11 Mengantar Pulang Kakak Beradik

Ren menolong seorang bapak paruh baya yang terkena serangan jantung menggunakan perpaduan ilmu kanuragan khusus dan ilmu medis kuno warisan Mpu Semadya.

Bapak itu bernama Pak Yan dan bertanya latar belakang Ren. Tentu Ren tak mungkin menyebutkan bahwa dia berasal dari ratusan tahun silam dan mencatut latar belakang Fei sekaligus mengatakan bahwa Fei adalah adiknya.

Saat Pak Yan hendak mengucapkan sesuatu, muncul seorang lelaki muda menghampiri Beliau dengan raut cemas. "Papa! Akhirnya aku menemukan Papa, astaga!" Muncul sosok lelaki muda sekitar 25 tahun menghampiri Pak Yan. Penampilannya necis dengan setelan jas yang terlihat mahal.

"Papa baik-baik saja, kamu tak perlu khawatir." Pak Yan tersenyum ke anaknya.

"Bagaimana tidak khawatir? Papa tiba-tiba saja menghilang dari kantor dan tak ada satu staff pun yang tahu Papa ke mana." Wajah pemuda itu masam namun tetap membawa rasa cemas sambil menatap ayahnya.

"Tadi Papa hanya suntuk di kantor dan ingin jalan-jalan sebentar cari udara lain."

"Lain kali, ajak aku kalau Papa ingin jalan-jalan di luar. Papa kan ada penyakit jantung, apalagi aku lihat obat jantung Papa masih di meja, aku takut—"

"Lah, Papa malah sudah kumat baru saja," potong Pak Yan sambil menahan senyum.

"Ehh? Kumat? Ayo kita ke rumah sakit, Pa!" Pemuda itu kian panik mendengar ayahnya baru saja kumat penyakit jantungnya.

"Tenang saja, Papa sudah sembuh, kok!" Pak Yan menahan tangan putranya yang hendak mengajak pergi.

"Sembuh? Bagaimana bisa? Obat Papa kan tertinggal di meja, ini aku bawa, loh!" Tangan Pemuda mengeluarkan sebotol kecil obat dari saku jasnya.

"Tentu saja bisa. Terima kasihlah ke anak muda ini, dia Ren, penyelamat Papa." Pak Yan akhirnya memperkenalkan Ren pada putranya.

Sang putra menelisik Ren dari atas hingga bawah. "Dia? Dia menyelamatkan Papa?"

"Ya, Nak. Kalau tidak ada dia, entah apakah sekarang Papa masih bisa berbincang denganmu." Pak Yan tersenyum dan melanjutkan, "Nah, Ren, kenalkan ini anakku, Reihan."

Kini tatapan curiga di mata putra Pak Yan sudah memudar setelah memikirkan betapa lelaki muda bernama Ren ini ternyata penyelamat ayahnya. Dia lekas ulurkan tangan ke Ren. "Panggil saja Rei atau Kak Rei kalau kamu lebih muda dariku."

"Halo, Rei." Rupanya Ren memilih memanggil nama langsung tanpa embel-embel kesopanan apapun. Mungkin dia masih memakai harga dirinya sebagai putera mahkota sebuah kerajaan. Bagi Ren, selama usia mereka masih terlihat sama, maka tak perlu dipanggil dengan imbuhan kak atau semacamnya.

Rei meringis canggung mendengar namanya dipanggil begitu saja. Tapi bukankah tadi dia sendiri yang meminta dipanggil Rei? Kemudian, tatapan matanya beralih ke gadis di sebelah Ren, "Lalu ini …."

"Adikku, Fei," pungkas Ren cepat sebelum Fei menjawab sendiri. Ia menatap jabat tangan Rei kepada Fei hingga usai.

"Rei, Papa ingin kapan-kapan kita mampir ke rumah mereka." Pak Yan tidak menutupi keinginannya.

"Kenapa tidak sekarang saja, Pa?" Rei malah berinisiatif lebih dari ayahnya.

"Ahh, ide bagus. Kau bawa mobil, kan?"

"Ya, Pa. Aku akan bawa dulu mobilku ke dekat ini. Tunggu, yah!" Rei segera berlari ke arah mall untuk mengambil mobilnya yang terparkir di sana dan melajukan ke tepi taman yang bisa dijadikan area parkir untuk mobil dan motor.

Kemudian, mereka berempat sudah berada di mobil Rei menuju ke rumah paman Win.

"Rei, kamu kok bisa mengetahui Papa ada di sini?"

"Dari GPS ponsel Papa."

"Ohh, ha ha ha, pintar juga anak Papa."

"Iya, dong!"

Tak sampai satu jam berikutnya, mobil sudah berhenti di depan gang rumah paman Win.

"Ayo." Pak Yan bersikeras ingin ikut mengantar Fei dan Ren ke rumah.

"Tapi, apa Papa benar-benar kuat berjalan? Sepertinya cukup jauh dari gang, Pa." Rei agak khawatir akan kondisi ayahnya. Apalagi tadi baru saja kumat.

"Percaya saja pada Papa. Pengobatannya Ren itu luar biasa, loh! Papa malah yakin sekarang bisa berlari. Mau lihat?" Pak Yan bersikap seakan hendak mengambil ancang-ancang lari.

"Jangan! Jangan, Pa! Oke, oke, ayo kita antar mereka." Rei memilih percaya saja daripada harus menyaksikan ayahnya benar-benar lari. Dia takut terjadi sesuatu yang buruk.

Keempat orang itu pun berjalan masuk ke gang yang hanya bisa dilewati satu mobil kecil saja, oleh karena itu mobil harus diparkir di luar gang.

"Masih jauh rumahnya?" tanya Rei kepada Fei.

"Um, itu … itu sudah terlihat, Kak." Fei menunjuk ke rumah yang memang hanya tinggal 5 meter lagi dari tempat mereka berjalan.

Namun, belum juga mereka tiba di rumah, sudah terdengar suara menggelegar paman Win yang sedang bergosip dengan tetangga sebelah rumah.

"Makanya yah, Pak, saya ini sudah tak tahan ingin usir saja dia dari rumah! Kelakuannya kurang ajar pada saya dan istri saya, dan juga kadang ingin bersaing dengan putri saya! Untung saja saya masih berusaha menyabarkan hati karena mengingat almarhum kakak saya. Tapi sepertinya dia justru tak—" Ucapan paman Win terhenti seketika saat matanya melihat kedatangan Ren dan Fei. Itupun karena si tetangga memberikan kode padanya.

"Pa-Paman …." Fei menunduk hormat ke pamannya.

"E-Ehh … Fei … dan Tuan … kalian sudah pulang." Mendadak, berubah 180 derajat wajah dan sikap paman Win saat itu, membuat heran tetangga yang baru saja dikeluhkesahi.

"Selamat siang, Pak." Pak Yan menyapa terlebih dahulu paman Win untuk kesopanan semata.

"Ehh? Siapa, yah? Ada apa kok datang bersama ponakan saya?" Paman Win segera memasang wajah ramah ke Pak Yan. Sudah pasti karena melihat setelan jas mahal yang dipakai Pak Yan dan Rei. "Ohh! Ayo, silahkan masuk dulu ke rumah saya, Pak! Mari, mari, silahkan!"

Pak Yan dan yang lainnya masuk ke rumah paman Win. Terdengar suara sang paman yang memanggil istrinya untuk lekas membuat minuman untuk tamu.

Bibi Wen melotot ingin menolak, tapi ketika suaminya mengatakan, "Bu, mereka itu orang kaya! Terlihat dari bajunya! Ayo, sana buat minuman yang enak dan dandan. Suruh Nai juga dandan dan keluar!"

Kemudian, bincang-bincang ringan pun terjadi di ruang tamu antara Pak Yan dan paman Win ditemani Ren, Fei, dan Rei.

Tak berapa lama, keluarlah bibi Wen beserta Nai juga, keduanya sudah berdandan rapi sesuai perintah paman Win.

"Ini istri dan putri saya, Pak Yan." Paman Win memperkenalkan bibi Wen dan Nai ke Pak Yan dan juga Rei.

Dalam sekali pandang, Nai terpesona dengan penampilan mentereng Rei. Dia terus memberikan sinyal ke Rei meski oleh Rei diabaikan. Yang membuat Nai kesal, pandangan Rei malah berulang kali mencuri pandang ke arah Fei. Gejolak jiwa iri Nai bergemuruh.

avataravatar
Next chapter