1 Tiga Foto Gadis Cantik

Siang, matahari terik, dan Rehan baru saja mendapatkan kabar bahagia sebagai Mahasiswa yang lulus S2 dengan nilai cumlaude di Institut Teknologi Bandung. Dia ada di Program Studi Jurusan Aministrasi Bisnis. Dan sebulan sebelum hari wisuda, seorang kenalan sudah memberi jalan untuknya kerja di sebuah perusahaan bergengsi di Jakarta sebagai supervisor. Haha! Masa depan cerah benar-benar menanti dirinya.

 

"Selamat, Rehan!"

 

Senyum Rehan merekah sepanjang hari. Dia menerima begitu banyak ucapan selamat dan buket bunga dari berbagai macam kalangan. Pertama orangtua, kedua teman dekat, ketiga kenalan, dan seterusnya adalah adik kelas, bahkan gadis-gadis dari jurusan lain ikutan menyerbu.

 

Kata Alex, "Biasa lah… Pangeran Milenial gitu lho! Model kita yang paling tampan dan keren sepanjang abad! Cewek-cewek dateng mah udah biasa!" ledek sahabatnya itu.

 

Rehan hanya tertawa. Dia juga tak lelah diajak berfoto kesana kemari. mengiyakan saat diajak merayakan prestasinya itu di sebuah restoran. Lalu pulang ke rumahnya di Malang saat jam menunjukkan pukul 8 malam.

 

"Sayang, makan malam dulu yuk," kata Maria, ibunya.

 

"Rehan udah kenyang, Ma. Tadi makan di jalan sama temen-temen…" kata Rehan. Lalu berlari naik tangga ke kamarnya di lantai dua. Dia pikir bisa langsung setelah lolos dari Maria, mandi, dan ganti piama. Sayangnya tidak.

 

Rehan kini terduduk diam di ruang tengah setelah Hendra memanggilnya untuk bicara.

 

"Rehan, Papa punya tiga foto gadis-gadis cantik," kata Hendra. Lalu membiarkan salah seorang pelayan meletakkan tiga helai foto itu ke meja yang memisah mereka berdua. "Bukan hanya cantik, tapi Papa jamin masing-masing juga punya latar belakang bagus di pendidikan dan sosial. Mereka adalah pilihan Papa dari kenalan baik. Jadi, setelah kencan buta nanti, bisa kau pikirkan salah satu yang paling menarik hatimu?"

 

"Apa?" kaget Rehan. "Tunggu, Pa… Rehan baru saja lulus. Mau fokus kerja dulu. Kenapa udah bahas sampe ke sini?" tanyanya dengan raut wajah panik.

 

Maria mendadak keluar dari pintu ruang tamu dan menghampirinya dengan elusan di bahu. "Sayang, jangan begitu. Papa sudah berusaha untuk memilihkan yang terbaik," katanya. "Mama juga udah liat profil mereka masing-masing kok. Dan Mama suka semuanya sampai nggak bisa milih."

 

Detik itu, kepala Rehan langsung pening seketika. "Pa… Ma…" katanya. Tapi untuk mengatakan sesuatu, susah sekali rasanya.

 

Hendra peka melihatnya. "Jangan bilang kamu nggak mau menerima rencana ini," katanya. "Jika iya, coba berikan alasan yang lebih logis daripada fokus bekerja dengan jadwal pasti itu."

 

"Rehan masih belum pengen," kata Rehan. "Please lah… kuliah aja baru lulus. Mau seneng-seneng dulu, Pa. Mau refreshing. Malah disuruh nikah."

 

"Seneng-seneng lalu kamu mainin anak orang, begitu?" tanya Hendra retoris.

 

"Siapa yang mau mainin anak orang, Pa?" bantah Rehan. "Rehan cuma nggak mau cepet-cepet."

 

"Tapi itu bisa aja kejadian kan…" kata Hendra. "Papa lihat temen-temen sepantaran kamu bahkan banyak yang salah pergaulan di luar sana sampai lulus kuliah. Dikasih pendidikan tinggi malah main-main di luar. Mana hamilin anak orang di luar nikah pula."

 

"Apa Rehan selama ini ngelakuin itu?" kata Rehan. Sampai-sampai Maria mengelus bahu putera tunggalnya itu makin lembut. "Nggak kan? Rehan kuliah ya kuliah. Main di luar ya main aja. Nggak ngapa-ngapain. Kenapa jadi bahas ngehamilin anak orang?"

 

"Rehan!"

 

"Rehan udah dewasa, Pa," kata Rehan. "Kenapa masih dipaksa-paksa juga urusan beginian? Lagian dapet pekerjaan juga belum tentu mapan langsung kedepannya. Kenapa buru-buru sekali sih!"

 

Rehan berdiri. Maria pun mengelus tangan kirinya lembut. "Udah… udah…" katanya. "Duduk, Sayang. Lihat Papamu. Wajahnya sudah tegang begitu. Jangan membuatnya kepikiran kedepannya…"

 

Rehan mengepalkan tangan, tapi dia kemudian duduk lagi. Maria benar. Hendra bahkan sudah sangat kalut di sofa itu. Papanya memang punya darah tinggi. Marah sedikit saja bisa berbahaya.

 

Rehan pun tidak ingin hal-hal buruk seperti dulu terjadi.

 

"Oke, kencan butanya aku terima," kata Rehan. "Tapi bukan berarti aku akan milih salah satu. Kalo ada yang membuatku tertarik, baru kupikirkan. Jika tidak, ya sudah. Aku nggak mau memaksa diri milih salah satu. Gitu aja gimana, Pa?" tanyanya. Mencoba negoisasi.

 

Hendra pun menghela nafas pasrah. "Ya… ya…" kata pria itu. "Begitu juga boleh, tapi jika memang tidak ada satu pun yang kamu sukai, Papa juga nggak bakal nyerah gitu aja. Nanti Papa carikan kamu calon yang lain dan kau juga harus menemui mereka."

 

"Ya ampun… keras kepala sekali," dengus Rehan pelan. Lalu menatap Hendra lurus-lurus. "Iya, Pa. Gitu aja nggak papa. Pokoknya kalo nggak sama-sama suka aku tetep nolak."

 

Hendra tidak mengatakan apa-apa. Pria itu hanya beranjak dari sofa, menatap balik kepada Rehan sekilas sebelum berlalu ke kamarnya di lantai dua begitu saja.

 

Rehan sampai memaki kasar, tapi Maria memeluknya hingga tenang setelahnya.

 

"Mama minta maaf nggak bisa bantu kamu, Sayang," kata Maria. "Sebenarnya Papa begitu karena baru-baru ini kondisi badannya nggak baik."

 

DEG

 

"Apa?"

 

"Iya, Sayang," kata Maria. Lalu melepaskan pelukannya dan menatap kedua mata Rehan. "Papamu udah kambuh parah 3 kali selama dua bulan ini. Tapi dia nggak pernah ngizinin Mama buat ngasih tahu kamu. Soalnya kamu lagi fokus lulus kuliah S2. Jadi biar kamu fokus aja."

 

Rehan pun tak bisa berkata-kata karenanya. Dia hanya diam, lalu kembali masuk ke kamar setelah Maria mengizinkannya berlalu. Lututnya lemas, dan dia merosot duduk di balik pintu karena membayangkan ayahnya sempat koma selama 3 hari karena kondisinya terlalu parah. Secara, dia hidup di Bandung sejak lulus sekolah. Otomatis sudah berjalan 6 tahun.

 

Pulang, Rehan pikir sudah memberikan kebahagiaan kepada Hendra dan Maria dengan nilainya yang cukup memuaskan. Namun jika seperti ini, rasanya tidak ada yang bernilai. Rehan stress, dia tidak mau perjodohan itu tapi juga tak sanggup memikirkan kondisi Hendra.

 

Ya ampun… kenapa hidupnya seperti di novel-novel?

 

"Halo, Alex," kata Rehan di telepon.

 

"Yo, Kawan. Ada apa kau mendadak menelponku?" tanya Alex di seberang sana. Suaranya tenggelam dengan music DJ di sebuah bar entah apa. Pasti begitu. Rehan yakin seratus persen jika sahabatnya itu masih senang-senang untuk merayakan kelulusan dengan cara yang gila.

 

"Kau di mana? Beritahu aku posisimu."

 

"Hah? Aku di Bar El Noir. Nggak jauh dari tempatmu sih. Tapi mungkin kau sudah biasa dengan kawasan sini."

 

Suara Rehan berbisik rendah.

 

"Alex, tunggu aku di sana," kata Rehan. "Aku akan menyusulmu dalam 30 menit. Kita pesta semalaman dan buat aku lupa segalanya."

 

"Apa? Heh? Tumben kau tertarik mabuk lagi?"

 

"Pokoknya begitu. Cukup jangan banyak tanya saja."

 

"Hah? Tapi kan—"

 

TUTS

 

Detik itu juga, Rehan langsung berganti baju dan menyambar jaket untuk membawa mobilnya menyusul Alex. Tak peduli. Meski pada jam 9 itu, Maria memanggil-manggil namanya dari balkon kamar begitu menyadari kepergiannya.

 

Bersambung...

 

 

avataravatar
Next chapter