webnovel

Masuk ke Kelas

Akhirnya, Ren sudah selesai menyembuhkan kedua preman sekolah, Zen dan Yong. Meski dia tidak menyembuhkan mereka secara tuntas, sengaja menyisakan beberapa persen rasa sakit dan mereka masih harus merawat sendiri patah tulang mereka menggunakan ramuan yang diberi Ren.

"Apa ini?" Zen menerima sebungkus kecil ukuran kepalan tangan dari Ren. Ketika mencium bungkus tadi, dia nyaris muntah. Keningnya segera mengerut dengan tatapan curiga. Pemuda di dekatnya ini tidak bermaksud meracuni dia, kan?

"Itu ramuan untuk patah tulang yang aku buat sendiri." Ren menjawab.

"Hah?" Mata semua orang di sana membelalak, termasuk Fei.

"Kau membuat sendiri ini? Ramuan? Untuk patah tulang?" Zen tidak bisa tahan untuk tidak bertanya sesuai yang ada di kepalanya. Anak SMA bisa membuat sebuah ramuan ala sinshe di rumah-rumah pengobatan tradisional Tiongkok itu? Yang benar saja!

"Kalau kau tak percaya, ya sudah, berikan lagi padaku." Tangan Ren sudah hendak meraih bungkusan tadi.

Namun, Zen lekas menarik untuk mengamankan bungkusan tadi. Saat ini, rasa sakit yang ada di kakinya sudah menghilang sebanyak 90 persen. Masih ada sedikit yang tersisa, tapi kata Ren itu hanyalah pemulihan saja. Dan ramuan itulah yang akan membantu pulihnya tulang kaki menjadi 100 persen.

Kalau sudah diyakinkan begitu, mana mungkin Zen rela menyerahkan sesuatu yang akan membuat dia kembali pulih seperti sedia kala?

"N-Nak Ren, itu … itu sungguh ramuan obat?" tanya Pak Kepsek dengan wajah penasaran ke Ren. Semua orang di ruangan itu sama-sama memiliki pemikiran yang sama dengan Zen, apakah anak SMA bisa membuat ramuan ala sinshe?

Kepala Ren mengangguk dengan tatapan menatap Pak Kepsek secara tegas, dahinya berkerut dalam menunjukkan dia memang serius akan apa yang dia sampaikan. "Benar, itu memang ramuan obat yang aku buat dari tumbuhan herbal."

Namun, sesungguhnya, ramuan itu bukanlah murni buatan Ren, melainkan sisa ramuan penyembuh tulang patah milik Mpu Semadya yang kebetulan ada di dalam kantung ajaib penyimpanan Beliau yang ada di dalam Sabuk Nogotaleni.

Sabuk Nogotaleni sendiri merupakan pusaka kaluhuran tingkat tinggi yang berupa ikat pinggang dari kulit binatang yang berbentuk seperti sebuah jalinan tali kulit dengan beberapa batuan murni yang dijeratkan pada jalinan tersebut.

Jika dihitung, ada sekitar 10 batu murni yang terjalin pada Sabuk Nogotaleni. Sebenarnya Ren ingin mengetahui kenapa ada begitu banyak batu murni yang ada di ikat pinggang ajaib itu.

Mungkin nanti jika ada waktu, dia bisa menanyakan itu kepada Mpu Semadya yang ada di batinnya.

Yang jelas, saat ini Ren bisa melakukan penyembuhan berkat tuntunan dari suara Mpu Semadya sehingga dia bisa memunculkan khasiat dari ilmu pengobatan sang mpu.

Sedangkan ramuan itu sendiri dihasilkan dari kebun herbal yang ada di dalam Sabuk Nogotaleni, karena di sana ada alam kecil dimana di dalamnya berdiri bangunan candi, serta ada keraton kecil, dan lahan luas untuk kebun herbal.

Setelah berhasil mengobati Zen dan Yong, Ren mulai dipandang dengan cara berbeda oleh kedua preman tersebut. Mana berani mereka mengusik Ren lagi? Bahkan Pak Kepsek juga terpukau dengan kemampuan Ren yang sungguh tidak biasa dipunyai anak muda jaman kini.

Sedangkan Pak Darwis masih terus menatap waspada kepada Ren dengan dahi berkerut. Baginya, sungguh tidak ada dalam kewajaran jika ada pemuda bisa melakukan seperti yang dilakukan Ren.

Setelah itu, semuanya kembali ke tempat masing-masing. Ren dan Fei masuk ke kelas mereka karena sebenarnya sudah sejak tadi pelajaran dimulai.

Memasuki kelas 2 IPA 3, Ren dan Fei diantar Pak Kepsek. Setelah pintu kelas diketuk, ketiganya masuk dan mendapati suasana ramai kelas dengan guru yang pasrah saja duduk di mejanya.

Hal demikian sudah menjadi pemandangan lumrah di sekolah tersebut. Guru seakan sudah tidak memiliki harga di mata para muridnya. Mereka akan sibuk sendiri meski ada guru sudah di depan kelas.

Ada yang sibuk mengobrol, sibuk berdandan, sibuk bermain game di ponsel, sibuk membaca majalah atau buku selain pelajaran, sibuk berselancar di situs-situs tak jelas, sibuk makan, dan sibuk lainnya.

Pak Kepsek tersenyum canggung pada Ren, merasa sedikit malu tak berdaya akan situasi yang ada sekarang. Ini juga termasuk kesalahan Beliau karena kurang bisa bersikap tegas sebagai kepala sekolah.

"Ohh, Pak Hilman!" Guru itu pun berdiri dari kursi kayu yang dia duduki untuk menyambut Pak Kepsek. "Anak-anak, tolong diam! Ei, diam!" Guru itu terpaksa menggedor papan tulis hitam dengan penggaris kayu besar.

Mau tak mau, siswa dan siswi pun mulai terdiam karena ingin tahu, alasan apa yang membuat mereka harus menghentikan kegiatan asyiknya saat ini.

Mata semua murid tertuju pada 3 orang yang baru saja masuk ke kelas. Ada yang matanya berbinar, ada juga yang mengernyitkan dahi karena tak tahu siapa pemuda yang dibawa Pak Kepsek, ada pula yang langsung berbisik-bisik ke teman di sebelahnya.

"Selamat pagi, Pak Randu. Semoga saya tidak mengganggu pelajaran yang sedang Anda sampaikan," ucap Pak Kepses dengan senyum canggungnya. Menganggu apanya? Jelas-jelas dari awal tak ada yang memerhatikan Pak Randu.

"Tak apa, Pak Hilman. Apakah ada yang ingin disampaikan?" Pak Randu sebagai guru kimia itu pun mempersilahkan 3 orang tadi untuk berdiri di depan kelas.

"Ya, memang ada yang ingin saya sampaikan pada murid-murid di sini, Pak Randu." Pak Kepsek pun mulai mengedarkan pandangannya ke para murid di depan Beliau. "Anak-anak, mulai sekarang, kalian mendapatkan teman baru. Namanya Nare—"

Belum lengkap Pak Kepsek mengucapkan kalimatnya, mendadak meluncur sebuah sepatu ke arah Ren. Lemparan itu cepat dan kencang.

Namun ….

Dhaakk!

Sepatu yang dilempar itu hanya dilirik sekilas oleh Ren sambil dia meninjunya di bagian atas sepatu dan benda kumal itu pun melayang kembali ke pelemparnya.

"Unnghh!" Si pelempar mengaduh kesakitan sambil menutupi matanya yang terkena sol sepatunya sendiri. "Kau apa-apaan?!" teriak pemuda itu ke Ren sambil satu tangan menunjuk tegas ke Ren.

"Kenapa? Aku hanya mengembalikan barangmu. Apakah salah?" Ren menjawab santai sambil menatap tegas pemuda tadi.

"Kau melakukan kekerasan!" Pemuda itu masih belum bisa menerima tindakan Ren. Padahal harusnya yang mengaduh kesakitan itu Ren, bukan dirinya! Kenapa malah terbalik?

"Ohh, aku pikir kau begitu menyayangi sepatumu sehingga aku tak tega melihat kau berpisah lama-lama dengan sepatu itu." Sahutan dari Ren membuat murid lainnya tertawa keras sambil mereka menoleh dengan tatapan mengejek ke pemuda tadi.

"Brengsek! Aku … aku tadi terpeleset dan sepatuku melayang." Malu karena Ren, pemuda itu masih ingin beralasan untuk memperbaiki harga dirinya yang sakit. Setidaknya, itu lebih menyakitkan ketimbang mata yang terkena sol sepatu.

"Kalau begitu, aku sudah mencoba berbaik hati mengembalikannya padamu, bukan? Kenapa kau tidak berterima kasih padaku akan itu?" jawab Ren sambil menaikkan alisnya sembari memiringkan kepala seolah sedang menantang.

Pemuda tadi benar-benar kalah debat dengan Ren dan dia makin marah. "Bangsat! Awas ka—"

"Sudah! Sudah!" bentak Pak Randu. Meski dia diabaikan para murid di setiap pelajarannya, namun kali ini dia masih harus menggenggam harga diri sebagai guru. "Tristan! Jangan lagi bicara!"

Tristan yang ditegur keras Pak Randu pun melotot ke gurunya sambil berucap, "Apa kau! Guru lembek! Diam saja ka—"

Dhakk!

Kali ini ada penghapus kain karet yang penuh debu kapur melayang cepat ke mata lain Tristan.

Fei dan yang lainnya terperanjat. Segera, mereka melihat ke arah Ren.

Next chapter