webnovel

Perkenalan Sekaligus Pengancaman

Betapa kagetnya Fei saat tadi ada penghapus berlumur debu kapur melayang cepat ke mata kiri Tristan. Mata kanan siswa itu sudah terkena sol sepatu, dan kini malah mata kiri yang disasar Ren.

Semua orang termangu dan tak bisa berkata-kata ketika melihat Ren dengan entengnya meniup lalu menepuk-nepuk telapak tangannya yang tertempeli sedikit debu kapur.

"Sepertinya tanganku agak terpeleset sampai penghapus tadi tergelincir ke dia." Ren mengangkat bahu sambil beralasan menatap Fei dan Kepsek.

"Bohong! Kau pembohong sialan!" seru Tristan tak terima. "Kau sengaja!"

"Aku hanya belajar darimu, sepertinya itu ilmu yang bagus. Terima kasih." Tanpa merasa bersalah sama sekali, Ren menyahut.

"Tak tahu malu!" raung Tristan makin kesal. Belajar dariku? Sana kau belajar memukul dirimu dengan sepatu dan penghapus agar kau tahu seperti apa rasanya! Dia geram bukan kepalang dipermalukan di depan teman-temannya. Dia yang merupakan preman di kelas ini malah kini diremehkan pemuda antah-berantah!

"Sudah! Tristan, sana basuh dulu mukamu." Sekali lagi Pak Randu mengembalikan kewibawaan dia sebagai guru. Tristan pun hanya bisa mengerang kesakitan. Pak Randu menyuruh Tristan keluar dulu untuk membasuh wajahnya yang kotor oleh berbagai debu dari sepatu dan juga penghapus.

"Tanpa diminta juga aku sudah ingin keluar!" bentak Tristan pada Pak Randu sambil berjalan keluar kelas dan menatap sengit pada Ren. "Hoi, gengs, ayo!" panggilnya pada beberapa siswa lain untuk ikut keluar bersamanya.

"Mereka biar tetap di sini." Pak Randu teguh mengatakan hal itu. Mata para murid membeku. Tumben sekali guru kimia mereka yang biasanya bernyali ciut ini bisa memerintahkan sesuatu pada murid kelas!

Para murid tak tahu bahwa saat ini jantung Pak Randu berdebar kencang dan dia menahan diri untuk tidak ambruk ke lantai karena ketakutan. Sudah sejak awal dia mengajar di sekolah ini, dia kerap ditindas dan dikalahkan oleh murid-muridnya. Apalagi penampilan dia yang terbilang halus dengan sikap lembek, semakin memudahkan murid untuk tidak patuh pada apapun yang Beliau katakan.

Saat ini, setelah melihat bagaimana Ren menindak Tristan, Pak Randu mulai bangkit wibawanya meski masih berjuang menenangkan lutut yang gemetar. Beliau memiliki keyakinan jika Ren pasti akan membelanya jika ada murid lainnya lagi di kelas ini yang ingin melawan Beliau. Sepertinya bocah ini bisa dijadikan sebagai alat peredam siswa nakal, pikir Beliau.

Melihat mata Ren mengedar ke semua siswa di kelas tersebut, teman geng Tristan memilih untuk tetap di kursi. Kebetulan, mereka tadi menyaksikan bagaimana Ren mengambil tindakan tegas ke Zen dan Yong. Tristan mungkin tidak lihat karena belum datang, tapi mereka sudah datang lebih dulu.

Oleh karena itu, seakan pandangan mata Ren yang sambil lalu terhadap mereka dianggap sebuah ancaman dan mengakibatkan mereka urung lepas dari bangku masing-masing. Ingin tulang dipatahkan Ren? Tidak, terima kasih!

Masih jelas di ingatan pendengaran mereka seperti apa bunyi tulang yang diremukkan Ren, dan itu masih menimbulkan naiknya bulu kuduk mereka.

Melihat tidak ada satupun temannya yang bersedia ikut dengannya, Tristan mendengus dan berkata sambil pergi, "Pengecut bangsat!" Tak lupa dia menggebrak pintu kelas saat keluar.

"Tsk! Dia pikir dia terlihat keren kalau melakukan itu. Justru terlihat menyedihkan. Ckckck, memalukan sekali." Ren bergumam pelan.

Fei di samping Ren hanya bisa menundukkan kepala dan mengulum bibir, agak khawatir jika yang lainnya mendengar ucapan Ren. Beberapa siswa di kelasnya ini ada yang menjadi anak buah Zen, ada pula yang mendirikan geng sendiri meski tidak sebesar milik Zen.

Tapi … apa dia lupa bagaimana Ren menangani dedengkot geng sekolah ini? Ahh, Fei sungguh terlupa akan itu.

"Ehem!" Pak Kepsek pun berdehem agar mengembalikan suasana menjadi lebih baik dan normal. "Baiklah, saya tinggal dulu." Sepertinya Beliau ingin lekas pergi saja dari kelas. Memang tempat paling aman dan nyaman bagi Beliau adalah ruangannya sendiri.

Sepeninggal Pak Kepsek, Pak Randu menoleh ke Ren dan berkata, "Murid baru, kan? Silahkan perkenalkan dirimu. Fei, kamu kembali ke tempat dudukmu."

"Baik, Pak." Fei mengangguk dan berjalan ke bangkunya sendiri di bagian belakang. Di sana, ada sahabatnya, Mirlani atau yang akrab disapa Lan, sudah siap menyambut.

Setelah melihat Fei duduk di bangkunya, Ren berkata ke para murid. "Namaku Narendrajanu, tapi panggil saja Ren. Aku saudaranya Fei, jadi aku harap kalian tidak mengganggu dia atau kalian bisa berurusan denganku."

Perkenalan macam apa itu? Menyampaikan nama sekaligus ancaman! Benar-benar cara putera mahkota yang dominan!

Meski dulu Ren merupakan pangeran yang lembut dan tidak suka ribut, namun pengalaman sejak huru-hara di kerajaan telah membalikkan banyak kepribadian dia. Terkadang trauma memang bisa mengubah seseorang.

Kini, Ren tidak ingin lagi dianggap lemah dan mudah diperalat, apalagi dikhianati. Dia akan menjadi seseorang yang jauh lebih kuat dan tegas untuk membuktikan bahwa dia memang seorang yang layak menjadi raja!

Siswa dan siswi lainnya terperangah mendengar kalimat perkenalan Ren. Kenapa itu malah terdengar seperti ucapan seorang kepala gangster dibandingkan orang yang memerangi gangster, yah?

Banyak dari murid di kelas itu menyaksikan bagaimana Ren menangani Zen dan Yong tadi pagi di halaman sekolah, sehingga di dalam hati, mereka cuma bisa berikrar: jangan sampai mencari masalah dengan pemuda itu.

"Errr … y-ya sudah, Ren, kamu bisa duduk di … sana! Masih ada yang kosong, bisa kau pilih sendiri." Pak Randu menunjuk beberapa bangku kosong di bagian depan dan juga belakang.

Berjalan ke bangku-bangku yang ditunjuk, mata Ren tertuju ke Fei. Ia agak enggan berjauhan dari gadis itu. Keinginan hatinya masih teguh bahwa dia ingin melindungi Fei dan mengajari gadis itu menjadi lebih kuat dan tidak mudah ditindas. Oleh karenanya, dia memilih bangku paling dekat dengan Fei.

"Fei, itu saudara kamu?" Lan berbisik pada Fei di sampingnya sambil melirik ke Ren di deretan lain. Sepasang bangku mereka ini berada di lajur pertama dari pintu kelas dan baris ke-2 dari belakang. Letaknya menempel pada dinding dan ada jendela di atasnya, terasa terang dan nyaman bagi Lan.

"Hu-um." Fei mengangguk.

"Tapi kenapa aku baru tahu kalau kau punya saudara seganteng itu? Kau ini pelit sekali tak pernah bilang padaku, Fei." Lan mencubit pelan pinggang Fei hingga sahabatnya menggelinjang kegelian.

Ren menatap sekeliling, ruangan kelas lumayan besar. Setidaknya ada 4 lajur dan 5 baris dengan masing-masing memiliki 2 bangku tunggal yang berpasangan dan saling menempel. Total bangku yang tersedia adalah 40 buah.

Namun, masih ada 3 bangku kosong. Ren menempati bangku di lajur ke 2 dari pintu kelas dan baris ke-3 alias di tengah. Hanya itu yang memiliki bangku kosong terdekat dengan Fei. Ia ingin memilih bangku kosong di belakang, namun letaknya terlalu jauh dari Fei, makanya dia urungkan.

Fei di baris ke-4 dan dia di baris ke-3. Maka dari itu, Ren bisa langsung mendapati Fei setiap dia menoleh ke belakang. Teman di sebelahnya adalah seorang perempuan. Siswi itu merasa beruntung bersebelahan dengan Ren. Wajahnya berulang kali merona merah sambil terus tersenyum dan berulang kali menatap cermin kecil yang dia sembunyikan di laci hanya untuk memastikan penampilannya tidak memalukan di mata Ren.

Ketika Ren menoleh untuk yang kesekian kalinya, dia mendapati bahwa ada siswa yang duduk di belakang Fei kerap menatap ke arah Fei. Hm, tidak bisa dibiarkan. Mau apa pemuda itu?