7 Keadaan Berbalik

Baru saja Pak Win selesai menenangkan anak dan istrinya yang kesal, pintu kembali diketuk. Beliau bergegas kembali membukakan pintu dan seperti yang diduga, ada Ren berdiri di sana, mengembangkan senyum mencurigakan. Atau … seringai?

"Ya, Tuan?" Paman Win bertanya. Di hatinya ada perasaan tak enak.

"Paman, bagaimana jika istrimu saja yang memasak untuk Fei? Atau putrimu?" Ren bertanya yang lebih terdengar seperti perintah absolut di telinga paman Win.

Bibi Wen yang mendengar ucapan Ren, segera saja matanya melotot galak dan hendak memburaikan sumpah serapah, namun langsung ingat bahwa dia tak bisa berkata-kata normal.

"A-Aahh … itu … itu …." Sungguh sebuah dilema bagi paman Win akan pertanyaan beraroma perintah tersebut.

"Aku yakin anak atau istrimu tidak akan keberatan, kan? Lagi pula mereka perempuan, pasti pandai memasak. Ayolah, masakkan sesuatu yang enak untuk Fei dan aku untuk makan." Ren kini menambahkan dirinya ke dalam pihak yang hendak makan malam.

Oleh karena itu, paman Win tak mungkin lagi berada di kubangan dilema dan segera menoleh ke istrinya. "Mih, cepat masakkan makanan enak untuk Tuan!"

"Dan untuk Fei juga, jangan lupa." Ren menjulurkan kepala ke bibi Wen yang cemberut parah. Tak lupa dia menyunggingkan senyum penuh makna untuk melengkapi derita bibi Wen.

Menahan amarahnya, bibi Wen pun bangkit dan keluar dari kamarnya diikuti suaminya pergi ke dapur. Mungkin paman Win khawatir jika dia tidak mendampingi sang istri, akan terjadi hal-hal tak diinginkan yang bisa memperparah kondisi bibi Wen.

Ketika Fei tahu bahwa makanan akan dimasak oleh bibi Wen, Fei makin merasa tak enak hati.

"Sudah, kau ini cukup duduk manis saja di ruang tengah," ujar Ren dengan suara lembut, tak ingin menakuti Fei dengan tindakan tegasnya.

"Tapi, Mas …." Fei masih belum rela jika meninggalkan dapur. Apalagi tatapan ketus bibinya sempat ditangkap matanya.

"Sshhh … sudah, sana pergi ke ruang tengah dan menunggu seperti anak manis, yah!" Ren mendorong pelan tubuh Fei agar keluar dari dapur.

Tidak memiliki pilihan lain, Fei pun berjalan ke ruang tengah meski kadang dia mondar-mandir saja di ruang tengah, cemas.

Sementara itu, di dapur, tak hanya paman Win saja yang mengawasi bibi Wen memasak, namun juga Ren. Lelaki itu berdiri di dekat wanita itu hanya sekedar memberikan peringatan agar bibi Wen tidak bertindak macam-macam pada makanan yang sedang dimasak.

Setengah jam berikutnya, makanan sudah siap. Ada sayur asam dan udang goreng tepung. Bu Wen malas jika harus memasak yang rumit malam begini. Dia sudah mengantuk dan ingin lekas tidur.

"Hm, sepertinya tidak buruk." Ren manggut-manggutkan kepala. "Cobalah." Ia berkata pada paman Win.

"Ehh? Saya?" Paman Win terkejut, tak menyangka dirinya harus menjajal makanan itu.

"Ya, aku tak mau jika makanan untuk aku dan Fei dibubuhi racun atau bahan berbahaya lainnya." Ren terbiasa dengan cara di istananya dulu dimana semua makanan akan dicicipi sedikit oleh pelayan sebelum dimakan oleh anggota keluarga kerajaan. Itu sudah standar acara makan kala itu.

Mengambil sendok kecil, paman Win mengambil sesuap kuah sayur asam, menyeruputnya dan beralih mengambil satu potong udang goreng tepungnya.

Setelah menunggu beberapa napas, akhirnya Ren mengangguk dan menyuruh keduanya kembali ke kamar. Kemudian, dia memanggil Fei. "Ayo makan, hidangan sudah tersedia."

Fei berjalan ke ruang makan yang menyatu dengan dapur dan mendapati hidangan sederhana di atas meja. Ia meraih piring bersih dan mengisinya dengan nasi sebelum diangsurkan ke Ren. "Untung masih ada sisa nasi malam ini, Mas. Ini."

"Terima kasih, Fei." Ren menerima sepiring nasi dari Fei dan duduk di salah satu kursi. "Kau juga makanlah."

"Iya, Mas." Fei mengambil nasi untuknya sendiri dan duduk.

Malam itu keduanya makan malam bersama. Meski Fei merasa agak canggung, tapi terselip rasa senang karena baru kali ini ada yang menemani dia makan begini.

-0—00—0-

Hari berganti meski masih di akhir pekan, Fei sudah menyapu halaman depan seperti biasa sejak jam setengah 6 tadi dan kini sudah sibuk di dapur untuk menyiapkan makanan.

Sementara itu, dari belakang, terdengar suara Ren. "Kenapa kau ada di dapur, Fei?"

Menoleh ke belakang, Fei menjawab, "Anu, Mas … aku akan membuat sarapan seperti biasanya."

"Hm, berhenti, Fei. Jangan lakukan itu lagi di sini." Ren menampilkan wajah masam dan berbalik badan untuk mendatangi kamar tidur utama.

Ketukan demi ketukan dilakukan Ren hingga akhirnya di ketukan kelima, muncul wajah bangun tidur paman Win.

"Y-Ya, Tuan?" Paman Win mengerjap-kerjapkan matanya yang masih mengantuk.

"Apa kau tahu ini jam berapa?" tanya Ren sambil lipat dua lengan di depan dada.

"Ini …." Mata paman Win segera mencari jam di dinding terdekat. "Jam setengah 7 pagi, Tuan."

"Bagus. Bangunkan istri dan anakmu, suruh mereka bersih-bersih rumah dan memasak untuk sarapan pagi aku dan Fei." Ren memberikan titahnya.

Paman Win melongo namun Ren sudah balik badan dan berjalan meninggalkan Beliau.

Meski harus menerima umpatan tak jelas dari istri dan putrinya, beserta bonus pukulan di tubuhnya, paman Win berhasil memaksa bibi Wen dan Nai bangun.

Pagi itu, meski bersungut-sungut dengan suara gagu mereka, bibi Wen memasak, sedangkan Nai terpaksa menyapu rumah. Setelahnya, paman Win harus mengepel seluruh rumah, termasuk kamar Fei.

Ketiganya merasa bagai sedang hidup di neraka. Apalagi pengawas neraka itu selalu di dekat mereka dengan mata elangnya untuk menegur keras mereka jika salah.

Sementara Fei, dilarang Ren untuk memegang pekerjaan rumah tangga lagi.

Maka, sepagian ini benar-benar melelahkan untuk ketiga orang yang tidak terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah. Mereka sudah terlalu biasa memerintah Fei untuk mengurusi rumah. Mereka terbiasa manja dan memperlakukan Fei bagaikan babu.

Sekarang ini, mereka sedang menelan pil pahit hasil sikap manja mereka.

.

.

Setelah kenyang makan pagi, Ren mengajak Fei keluar rumah. "Aku ingin melihat-lihat suasana di sini. Temani aku, Fei."

"Ba-Baik, Mas." Fei mengangguk saja dan pergi ke kamar dulu untuk berganti baju.

Sedangkan Ren meminta pada paman Win untuk meminjami dia baju kasual yang paling bagus milik si paman. Mana mungkin paman Win berani berkata tidak?

Usai memakai pakaian kasual terbaik milik paman Win, yaitu kaos polo dan celana jins paling bagus kepunyaan Beliau, Ren mematut bayangan dirinya di depan cermin. "Pakaian jaman ini sungguh aneh. Hm, tapi yah, tak apa jika memang begini adanya." Ia pun keluar dari kamar Nai dan bertemu Fei yang sudah siap.

Kening Ren berkerut melihat penampilan Fei. "Kenapa bajumu seperti baju usang? Lusuh sekali warnanya? Apa tak ada yang lebih baik?"

"I-Itu … ini …." Fei harus jawab apa? Menjawab bahwa selama ini bibinya hanya memberi dia pakaian bekas dari pasar loak? Bisa-bisa Ren marah lagi dan melakukan sesuatu yang buruk pada sang bibi. Fei tak ingin itu terjadi.

"Tsk!" Ren tak bicara panjang lebar untuk mendesak Fei dan segera menemui Nai. "Kau, pinjami Fei baju kasual terbagusmu. Cepat!"

avataravatar
Next chapter