webnovel

Pantai Timur

Aku berada diposisi paling timur sulawesi tengah, pantas saja dinamakan pantai timur.

Tepatnya desa Toribulu.

Desa yang sangat memegang teguh adat istiadat meski tak masuk akal.

Yah menurutku benar-benar tidak masuk akal. Bayangkan saja Mela yang ketika itu kabur dan bekerja ditempat ibu datang dengan kondisi daster kumal dan sendal jepit hampir putus.

Kabarnya dia diusir suaminya dan hampir dibunuh.

Ibu iba melihatnya, lalu memberi tumpangan kemudian lanjut diberi pekerjaan.

Karena rajin dan jujur, Mela kemudian diberi kepercayaan dan dirawat seperti merawat diriku. Anak perempuan satu-satunya.

Terkejutnya diriku ketika tau umurnya yang masih 17 tahun dan sudah punya anak umur 2 tahun.

.

Berhitung bulan Mela bermetamorfosis dari ulat,kepompong menjadi kupu-kupu.

Tubuhnya yang krempeng kembali sintal, kulitnya yang kusam menjadi putih dengan rambut lurus tergerai, matanya cemerlang dan sangat hidup.

Kerinduan tak terbendung pada buah hatinya membawa langkah kembali ke kampung traumatik itu.

Apa lacur?

Suaminya yang belum bisa disebut mantan karena belum putus pengadilan kembali mengejarnya.

Memaksanya kembali dan meminta seluruh hasil kerjanya dirumah ibu.

Dan yang mengerikan, dia didenda adat sebab lari dari rumah.

Aku berang terbakar amarah, beberapa kali aku meminta bantuan komite perlindungan anak dan perempuan dengan menceritakan kronologie hidupnya. Hasilnya nihil.

Mereka tidak berdaya dengan pasal "hukum adat lebih tinggi dari hukum negara,"

Apa ini? Brengsek!!!

Dimana mereka saat perempuan itu tertatih-tatih tidak berdaya mengharapkan hidup?

Kesalahan satu-satunya yang dilakukan Mela adalah, dia tidak melapor ke ketua adat ketika penganiayaan itu terjadi.

Tapi ku fikir secara nalar saja, mereka pasti melihat kondisi Mela ketika itu.

Orang-orang menutup mata.

Hukum apa itu?

.

Aku memaksakan diri ke pantai timur dengan menaiki motor Supra kesayangan.

Sepanjang jalan pantai pasir putih mengoda mata.

Beberapa nyiur melambai dengan eloknya, serupa perempuan-perempuan jangkung dengan lentik jemari.

Perjalanan 160km ku tempuh dengan kecepatan sedang meredakan sedikit amarahku.

Kelokan jurang-jurang memaksaku tetap waspada.

Sesekali aku mampir diwarung kecil untuk sekedar ngopi dan menghisap tuhan 9 centi.

Aksen bahasa indonesia baku ku membuat mereka memastikan aku berasal dari kota.

Wajah-wajah tercengang tetap saja menghiasi beberapa ibu-ibu yang kebetulan ngobrol denganku.

Disana, perempuan pergi jauh sendirian terlihat hebat.

Hahaha... Aku tertawa saja.

.

Pukul 4 sore aku tiba dikampung itu dan disambut hangat keluarga Mela.

Rupanya kabar kedatanganku sudah terdengar.

"Kita ke pantai mbak, mbak kan suka pantai,"kata mela menarik tanganku paksa.

Aku menurut saja, wangi shampo menabrak penciumanku.

.

Matahari bulat sempurna jatuh pelan-pelan ke dalam garis horizon laut.

Debur kecil ombak menyapu ujung kakiku.

Ada perasaan penuh saat mencium aroma anyir laut.

.

Beberapa anak nelayan bertelanjang dada berlarian mendorong perahu kayu ketengah laut.

Beberapa pula pulang membawa rentengan ikan. Saat melewatiku, mereka menawarkan segantung.

Cepat ku rogoh dalam-dalam kantungku sembari bertanya.

"Berapa?"

Mereka mengeleng.

Mela tertawa.

"Disini tidak semuanya dibeli mbak,"katanya lagi.

Aku takjub.

Lalu untuk apa mereka melaut?

"Kalo hanya untuk makan gratis, hasil laut sebagian besar sudah diterima tengkulak dan dibawa ke kota kita," katanya riang.

Pipinya merona terbias merah langit sore itu.

"Kamu bahagia?"tanyaku.

Tidak tergurat sedikitpun duka diwajahnya.

"Kalo harus disuruh bayar denda, lebih baik aku kembali saja sama dia mbak, tanahpun kalo dijual tidak akan sanggup membayarnya," katanya sembari menunduk.

Sebutir air mata jatuh.

"Jangan!!! Dia tidak akan berubah. Penjudi,pemabuk,main perempuan... Bah!! Laki-laki biadab!"maki ku

"Iya, mungkin memang nasibku,"katanya lirih.

"Besok kamu kembali sama aku,"kataku tegas.

"Tidak bisa mbak, aku tidak mau ibu kena masalah," sahutnya keras kepala.

Emosiku memuncak.

"Ini tidak adil, tidak adil!"ucapku geram mengetapkan gigi.

"Hidup memang tidak pernah adil mbak,"katanya mendongak dan mengusap kasar airmatanya

"Tapi setidaknya saya harus hidup demi anakku,"

Tubuhku terguncang hebat. Wajahnya memancarkan ketegaran.

Ku remas tangannya untuk memberi kekuatan.

"Sebentar malam sidang adat, temani aku ya mbak,"katanya dengan sinar mata terluka

"Kalo sudah diputuskan, untuk apa lagi sidang,"sahutku sinis.

"Ayo pulang, sudah malam. Mbak harus makan,"katanya sembari menarik tanganku kembali.

Aku berjalan putus asa.

.

Pukul 7 malam didesa itu seperti pukul 12 malam dikota.

Dengan penerangan yang terbatas beberapa totua(orang tua) berkumpul diatas panggung yang lebih tinggi.

Sedang kami duduk dibangku-bangku plastik.

Pledoi dibacakan dengan bahasa daerah tanpa teks.

Hanya satu dua yang ku tangkap artinya.

Tiba-tiba seorang laki-laki dari pihak keluarga Mela berdiri. Ya paman mela dengan wajah merah padam mengucapkan sesuatu.

Mela bilang paman marah sebab perlakuan Andik, lelaki tua yang dulu jadi suaminya.

Jujur saja awalnya aku terkejut, suami mela sangat tua. Lebih tepat disebut kakek.

.

"Jangan ikut marah mbak, sudah,"katanya memaksaku duduk. Dia menangis meraung memelukku.

Aku ingin sekali menampar dan meludahi muka lelaki itu.

Dengan semena-mena dia menuduh Mela jadi pelacur dikota.

"Tunggu saja, aku merekam semuanya. Itu pencemaran nama baik,"kataku berapi-api.

"Secara tidak langsung kamu menuduh rumah ibuku tempat pelacuran,"

Wajahnya memucat meski tidak mengurang kesombongannya.

Andik mengeluarkan beberapa kata ancaman.

Aku tertawa sinis.

"Kamu bukan apa-apa dihadapan hukum," sahutku beranjak pergi.