.

Dadaku berdenyut ngilu. Ada sudut yang tercubit namun aku tidak tau dimana. Aku tidak bisa mengusapnya untuk meredakan rasa sakitnya. Hanya terus seperti itu. Selama ini. Entah sudah berapa lama.

Sialnya hanya ada satu jalan menuju rumahku. Setiap hari aku akan melewati rumahmu dan kembali memikirkanmu.

Selalu seperti itu.

Taukah kau, Aiden?

.

.

.

.

.

bersambung..

avataravatar
Next chapter