1 Desa Sikakuni

"Cantik, seindah suaranya." gumam Marvin saat melihat keindahan ciptaan Tuhan di depan matanya. Marvin membuka sedikit kaca mobilnya, mendengarkan kemerduan suara gadis yang tengah bersenandung dengan jemari yang lihai memetik ukulele.

Marvin mengambil beberapa lembar uang berwarna merah, kemudian memberikannya pafa gadis itu, saat gadis itu mulai mendekati jendela mobilnya.

"Maaf mas, apa saya harus berpoto dulu?" tanya gadis itu saat menerima uang dari Marvin. Melihat nominalnya yang tidak sedikit, gadis itu lantas berpikir bahwa ia harus bersedia di poto sebagai bukti bahwa Marvin telah memberikan sedekah padanya, yang kemudian akan ia bagikan di media sosial. Seperti orang kebanyakan yang memberi hanya sebagai ajang pamer, agar di bilang dermawan. Tanpa memikirkan perasaan mereka yang menerima sumbangan.

"Oh, tentu tidak, maaf jika pemberian saya membuat kamu tersinggung," balas Marvin merasa bersalah, sesungguhnya ia tak ada niat sedikitpun untuk melakukan hal yang di pikirkan gadis itu. Ia hanya menghargai usaha gadis yang terlihat kucel. Namun, masih terlihat cantik alami.

Tet.., tet...!

Suara klakson dari kendaraan lain memaksa Marvin untuk segera melaju, lalu gadis itu yang melihat Marvin akan pergi langsung mengucapkan terima kasih.

Sesampainya di kantor, Marvin terbayang-bayang akan sosok gadis pengamen jalanan itu, pikirannya tak luput akan ucapan gadis itu yang masih terngiang di telinganya.

"Maaf pak, proyek di desa Sikakuni sepertinya mengalami masalah besar," ucap Gina, yang menjadi sekertarisnya.

Gina masuk bukan tanpa permisi kedalam ruangan bosnya, hanya Marvin yang terlalu sibuk memikirkan gadis pengamen jalanan itu, membuat ia tak sadar dengan kehadiran Gina.

"Masalah? Apa gunanya Bastian aku tugaskan disana?" tanya Marvin yang sudah meninggikan suaranya.

"Maaf pak, saya hanya menyampaikan pesan dari pak Bastian saja. Karena beliau sudah berulang kali menghubungi bapak. Namun, nomor bapak tidak aktif," jelas Gina yang sudah bergetar di tempatnya. Gina takut jika bosnya sudah marah, karena Marvin bisa saja melampiaskan kemarahannya dengan barang yang ada di dekatnya.

"Kalau begitu, pergilah." titah Marvin yang masih bisa mengontrol emosinya.

"Baik pak, saya permisi."

avataravatar